Sabtu, 07 Juli 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #17-2








Sebelumnya



* * *


Lewat sedikit dari pukul delapan pagi, Erika menunjuk ke satu arah di sebelah kanan. Seta melambatkan mobilnya. Sudah beberapa saat lalu mereka memasuki wilayah Sembilangan.

“Itu tokonya, Mas,” ucap Erika. “Kelihatannya baru buka.”

Jalan raya yang cukup lengang di depan toko itu merupakan jalan dua lajur yang dipisahkan oleh jajaran pembatas terbuat dari beton. Seta melihat ada rambu untuk putar arah kira-kira lima puluh meter di depan. Setelah mengamati spion baik-baik, ia pun mengarahkan mobilnya ke kanan dengan sedikit memotong jalur. Beberapa menit kemudian, mereka sudah sampai di toko bahan obat herbal milik Saijan.

Yang pertama turun adalah Erika dan Seta. Mencari apakah Saijan ada di toko. Ternyata laki-laki itu sendiri yang menyambut kedatangan keduanya. Ketika menjabat tangan Seta, Saijan menatapnya lekat-lekat. Seperti ada sorot mengenali, tapi Saijan segera menutupinya dengan bersikap ramah seperti biasa. Ia benar-benar mengira bahwa Seta adalah Kresna.

“Begini, Paman,” ujar Erika kemudian. “Aku mengantar keluarga Mas Seta ini ke sini, karena ada perlu dengan Paman. Soal itu, biar mereka sendiri yang mengungkapkannya pada Paman. Paman ada waktu?”

Seta? Oh, jadi dia bukan Kresna yang pernah kutolong dulu...

“Mm... Bisa... Bisa... Boleh,” Saijan mengangguk. “Ajak saja ke rumah, Er. Mobilnya masukkan saja.”

Erika dan Seta kemudian keluar dari toko itu. Saijan pun menyerahkan pelayanan toko pada para asistennya. Setelah itu, ia keluar melalui pintu belakang toko. Pulang ke rumahnya yang ada tepat di belakang toko.

“Rumah Paman masuk ke jalan kecil itu,” Erika menunjuk ke arah sebuah jalan kecil tepat di sebelah toko, setelah mereka kembali ke mobil.

Seta pun pelan-pelan melajukan mobilnya, masuk ke jalan kecil yang ditunjuk Erika. Jalan kecil dengan pintu gerbang terbuka di bagian depan itu ternyata adalah jalur khusus untuk memasuki kediaman Saijan. Setelah menyusuri sisi luar bangunan toko sepanjang kurang lebih tiga puluh meter, mereka sampai di sebuah halaman luas yang penuh dengan aneka pohon buah. Di tengah ‘kebun’ itu ada sebuah pondok mungil dari bambu yang terlihat cukup kokoh, asri, sekaligus sangat artistik.

“Paman Saijan memang agak antik orangnya,” Erika terkekeh sedikit. “Tapi dia baik, kok. Kalau ada orang yang tak mampu beli bahan obatnya tapi sangat membutuhkan, pasti dia kasih secara gratis.”

Seta menghentikan mobilnya tepat di depan pondok itu. Saijan keluar dari dalam pondok. Disambutnya rombongan itu dengan ramah. Sejatinya, ia sudah ‘diberi tahu’ bahwa ia akan menerima tamu pagi ini. Jadi, ia sudah bersiap diri.

* * *

Di Bawono Kinayung, mereka bertujuh sudah siap di pondok kecil Sentini. Ketika waktunya tiba, kedua tangan Sentini bergerak membentuk satu lingkaran besar di udara. Sekejap kemudian, kabut putih tebal menyelimuti bagian dalam pondok itu. Selama beberapa saat, kabut itu mengambang di udara, sebelum akhirnya menghilang sepenuhnya. Dan, pondok itu pun kini kosong.

Bersamaan dengan itu, gulungan kabut muncul di tengah sebidang kebun berisi aneka tanaman buah. Ketika kabut itu menghilang, terlihatlah Sentini, Paitun, Kriswo, Randu, Tirto, Janggo, dan Pinasti di sana, di bagian belakang pondok Saijan. Tanpa suara, mereka pun duduk menunggu di beranda belakang. Dalam hening, ikut mendengarkan pembicaraan yang terjadi di dalam.

* * *

“... Jadi begitu kisahnya,” dengan suara tegas, Wilujeng menutup penuturan panjangnya tentang apa yang ia, Kresna, dan Alma alami. Termasuk pertemuan Wilujeng dan Mahesa dengan Suwari, Kepala Desa Ngentas Timur, yang menyebut nama Saijan.

