[Cerbung] CUBICLE #16

Kisah sebelumnya : CUBICLE #15

* * *

Enam Belas

Aku benar-benar tak menduga kalau pada akhirnya Driya akan terlibat juga dalam keruwetan jalinan di dalam geng sarap. Yussi? Tidak. Aku sama sekali tak merasa cemburu. Tapi melihat ada sejarah tertentu di balik itu, ketika dia marah padaku dan menyebut-nyebut Bara, bukankah sudah terlihat jelas ruwetnya?

Barangkali memang benar bahwa perempuan tak bisa bersahabat secara murni dengan laki-laki, dan sebaliknya. Sepertinya akan selalu ada hal-hal yang berpotensi ‘meleset’ seperti timbulnya rasa ‘suka’ yang bisa jadi bertepuk sebelah tangan dan akan merusak persahabatan itu sendiri.

Sungguh, sejujurnya aku tak mau geng sarap jadi terpecah seperti ini. Kalaupun ada sejarah ‘bertepuk sebelah tangan’ itu, bagaimana caranya agar geng sarap tetap bersatu?

Entah bagaimana caranya aku bisa menyetir dengan selamat dari rumah Driya menuju ke apartemenku. Aku baru menyadarinya ketika tahu-tahu aku sudah membelokkan mobilku masuk ke area apartemen menjelang pukul sebelas malam.

Sambil menunggu seorang satpam membuka gerbang yang sudah setengah tertutup, kuraih sebuah tas kertas dari jok sebelahku. Kubuka jendela sebelah kanan.

“Pak, ini ada sedikit oleh-oleh dari Bandung,” kuulas senyum manis sambil menyodorkan tas kertas itu pada beberapa satpam yang ada di pos.

“Wah... Makasih, Mbak Sasi. Makasih...”

Aku pun mengangguk dan berlalu dengan mobilku. Pelan aku meluncur ke arah basement sambil menguap untuk kesekian kalinya.

Astaga... Capeknya aku...

* * *

Paginya, aku terpaksa menelepon Fajar untuk minta tebengan. Rasanya aku tak sanggup menyetir ke kantor pagi ini. Sudah setengah enam, aku bergegas menuju ke blok apartemen Fajar sambil menenteng dua dos oleh-oleh. Dia menungguku di dalam mobilnya yang sudah parkir di halaman depan bloknya.

“Lu semalem nyampe jam berapa, Sas?” Fajar membuka pintu untukku, setelah memasukkan dos ke dalam bagasi mobilnya.

“Ada kali jam sebelas.”

“Dari Bandung jam berapa? Macet banget ya?” Fajar mulai menekan pedal gas mobilnya.

“Dari siang,” jawabku sambil menguap. “Tapi gue mampir Pondok Gede dulu. Transit bentar di rumah Driya. Stress gue kena macet gitu.”

“Oh... Ya udah, kalo lu masih capek, ngantuk, lu merem aja dulu. Tar kalo udah nyampe kantor gue bangunin. Lumayan sejam-dua jam.”

Aku pun menuruti ucapan Fajar dengan merebahkan sedikit sandaran jok dan mulai memejamkan mata.

* * *

Rasanya baru sekejap aku dibuai mimpi ketika sudah kurasakan tepukan-tepukan lembut di bahu dan pipiku. Pelan kubuka mata. Fajar menatapku sambil tersenyum.

“Udah nyampe, Non... Lu tidur kayak bayi. Imut banget, hehehe...”

Aku pun buru-buru menegakkan sandaran jok dan bercermin. Tak terlalu berantakan. Hanya butuh sedikit sentuhan sisir, poof bedak, dan seulas sheer colored lip balm. Lima menit kemudian aku sudah kembali rapi. Baru kemudian kusadari Fajar menungguiku dengan sabar.

“Sorry,” aku meringis sambil keluar dari mobil. “Lama.”

Dia tertawa sambil menekan alarm mobilnya.

“Kakak gue jauh lebih heboh dandannya daripada elu, Sas,” celetuknya sambil berjalan dan menenteng dua dos oleh-oleh dariku.

“Hehehe... Gue sih aslinya ogah ribet.”

“Eh, lu udah sarapan?”

Aku menggeleng. “Lha, gue aja bangunnya rada kesiangan.”

“Ke pecel Bu Tomo dulu yuk! Baru jam tujuh lewat dikit kayaknya.”

Maka ke sanalah kami melangkah. Lantai 3 Menara Daha. Sambil menikmati pecel pincuk dan teh hangat, kami mengobrol macam-macam. Tapi lama-lama obrolan kami mengerucut pada Driya dan Yussi.

“Kemarin Driya sempet nanyain Yussi,” aku menggigit rempeyek. “Gimana menurut lu?”

“Menurut lu sendiri?” Fajar meneguk teh hangatnya.

“Gue lagi mikir, jangan-jangan Yussi justru suka sama Bara. Pas dia mergokin Driya nginep nggak sengaja di apartemen gue tuh, Yussi sempat nyebut-nyebut Bara. Katanya Bara bisa marah kalo tau gue masukin laki-laki ke apartemen gue. Kalo dia nggak ada rasa lain sama Bara, ngapain dia ikutan marah sama gue? Sampai perlu-perlunya nyidang gue segala?”

