Minggu, 08 Juli 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #17-3










* * *


Sesuai dengan petunjuk Saijan, Seta mengarahkan mobil yang dikemudikannya masuk ke sebuah jalan tanah yang agak menanjak, mengarah ke kaki Gunung Nawonggo dari sebelah timur. Tak jauh dari awal mereka masuk, ada pertigaan dengan sebuah papan penanda yang tulisannya sudah mulai pudar. Yang kiri mengarah ke Bukit Trucuh, yang kanan adalah jalan alternatif menuju Jalur Sembrani. Saijan menunjuk arah kiri. Ke sanalah Seta membelokkan kemudi mobil.

Jalan tanah yang hanya cukup untuk satu mobil itu kembali menanjak, dan berakhir sedikit di bawah puncak bukit, pada sebidang tanah datar kosong seluas kurang lebih seperempat lapangan sepak bola. Belum sempat Seta mematikan mesin mobil, dari segala penjuru, muncullah segerombolan ajak yang akhirnya berdiri mengepung mobil, sekira lima meter jaraknya. Seekor yang paling besar adalah ajak berwarna cokelat kemerahan, berdiri tegak tepat di depan mobil, didampingi seekor ajak yang lebih kecil, berwarna putih bersih. 

Seta menahan napas karenanya. Demikian pula Mahesa dan Erika. Sementara itu Wilujeng, Kresna, dan Alma berdiam diri walaupun tahu ‘siapa’ sebenarnya pemimpin gerombolan ajak itu. Perlahan Saijan keluar dari dalam mobil. Tampak berdiam diri sejenak di depan pintu.

“Ah! Serigalaku!” seruan Pinasti kecil memecahkan ketegangan yang mendadak hadir akibat mobil yang  mereka tumpangi dikelilingi segerombolan ajak. Telunjuk mungilnya mengarah pada ajak raksasa di depan mobil.

“Aduh, Pin...,” gerutu Mahesa. “Kamu ini...”

“Tapi itu serigalaku, Ayah!” Pinasti kecil keras kepala.

“Ya, ya,” Mahesa akhirnya mengalah. “Itu serigalamu yang dilukis Mas Kresna, ya?”

“He eh,” Pinasti mengangguk mantap.

Tak lama kemudian Saijan berbalik dan membuka pintu mobil. Laki-laki itu melongokkan kepalanya.

“Tidak apa-apa,” ujarnya. “Mereka akan menjaga mobil ini di sini.”

“Benar tak apa-apa?” tatapan Mahesa masih terlihat khawatir.

“Tak apa-apa, Pak,” tegas Saijan. “Saya jamin. Toh, keponakan saya sendiri juga ada di sini bersama kita.”

Barulah Mahesa menghela napas lega. Mereka pun satu demi satu keluar dari dalam mobil. Tanpa bisa dicegah, Pinasti kecil berlari ke arah depan mobil. Hati Mahesa seolah hilang melihatnya.

“Pinpin!” serunya panik. “Jangan, Nduk!”

Tapi Saijan menahan lengan Mahesa yang sudah hendak mengejar putri bungsu kesayangannya.

“Tak apa-apa, Pak Mahesa,” ujarnya, menenangkan. “Sungguh! Bapak tak perlu khawatir. Mereka penjaga daerah sini. Kita datang dengan maksud baik. Mereka tahu itu.”

Maka, Mahesa terpaksa menatap putrinya yang sudah ada di depan pasangan ajak cokelat kemerahan dan putih itu dengan sorot mata tak berdaya. Pinasti kecil melepaskan mahkota bunga yang ada di kepalanya, kemudian mengulurkan mahkota itu, dan memasangnya di puncak kepala ajak berwarna putih. Ajak putih itu menggoyangkan ekornya beberapa kali, kemudian membungkukkan badannya sedikit di depan Pinasti. Kejadian itu membuat ternganga siapa pun yang melihat.

‘Mas, Pinpin mengenalinya!’ seru Alma.

Kresna mengangguk samar. ‘Ya.’

Pinasti kecil kemudian kembali ke rombongan dengan wajah cerianya yang tampak begitu murni dan bersinar. Mahesa segera mendekap dan menggendong putri kecilnya.

“Pin..., janji, jangan lakukan itu lagi,” bisik Mahesa.

“Tapi, Yah...,” si kecil masih berusaha membela diri.

“Pinpin...”

“Mm... Baiklah...,” kali ini si kecil mengalah.

Mereka kemudian mulai berjalan meninggalkan tempat itu, mengikuti langkah Saijan. Menyusuri sebuah jalan setapak yang tampaknya menuju ke puncak bukit. Kresna mengambil alih Pinasti dari gendongan ayahnya. Alma yang berjalan di sebelah Kresna meraba mahkota bunga yang ada di kepalanya, kemudian melepasnya dan meletakkannya di puncak kepala Pinasti. Agak terlalu besar, tapi tetap terlihat cantik. Dengan senyum lebarnya yang manis, Pinasti pun mengucapkan terima kasih.

“Nanti Mas bikinkan yang baru,” bisik Kresna sembari mencium pipi bulat Pinasti.

Mereka kini sudah sampai di puncak bukit. Di bawah naungan sebatang pohon kamboja yang berbunga lebat dan bercabang banyak, ada dua buah makam yang terlihat sudah kuno walaupun tampak masih terawat. Mahesa dan Wilujeng saling menatap.

“Ini...,” ucap Saijan dengan suara terdengar berat dan khidmat, “... adalah makam Nyai Sentini dan Tirto.”

Mereka semua menatap dua makam dengan nisan masing-masing. Bertuliskan ‘Nyai Sentini’ dan ‘Tirto’ dengan aksara Jawa. Mahesa masih bisa membacanya dengan baik.