Sejak awal, laki-laki itu memang tak mengelak bahwa ia dan Kresna pernah bertemu. Bahwa ia menolong Kresna dengan mengantarnya ke kantor polisi terdekat. Tapi selebihnya, ia tak bicara apa-apa. Hanya meminta agar mereka mengungkapkan apa yang mereka inginkan.

Saijan menghela napas panjang. Pada saat itu, telinganya menangkap ada suara gemersik yang sangat samar di bagian belakang pondoknya. Ia pun meminta waktu untuk ke belakang sebentar.

Benar saja, rombongan dari Bawono Kinayung sudah berada di beranda belakang. Melihat kehadirannya, Sentini menjentikkan jari tengah dan ibu jarinya. Seketika, waktu pun membeku.

“Jadi, bagaimana ini?” tanya Saijan dengan wajah risau.

Sentini dan Paitun bertatapan sejenak. Sentini kemudian mengalihkan tatapan pada Saijan.

“Kalau memang kami harus bertemu lagi, tak apa-apa,” ucap Sentini lembut. “Gusti sudah memberi restu. Tapi hanya Wilujeng, Kresna, dan Alma. Dan nanti si kecil Pinpin.”

“Saya suruh mereka ke sini?” tanya Saijan.

“Ya,” angguk Paitun. “Tepuk bahu mereka masing-masing tiga kali.”

Saijan pun mengangguk dan bergegas kembali ke ruang tamu pondoknya. Bersamaan dengan itu, tangan kanan Paitun membuat sebuah lingkaran besar di udara. Membuat sebagian waktu mencair kembali bagi orang-orang tertentu. Juga sepenggal ingatan yang ikatannya kembali terurai.

“Emak?”

“Nini?”

“Nini?”

Wilujeng, Kresna, dan Alma berdiri di ambang pintu beranda dengan mata terbelalak. Bibir mereka mendesahkan sebutan bagi orang-orang yang telah mereka kenal sebelumnya. Entah siapa yang memulai, mereka sudah berpelukan erat.

Alma sendiri memeluk erat Janggo. Ajak raksasa itu mendengking kegirangan. Alma ‘Pinasti’ ternyata masih sangat mengenalinya.

‘Kamu tidak kesepian, kan, selama kutinggalkan?’ tanya Alma, sembari membelai rambut cokelat kemerahan di tengkuk Janggo.

‘Tentu saja tidak,’ jawab Janggo. ‘Nini mengubah tubuhmu yang tertinggal dan secuil jiwamu jadi dia.’

Janggo menoleh sedikit ke kanan. Seekor ajak berwarna putih bersih yang sedari tadi duduk diam di sudut beranda melangkah pelan mendekati mereka. Alma pun mengulurkan tangan.

‘Ah... Senang sekali mengetahui bahwa kamu adalah sebagian dari diriku,’ Alma ganti memeluk erat ajak putih itu.

“Sekarang sudah jelas sekali kenapa kita begitu akrab dengan nama ‘Pinasti’ itu,” gumam Wilujeng, sembari mengusap air mata haru bercampur bahagia yang menetes di pipi.

“Masih ada lagi kejutannya,” Sentini menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. “Gusti sudah berkenan memberikan hadiah untuk kalian. Sudah beberapa tahun yang lalu.”

Perempuan sepuh itu menatap Wilujeng dengan mata berbinar. “Gusti mencuil sedikit jiwa Pinasti ajak untuk ditiupkan dalam rahimmu. Jadi, kamu tetap memiliki Pinasti-mu.”

Wilujeng hanya bisa ternganga dan terbelalak. Jadi... Pinpin benar-benar Pinasti-ku???

Sentini mengalihkan tatapannya pada Alma. “Dan kamu, Nduk, kamu tak lagi sendirian, kan? Itu karena Gusti pun mencuil sedikit jiwa Janggo, untuk dibentuk menjadi jiwa baru yang pernah menghuni rahim ibumu selama hampir empat puluh minggu lamanya. Dialah adikmu.”

Alma pun memberikan reaksi yang sama seperti Wilujeng. ‘Alto??? Aaah... Pantas sekali aku sayang banget padanya!’

“Dan...,” senyum Paitun mengembang lebar. “Kalau di Bawono Kinayung, Janggo dan Pinasti adalah belahan jiwa, maka demikian juga Alto dan Pinpin. Kelak, pada suatu saat yang tepat. Seperti Alma dengan Kresna.”

