Senin, 09 Juli 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #18-1








Selanjutnya



* * *



Delapan Belas
Pada Beranda Hati


“Wil....”

Mendengar pintu kamar diketuk dan namanya dipanggil dari luar, Alma segera beranjak dari depan cermin dan membuka pintu. Seketika Riska mengerutkan keningnya. Alma tampak sudah rapi. Siap untuk bepergian.

“Yah..., lu mau keluar, ya, Wil?” desah Riska, menyelinap masuk.

“Iya,” Alma mengangguk dengan wajah polos. Kembali duduk di depan cermin. “Kenapa memangnya?”

“Gue mau ajak lu cari sepatu, Wil...,” Riska menjatuhkan tubuhnya di ranjang Alma.

“Lho, sepatu lu hilang di mana?”

“Halaaah... Bukan sepatu gue hilang, Wil,” Riska membulatkan matanya. “Gue mau beli baru.”

Alma terkekeh. “Sepatu lu bejibun gitu, masiiih juga mau beli yang baru.”

“Lu, kan, tahu sendiri sneakers gue sobek, Wil,” sahut Riska dengan wajah memelas.

“Mm... besok, deh, gue temenin. Atau kalau lu nggak sabar, lu pergi aja sama Binno atau Iyeng.”

“Halah! Pergi sama mereka bisa tekor gue, Wil,” Riska mengerucutkan bibirnya. “Yang gue cari belum tentu dapat, keburu duit gue habis buat kasih makan mereka.”

Alma tergelak seketika.

“Jam segini--,” sekilas Riska menatap jam dinding, menjelang pukul sembilan, “--lu sudah rapi, mau ke mana?”

“Ke rumah camer, dooong...,” jawab Alma dengan nada bercanda.

“Ah, elu, Wil,” Riska kembali mengerucutkan bibir. “Ditanyain serius, malah....”

“Hehehe... Mau ke rumah tante gue.”

Riska mengerutkan keningnya. “Lu punya tante di sini?”

“Ya, punyalaaah,” Alma mengibaskan tangannya. “Masa tante orang gue akuin?”

Riska menggelengkan kepala. Ditatapnya Alma melalui pantulan cermin. Sang sahabat tampak sudah siap. Sejenak kemudian ia beranjak dari ranjang.

“Ya, deh, besok aja lu temenin gue, ya?” ujarnya sebelum menggapai handel pintu.

Alma mengangguk sambil memasukkan dompet dan ponselnya ke dalam sling bag. Riska pun keluar dari kamar. Sekali lagi Alma menatap pantulan dirinya di cemin. Gadis itu tersenyum riang.

Ia sudah seminggu ini menunggu hari Sabtu tiba. Rasanya sudah tak sabar ingin bertemu dengan Wilujeng lagi. Pagi-pagi ia sudah bangun, padahal biasanya molor hingga menjelang siang pada hari libur.

Semua yang ia alami bersama Wilujeng dan Kresna, ia memutuskan hendak menyimpannya sendiri untuk sementara waktu. Terutama tentang ia dan Kresna. Posisinya dan Kresna cukup sulit karena status mereka saat ini adalah mahasiswi dan dosennya. Tapi keduanya tak pernah kekurangan waktu untuk berkomunikasi. Itu yang membuatnya yakin untuk bertahan hingga tiba saat yang tepat bagi mereka untuk menjalin hubungan secara lebih terbuka.

Sekali lagi Alma menatap pantulan dirinya dalam cermin. Secara fisik, ia bukan lagi Pinasti si Perawan Sunti dari Bawono Kinayung. Pun jiwanya. Karena sudah melebur seutuhnya dengan diri seorang Zervia Almandine Garnet. Tapi tetap saja ada yang tak berubah, yang membuat Kresna dan Wilujeng masih bisa mengenalnya dengan baik melalui perasaan mereka.

