Sebelumnya
* * *
Dua Puluh Dua
Hadiah Indah
dari
Bawono Sayekti
Ketika suasana sudah meredup di Bawono Kinayung, rombongan itu sudah bersiap untuk berangkat ke Bawono Sayekti. Mereka menyusuri jalan setapak menuju sungai di belakang pondok Paitun. Di ujung jalan setapak itu, mereka berbelok ke kiri, dan sampai di dermaga kecil yang tak jauh dari belokan. Ada tiga buah sampan kecil mengambang di permukaan air. Masing-masing terikat pada tiang yang berbeda.
“Ayo,” sekilas Paitun menatap Alma dan Kresna. Menyuruh sepasang pengantin baru itu mengikutinya dan Sentini masuk ke sampan terdepan. Kriswo, Randu, dan Tirto masuk ke sampan kedua, sedangkan Janggo sekeluarga di sampan ketiga.
Setelah semuanya siap, sampan itu mulai meluncur perlahan membelah pertengahan sungai. Makin lama makin cepat, walaupun tidak juga terlalu kencang. Kresna kembali mengabadikan perjalanan itu. Pun Alma, melalui kamera poketnya.
Aroma harum aneka bunga mulai tercium setelah beberapa saat mereka memulai perjalanan. Pun melewati pula rumpun-rumpun pakis dengan pucuk-pucuk yang masih tergulung.
“Kamu masih suka tumis pakis, Kres?” tiba-tiba saja suara halus Paitun memecah kesunyian.
“Masih, Ni,” angguk Kresna. “Khususnya tumis pakis yang dimasak Ibu atau Alma, walaupun belum ada yang bisa menandingi sedapnya pakis yang ada di sini.”
“Hmm...,” Paitun tersenyum simpul. “Kalau kalian kembali ke ‘atas’, bawalah bibit pakis dari sini. Nanti biar dicarikan yang paling bagus oleh Tirto. Tidak sulit, kok, merawatnya.”
“Terima kasih, Ni. Nanti kami numpang tanam di halaman rumah Ibu. Sementara ini kami belum punya halaman karena masih tinggal di rumah susun.”
“Begitu juga baik,” angguk Paitun.
“Eh, tapi...,” Kresna mengerutkan kening, “... bukankah pakis butuh tempat yang dingin dan lembab agar bisa hidup? Palaguna tidak seperti itu, Ni.”
Paitun tergelak seketika, sementara Sentini mengulum senyum.
“Pakis dari Bawono Kinayung, Kres,” ujar Sentini. “Jangan lupakan itu!”
“Ah!” seketika Kresna memahaminya.
Pakis dari Bawono Kinayung... Coba, keajaiban apa lagi yang akan dibawa oleh bibit pakis itu?
Ketika hari sudah makin temaram, sampailah mereka di dermaga dekat pondok Sentono dan Winah. Ternyata, kedua orang itu sudah menunggu di sana untuk menyambut mereka. Winah memeluk erat Alma.
“Wah..., bayi Bawono Sayekti sudah dewasa sekarang,” bisiknya, penuh haru.
“Terima kasih atas undangan ini, Ni,” ucap Alma, sedikit tersendat. “Kembali ke Bawono Kinayung dan Bawono Sayekti, semua terasa seperti mimpi bagiku.”
“Mimpi yang menjadi nyata,” timpal Winah, tertawa kecil.
Sepasang tetua Bawono Sayekti itu pun segera menggiring rombongan tamu mereka ke pondok. Bilik-bilik sudah disiapkan, dan Janggo membawa keluarganya ke pondok Suket Teki.
Tak jauh dari pondok Sentono dan Winah, pada sebuah tanah datar yang agak lapang, sedang ada kesibukan. Beberapa orang tengah mendirikan naungan besar yang mulai dihiasi dengan aneka rupa dedaunan dan bunga-bungaan.
“Besok, kita adakan makan siang bersama di sana,” Sentono menunjuk kesibukan itu. “Ah, kami semua senang sekali berjumpa dengan kalian!”
“Kami juga, Ki,” Alma dan Kresna menjawab serempak.
“Nah, kalian sekarang istirahat dulu,” ujar Winah. “Kalau mau mandi, silakan. Tempatnya ada di belakang. Bilik-bilik buat kalian, sini, aku tunjukkan.”
Rombongan itu pun mengikuti langkah Winah, masuk ke pondok.