“Saya sendiri tidak tahu sejak kapan makam kuno ini ada,” lanjut Saijan. “Yang pasti, semua penjelasan saya tentang Nyai Sentini dan Tirto hanya bisa berawal sekaligus berujung di sini.”

Semua tercenung menatap makam itu. Sejenak kemudian, Erika berinisiatif mengumpulkan guguran bunga kamboja yang masih segar, yang terserak di atas tanah, untuk ditaburkan pada kedua makam itu. Seta membantunya dalam hening.

Setelah semuanya dirasa selesai, mereka pun kembali ke mobil. Kawanan ajak itu masih ada. Masih dalam posisi yang sama seperti saat mereka meninggalkan dataran itu. Ketika mereka makin dekat, kawanan ajak itu pun menyingkir. Dalam diam, mereka kemudian masuk ke dalam mobil, dan mulai meninggalkan tempat itu. Pinasti kecil menyempatkan diri melambaikan tangan pada kawanan itu, yang dibalas dengan lolongan-lolongan panjang bersahutan yang sungguh menggetarkan hati siapa pun yang mendengarnya.

Pelan-pelan, Seta membelokkan mobilnya ke kanan ketika sampai di pertigaan. Mereka pun makin jauh. Suara lolongan itu pun memudar ditelan keheningan hutan yang menaungi jalur itu.

Saijan sempat menatap ke arah belakang melalui spion. Terlihat olehnya jalur pertigaan yang baru saja mereka lalui kini sudah kembali tertutup rapatnya pepohonan. Tak ada bekas jalan tanah yang berbelok ke arah bukit. Yang ada hanya jalan yang mengarah ke jalur Sembrani. Sebuah belokan tunggal. Bukan pertigaan. Dan, jejak kabut tipis masih tertinggal sejenak sebelum benar-benar menghilang.

Samar, Saijan mengulum senyum lega. Bawono Kinayung akan tetap aman...

* * *

Sudah menjelang sore ketika mereka tiba kembali di Palaguna. Karena terseret oleh rangkaian peristiwa yang mereka alami baru saja, mereka melewatkan waktu makan siang. Baru terasa lapar ketika sudah memasuki gerbang kota Palaguna.

“Mampir makan dulu saja, Kres,” ujar Mahesa pada Kresna yang menggantikan Seta mengemudi setelah mereka mengantarkan Saijan pulang.

Kresna pun membelokkan mobil mereka ke sebuah rumah makan bernuansa alam yang terletak di tepi sebuah danau buatan. Setelah memarkir mobil, mereka pun mencari saung yang masih kosong. Ada satu untuk ukuran keluarga, berada tepat menghadap ke danau.

Dengan sedikit letih, mereka menghempaskan diri di saung itu. Perlu mengatur napas sejenak sebelum mereka mulai meneliti buku menu. Setelah urusan memesan makanan dan minuman selesai, barulah mereka menemukan kembali atmosfer hangat mereka.

“Jadi, bagaimana?” tanya Mahesa. “Kalian sudah puas?” ditatapnya Wilujeng, Kresna, dan Alma.

Ketiga orang itu saling menatap sebelum sama-sama mengangguk.

“Barangkali memang benar ada banyak hal yang tak bisa dijelaskan oleh logika,” ujar Wilujeng.

“Yang jelas, Ibu memang benar diselamatkan oleh Nyai Sentini,” sambung Kresna. “Dan aku, oleh Pak Saijan. Di luar itu, tak ada lagi penjelasan yang bisa dikejar. Mengenai Alma...,” Kresna menatap gadis itu. “Katakanlah memang terhubung melalui mimpi denganku. Aku berharap, kami seperti Ayah dan Ibu, merupakan belahan jiwa. Walaupun masih harus menunggu lagi sampai statusku tidak lagi jadi dosennya,” Kresna mengulas senyum.

Alma terlihat tersipu. Apalagi ketika semua yang ada di sekeliling meja besar itu menanggapi dengan sangat positif.

“Jadi...,” suara Kresna sedikit ditambah volumenya agar bisa mengatasi dengung-dengung itu. “Kalau Seta dan Erika mau duluan, silakan...”

Suasana kembali meriah dengan tawa ceria mereka. Pada satu titik, Alma mencoba sesuatu. Sambil berusaha tetap mengikuti pembicaraan hangat itu, ia berusaha mencari-cari sesuatu. Jalur frekuensi yang sama. Seulas senyum samar kemudian terulas. Lalu...

‘Bu, aku sayang Ibu...’

Wilujeng yang tengah meneguk minumannya seketika tersedak dan batuk-batuk sedikit. Mahesa buru-buru mengelus-elus punggung Wilujeng.

Mbok, ya, pelan-pelan kalau minum, Bu,” tegurnya lembut.

Wilujeng masih sedikit terengah. Tapi...

‘Oh, Alma... jadi sekarang kita bisa berkomunikasi dengan cara seperti ini?’

‘Iya, Bu. Aku coba, dan bisa.’

Wilujeng tak sanggup lagi berkata-kata. Wajahnya terlihat makin cerah dan bercahaya.

Apa yang lebih indah di dunia ini daripada cinta Mas Mahesa, dan menemukan serta menyatukan anak-anakku kembali dalam pelukanku?

Selintas pikiran menyelinap masuk ke dalam benaknya. Ia tersenyum tertahan.

‘Hm... Jadi kapan Ibu punya waktu khusus untuk ngobrol banyak dengan gadis cantik Ibu yang satu ini?’

Ditatapnya Alma. Gadis berambut keriting kriwil itu sekilas menatapnya dan mengulas senyum.

‘Kalau Sabtu depan, bagaimana, Bu?’

Wilujeng hampir saja meloncat kegirangan.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)