Alma tersenyum samar sembari beranjak. Yang bisa dilakukannya sekarang adalah menikmati hidup, dan membiarkannya mengalir pada jalur yang tepat. Salah satunya adalah dengan meluangkan waktu untuk bertemu dan berbagi cerita dengan Wilujeng, ibunya dari Bawono Kinayung.

* * *

Wilujeng melepas kepergian Mahesa dan Pinasti dengan lambaian tangan. Hampir setiap Sabtu Mahesa membawa putri bungsu kesayangannya untuk memancing. Pinasti kecil pun menyukai hal itu dan sangat menikmati kebersamaan dengan sang ayah.

Hari ini ada lomba memancing dengan hadiah sangat besar di Telaga Embung. Penyelenggaranya adalah sebuah perusahaan otomotif besar yang sedang merayakan pesta seratus lima puluh tahun berdirinya perusahaan secara internasional. Dan, Pinasti adalah jimat keberuntungan Mahesa, walaupun selama ini ia memancing lebih untuk bersenang-senang belaka. Tapi iming-iming city car gres sebagai hadiah utama, dan hadiah lainnya berupa aneka jenis motor dan gawai terbaru, siapa yang bisa menolaknya?

Sepeninggal Mahesa dan Pinasti, Wilujeng duduk di teras sambil membaca majalah. Menunggu kedatangan Alma, putrinya yang lain. Wajahnya terlihat berseri-seri.

Beberapa saat kemudian yang ditunggunya datang. Ketika melihat sebuah skuter matik besar berhenti di depan pintu pagar, ia pun segera berlari menyambutnya. Keduanya berpelukan sebelum Alma memasukkan motornya ke garasi.

“Sepi, Bu?” tanya Alma sembari mengunci kendaraannya.

“Iya, para ART libur kalau hari Sabtu dan Minggu, kecuali ada acara khusus,” jawab Wilujeng sambil menggandeng tangan Pinasti. “Lagipula mereka tidak menginap.”

“Oh...,” Alma manggut-manggut.

Wilujeng membawanya ke beranda belakang yang menghadap ke taman. Sebuah tempat yang nyaman walaupun tidak seteduh beranda pondok Paitun di Bawono Kinayung.

Ah, kehidupan Ibu benar-benar menyenangkan.

Alma menghela napas lega.

Dari pertemuannya dengan Mahesa hari Sabtu dan Minggu lalu, Alma bisa menarik kesimpulan bahwa laki-laki itu sungguh baik orangnya. Mencintai Wilujeng dengan sangat dalam. Menurunkan pula kebaikannya pada putra-putrinya.

“Nah, sambil menikmati semua ini, ceritakan pada Ibu tentang kehidupanmu sebagai seorang Alma,” Wilujeng menatapnya dengan mata berbinar-binar setelah menghidangkan secangkir besar teh hangat beraroma blackcurrant, sepiring besar aneka kue basah, dan berstoples-stoples kue kering aneka rupa.

Alma tersenyum sebelum mulai berbagi cerita.

“Nama ayahku Taruno Purbowiyakso dan ibuku Mistykala Purbowiyakso, Bu,” ucap Alma sembari menunjukkan foto-foto dalam ponselnya. “Dan aku dulu punya kakak perempuan. Namanya Alda. Tapi dia....”

Wilujeng menyimak baik-baik penurutan Alma. Matanya ikut berkaca-kaca ketika Alma sampai pada peristiwa kecelakaan yang merenggut nyawa kakaknya. Juga ketika jiwanya terombang-ambing sebagai Alma dan Pinasti dalam sebuah ruang kosong yang begitu gelap sebelum benar-benar lebur sebagai Alma yang sekarang. Pun ikut tertawa geli ketika gadis itu bercerita tentang sahabat-sahabat dan geng Buyar Kabeh-nya.

“Dan, aku punya adik, Bu,” mata Alma berbinar-binar ketika mulai bercerita tentang adiknya. “Namanya Alto. Buat kami semua, dia itu keajaiban. Bayangkan, Bu, beda umur kami sekitar empat belas tahun.”