* * *
Selepas senja, mereka semua duduk mengelilingi meja besar di bagian belakang pondok Sentono dan Winah. Meja besar itu penuh dengan makanan yang sungguh menggugah selera. Mulai dari nasi merah yang masih mengepulkan asap, kalkun panggang yang permukaannya cokelat keemasan mengilap dan menggiurkan, sup bening jagung manis, tumis pedas daun dan bunga pepaya, tumis pakis yang terlihat sangat segar, sambal goreng krecek dan tahu, beberapa cobek berisi aneka sambal, selada buah dengan saus madu, dan juga satu teko besar sari sarsaparilla.
Mereka menikmati makan malam sambil bercerita tentang banyak hal. Kehidupan Alma dan Kresna di ‘atas’, kabar Wilujeng, apa saja yang terjadi di Bawono Kinayung dan Bawono Sayekti sepeninggal Wilujeng dan Alma ‘Pinasti’, kabar bawono-bawono lain... Semuanya terlalu menarik untuk tidak diungkapkan.
Sentono dan Winah menyatakan kebahagiaan mereka atas pertemuan kembali Kresna dengan Wilujeng, Kresna dengan Alma, dan Alma dengan Wilujeng. Semua yang memang sudah pas pada tempatnya.
“Orang baik seperti ibumu, memang sudah sepantasnya menjadi belahan jiwa orang sebaik ayahmu,” Winah menatap Kresna dengan mata berbinar. Ia kemudian beralih menatap Alma. “Dan, orang tua sebaik orang tuamu, sudah sepantasnya untuk tidak memperoleh terlalu banyak kehilangan. Kalian sendiri,” Winah menatap Kresna dan Alma bergantian, “tetaplah saling membuka hati agar jiwa kalian tetap menyatu selamanya.”
“Iya, Nini,” ucap Alma dan Kresna serempak, dengan nada takzim.
“Kami akan selalu berusaha untuk mengingat dan melaksanakan pesan Nini,” lanjut Kresna.
“Bagus!” Winah mengangguk dengan wajah puas.
“Terus, acara yang akan kalian gelar itu besok sebetulnya bagaimana, Mbakyu, Kang?” Paitun menatap Winah dan Sentono.
Sentono dan Winah saling menatap sejenak sebelum Sentono berdehem sedikit dan menjawab.
“Jadi begini, mumpung pengantin barunya diundang ke Bawono Kinayung, sekalian saja Winah dan aku ingin mengadakan syukuran di sini. Hanya Jamuan makan siang sederhana saja, dengan mengundang orang-orang dari bawono lain. Tidak banyak, karena penghuni semua bawono memang cuma sedikit. Tak sampai seratus orang jumlahnya. Bagaimanapun, Alma dulu bayinya sempat dibawa ke sini, sempat juga dirawat selama beberapa hari di sini. Kresna juga sempat berkunjung ke sini, kan? Waktu ikut Wilujeng menengok makam.”
Semua manggut-manggut mendengar ucapan Sentono. Kresna kemudian menepuk keningnya.
“Oh, iya, saya belum menengok makam adik saya.”
“Itu,” Winah menunjuk ke sudut, “sudah kusiapkan bunga untuk taburan. Besok pagi-pagi sempatkan dirimu, Kres. Bawalah bunga taburan itu.”
“Baik, Ni,” angguk Kresna. “Terima kasih.”
* * *
“Aku tak banyak mengenal orang-orang di sini,” gumam Alma saat ia dan Kresna sudah berbaring di atas balai-balai. “Selama ini kalau aku ikut Ibu Wilujeng atau Nini ke sini, paling-paling hanya untuk bertemu dengan Aki Sentono atau Nini Winah saja. Itu pun tak pernah lama.”
Seusai makan malam, Sentono dan Winah mengajak Alma dan Kresna menemui orang-orang yang sedang sibuk menyiapkan tempat untuk jamuan makan siang esok hari. Meskipun Alma tak terlalu mengenal mereka, tapi mereka menyambut kehadiran keduanya dengan sangat hangat. Tampak ikut bahagia karena ada ‘lulusan’ Bawono Kinayung yang bertemu lagi sebagai belahan jiwa.
“Tapi melihat bagaimana mereka menyambut kita, rasanya terharu sekali, Yang,” Kresna menyahut dengan gumaman juga.
“Iya,” Alma mengangguk, kemudian menguap. “Bobok, yuk, Mas. Besok pagi-pagi jangan lupa ke makam dulu.”
Kresna pun merengkuh tubuh Alma, dan segera terbang ke alam mimpi yang indah di tengah padang rumput.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)