Fajar menatapku. Keningnya berkerut dalam.

“Kalo Bara marah sama elu soal itu, gue bisa paham. Gimana-gimana Bara kan ada hati sama elu.”

“Haish!” sergahku seketika. “Ada hati... Ada hati... Orang dia selama ini adem ayem aja. Malah sekarang jalan sama Mita kan?”

“Hm...,” kelihatannya Fajar juga ikut bingung. “Iya juga sih... Tapi kalo Yussi ke Bara kayaknya enggak deh! Sama sekali nggak keliatan sinyalnya. Lu aja masih keliatan sinyalnya dikit ke Bara,” Fajar nyengir.

“Hadeeeh...,” aku melengos, menggerutu. “Disinyalin juga tetep bubar jalan.”

“Hehehe... Yang keliatan malah Yussi ke Driya.”

Seketika aku tertegun. Yussi ke Driya? Yussi dan Driya? Astagaaa... Kenapa aku bodoh banget tak menyadari hal itu? Pantas saja Yussi marah padaku yang sudah membiarkan cem-cemannya itu menginap di apartemenku! Kenapa pikiranku tak sampai ke situ?

Kutepuk keningku. Satu simpul terurai sudah.

“Kenapa?” Fajar menatapku polos.

“Pantesan dia marah padaku soal Driya nginep itu. Cemburu rupanya.”

“Nah...,” senyum Fajar melebar. “Oh ya, jujur aja nih, Sas, gue belakangan ini nggak nyaman juga sama atmosfer di geng sarap. Gue udah bersikap lempeng aja soal Bara sama Mita. Gue pikir, ya udahlah kalo Mita pilih Bara. ‘Kali emang bukan jodoh gue. Tapi sejak gue belain lu soal nginepnya Driya itu, dia jadi rada dingin sama gue.”

“Dia siapa?”

“Bara.”

“Masak sih?”

“Serius!”

“Nah kan, itu kenapa lagi coba?” aku memutar bola mata ke atas.

Fajar hanya mengangkat bahu.

“Oh iya, Driya sempet numpang istirahat di apartemen lu kapan itu ya?”

“Nah itu...,” Fajar tersenyum menatapku. “Dia kayaknya lagi di jalan pas nelepon gue. Minta kunci apartemen lu ke gue. Mau istirahat di sono. Emang udah ijin sama elu?”

Aku mengangguk. “Emang gue yang nyuruh. Tapi gue lupa kasih tau elu.”

“Hm... Ya terus pas dia dateng nggak gue kasih kunci apartemen lu. Gue suruh aja istirahat di tempat gue. Dia sempet nanya kenapa. Ya udah, gue ceritain soal lu diributin geng itu. Sempat kaget juga dia. Akhirnya gue bilang, besok-besok kalo mau numpang istirahat di tempat gue aja.”

“Oh...”

Lalu kami terdiam sambil menghabiskan sarapan masing-masing. Kurang 13 menit dari pukul delapan, kami sudah masuk ke lift. Sempat juga ada suasana meriah di kantor ketika sejenak ada acara bagi-bagi oleh-oleh. Tapi aku segera merapat ke ruang meeting produksi. Bang Togi sudah menungguku untuk menyelesaikan iklan Multijossgandos.

* * *

Siangnya aku menikmati maksi hanya berdua dengan Driya. Geng sarap yang lain, entah menyebar ke mana. Sambil mojok di salah satu sudut Prima, kami menunggu pesanan makanan datang dengan mengobrolkan banyak hal. Lama-lama pembicaraan itu menyentuh Yussi.

“Ngomong-ngomong lu serius mau PDKT sama Yussi?” tanyaku sambil menyuapkan es buah ke dalam mulutku.

“Ya kalo prospeknya cerah sih, gue serius, Yik.”

“Maksud lu?”

“Lu kan sohibnya. Ya ‘kali aja dia pernah cerita sama lu soal gimana cowok yang dia mau buat serius jadi suaminya. Seumur kita kan orientasinya udah ke arah situ, Yik. Bukan main-main lagi.”

“Hm... Kalo Fajar bilang sih, dia nangkep Yussi ada sinyal-sinyal gitu ke elu. Makanya Yussi marah kan, pas mergokin lu ketiduran di apartemen gue. Cemburu... Dikiranya gue ada apa-apa sama lu. Ya udah lu jabanin aja, Men...”

“Mumpung ada kesempatan gue sering ketemuan sama dia soal iklan ya?” Driya nyengir.

“Ya mantepin dulu hati lu,” senyumku. “Gue tinggal nunggu lu nitipin cincin kawin lu ke gue.”

Driya tertawa. “Jangan dijual yak?”

“Kagaaak... Palingan masuk ke pegadaian doang, hehehe...”

Tangan Driya mendadak terulur ke arahku. Terlambat! Dia berhasil mengacaukan poniku. Huh!

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : CUBICLE #17