“Apa tidak lebih kacau lagi si Pinpin?” Wilujeng tergelak. “Bedanya dengan Seta dan Kresna dua puluh dua tahun.”

“Oh, iya, ya,” Alma ikut tergelak. Kemudian dengan mata setengah menerawang, ia melanjutkan, “Dan, ternyata Pinpin dan Alto pun ada jalinan khusus, ya, Bu?”

“Ya,” Wilujeng mengangguk-angguk. “SketsaNya sungguh mengagumkan, Al. Indah sekali buat kehidupan kita, walaupun tetap ada bagian yang cukup menyedihkan.”

Alma manggut-manggut.

“Mm... Kalau kamu rindu pada Bawono Kinayung, datanglah ke sini,” ujar Wilujeng, lembut. “Kamu bisa melihat-lihat lukisan Kresna. Kalau rindu pada Janggo, ada juga lukisannya di kamar Pinpin.”

“Ya, Bu,” Alma mengangguk patuh. “Oh, iya, Pinpin dan Bapak ke mana, Bu?”

“Panggil saja ‘ayah’,” senyum Wilujeng. “Ayahmu itu hobi banget memancing. Bukan di laut, tapi di telaga atau kolam khusus untuk pemancingan. Selalu mengajak Pinpin. Hasilnya memuaskan kalau Pinpin ikut. Ibu, sih, jarang ikut. Suka ngantuk kalau memancing. Paling cuma kebagian masak hasilnya saja kalau mereka pulang,” Wilujeng tergelak di ujung penuturannya. “Oh, ya, kamu masih suka masak?”

“Oh, masih!” Alma menjawab dengan nada antusias. “Ibuku sampai heran kenapa aku ujug-ujug punya hobi masak. Dulu yang suka ikut Ibu masak adalah Kak Alda. Tapi Ibu senang juga, sih, tetap ada yang membantunya masak walau Kak Alda sudah nggak ada. Bahkan waktu aku liburan sekolah, oleh Ibu sempat beberapa kali diikutkan kelas masak singkat yang diadakan chef-chef terkenal.”

“Oh, ya?” Wilujeng membelalakkan matanya yang dipenuhi binar. “Pasti kamu senang sekali!”

“Iya, Bu!” jawab Alma dengan antusias. “Pada saat-saat seperti itu sering sekilas ada ingatan, aku memasak di suatu tempat sederhana bersama seseorang yang rasanya dekat sekali di hati. Dan ternyata...”

“Ah, biarpun ingatan kita dihapus, tetap saja ada jejak tipis yang tertinggal, ya?” Wilujeng memeluk Alma dengan hangat.

Gadis itu balas memeluk Wilujeng.

“Nanti kita makan siang bersama, ya,” ujar Wilujeng sembari melepaskan pelukannya. “Minus Ayah dan Pinpin. Kalau akhir pekan begini, biasanya Seta dan Kresna pulang ke sini untuk makan siang. Ibu sudah pesan pada Seta supaya ajak Erika.”

“Mbak Erika baik banget orangnya,” Alma menanggapi. “Kelihatannya sabar.”

“Ya,” Wilujeng tersenyum lebar. “Cocok sekali untuk Seta. Dan...,” Wilujeng menatap Alma, “... kalian, kamu dan Kresna, rupanya memang betul-betul belahan jiwa. Ibu senang sekali, Nduk.”

Seketika Alma kembali memeluk Wilujeng.

“Aku juga senaaang sekali bertemu dengan Ibu,” bisiknya. “Aku selalu berdoa setiap malam agar dipertemukan dengan orang-orang yang dekat denganku dan selalu muncul secara samar dalam mimpi-mimpiku. Salah satunya Ibu.”

Wilujeng tak lagi mampu berkata-kata. Ia hanya bisa balas memeluk Alma. Erat. Hangat.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)