Serasa tak ada lagi yang bisa dikatakan. Pertemuan itu, kejadian yang pernah mereka alami, kisah di baliknya... Semua terlalu ajaib untuk diingat. Terlalu indah untuk dilupakan begitu saja, walau secara paksa oleh kekuatan apa pun.

“Kalian adalah orang-orang yang istimewa,” ucap Sentini lirih. “Kalian masih bisa menyimpan serpihan-serpihan rasa dan ingatan itu walaupun beterbangan secara acak dalam kehidupan kalian. Itu karena kalian memiliki kasih yang sangat besar.”

Lalu hening. Kemudian Kresna memecahkan kesunyian itu dengan suara lirihnya.

“Apakah... dengan begini... mereka di depan sana harus tahu... kisah ini?”

Sentini dan Paitun menggeleng bersamaan.

“Tetap ada batas yang tidak boleh dilanggar, Kresna,” jawab Sentini dengan suara lembutnya. “Tapi percayalah, dengan ketulusan hati kalian, kami semua akan tetap berada dalam hati dan ingatan kalian. Tentu saja tidak secara penuh, karena kami terpaksa harus menghapus kembali sebagian dari ingatan kalian. Itu karena Bawono Kinayung harus tetap abadi dan tersembunyi.”

Kresna, Wilujeng, dan Alma mengangguk tanda memahami. Semua jalinan itu kini sudah mereka mengerti. Bahwa benar mereka pernah terhubung dan bertemu pada satu titik waktu. Pertemuan yang membawa mereka pada kehidupan kini yang harus dijalani dengan baik.

“Lalu, bagaimana keluarga Mas Kresna di depan sana harus memahami semua ini?” celetuk Alma tiba-tiba.

Sentini dan Paitun bertatapan sejenak sebelum tersenyum dan menjawab serempak, “Serahkan saja pada kami.”

Baik Wilujeng, Kresna, maupun Alma, saling bertatapan sejenak.

“Nah, kita sudah bertemu,” ujar Paitun. “Kalian sudah memperoleh penjelasan, dan kita semua sudah saling melepas rindu. Waktu akan segera mencair dan kehidupan kalian akan kembali seperti biasa. Sampai bertemu lagi.”

Mereka kemudian saling berpelukan lagi. Kedua lengan Alma erat memeluk Janggo dan secuil dirinya dalam bentuk Pinasti, seekor ajak putih.

‘Kalau rindu padaku, ajaklah Alto bermain,’ bisik Janggo.

Alma mengangguk-angguk dengan mata terasa hangat. Ia kemudian berpindah pada Paitun. Dipeluknya manusia abadi itu.

“Terima kasih atas semuanya, Nini,” bisiknya penuh rasa haru.

“Berterima kasihlah pada Gusti melalui cara yang diajarkan oleh orang tuamu,” Paitun balas berbisik.

Alma pun mengangguk. Ia memeluk pula Sentini, Tirto, Kriswo, dan Randu.

“Aku bawakan juga koleksi buku-bukumu,” bisik Kriswo. “Nanti aku titipkan pada Saijan. Ada titipan salam juga dari Suket Teki, Bondet, Sumpil, dan kawan-kawanmu lainnya."

Dan, setelah semuanya harus usai, Wilujeng, Kresna, dan Alma kembali ke depan. Begitu mereka duduk di tempat semula, waktu pun kembali mencair. Ada sebagian ingatan yang terhapus. Tapi ada sedikit yang masih tersisa. Sekilas Wilujeng, Kresna, dan Alma bertatapan. Mereka sudah menemukan jawaban. Tinggal bagaimana kekuatan dari Bawono Kinayung akan menjawab keingintahuan anggota keluarga yang lain.

Dengan langkah tenang, Saijan kembali ke ruang tamu pondoknya. Ditatapnya para tamunya satu demi satu.

“Ya, saya kenal Nyai Sentini dan Tirto,” ujarnya kemudian. “Mereka muncul dan pergi sesuka hati. Tapi satu hal yang saya tahu... Ah, sebaiknya Anda semua saya antar saja ke suatu tempat. Supaya bisa memahaminya sendiri.”

Para tamu itu saling menatap sebelum menyetujui perkataan Saijan.

“Mari...,” ucap Saijan kemudian.

Mereka pun beranjak, menuruti ajakan Saijan.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)