Episode sebelumnya : Cinta Dua Masa #2
* * *
“Aku belum lupa ya, kamu nangis-nangis waktu
dia pamitan,” Day menatap Madri, tajam. “Dan setelahnya dia nggak pernah kasih
kontribusi apa-apa terhadap hidupmu. Bahkan mungkin mikirin kamu saja enggak.”
“Ya tapi kan dia harus konsen sama kuliah
S2-nya di Jerman, Day,” ada nada pembelaan yang kental dalam suara Chika.
“Astaga...,” Day memutar bola matanya. “Ini
jaman udah canggih banget, sekadar say
hello aja apa susahnya sih?”
“Tapi sekarang kayaknya dia suka juga sama
Madri,” ucap Chika dengan mata berbinar. “Aku bisa lihat tatapan matanya
yang... ah! Gitu deh!”
“Kamu kebanyakan nonton sinetron,” ucap Day
tandas. “Lagian umurnya, Chik, umurnya... Jauh bener!”
“Yeee... Cinta nggak lihat perbedaan umur
‘kaleee...,” Chika langsung cemberut.
“Kami ini bukannya bantuin teman, ngarahin ke
hal yang bener, malah gosokin yang enggak-enggak,” Day melanjutkan gerutuannya.
Hening sejenak. Tak lama kemudian Day bangkit
dari duduknya.
“Udah ah, aku mau pulang dulu. Besok aku ada
ulangan Kimia,” ucap Day.
Chika juga ikut-ikutan berdiri. “Aku ada PR
Inggris.”
“Enak ya, yang udah jadi mahasiswi,” Day
menyenggol lengan Madri. “Nggak ada PR.”
“Enak gimana?” gerutu Madri. “Sekalinya dapat
tugas langsung bikin paper ini-itu.”
Day dan Chika beriringan ke teras belakang.
Swandini dan Jatmiko tengah duduk berdua menikmati teh dan aneka cemilan. Madri
mengiringi langkah keduanya.
“Ma, Pa,” panggil Madri. “Day sama Chika mau
pamitan.”
Swandini dan Jatmiko menoleh.
“Lho, nggak makan dulu?” Swandini mengangkat
alisnya. “Itu, lagi disiapin sama Bik Tunik.”
Day dan Chika sama-sama menggeleng. Dengan
alasan sudah menjelang malam, maka keduanya pun berpamitan.
* * *
Madri merebahkan badannya yang terasa letih
di atas ranjang. Kegiatannya di kampus hari ini sebenarnya tak terlalu banyak.
Hanya saja sebuah BBM yang masuk siang tadi mendadak terasa mengacaukan
hidupnya yang tenang.
Hai,
Dri... Sudah ada acara buat malem Minggu? Aku ada free pass Inside Out nih!
Nonton yuk...
BBM dari Reddy.
Dan ia belum menjawabnya. Karena memang tak
tahu harus menjawab bagaimana. Ketika curhat dengan Day dan Chika, justru kedua
sahabatnya itu berdebat sendiri Berada pada dua sisi yang berlawanan. Tanpa ada
kesimpulan yang bisa membantunya mengambil sikap.
Bertanya
pada Mas Kresna?
Madri menghela napas panjang. Bisa-bisa
masalahnya makin ruwet karena sudah jelas Kresna akan berpihak pada siapa. Sementara
ia sendiri belum punya rencana apa-apa dengan Galang untuk akhir minggu nanti.
Galang memang tak pernah merencanakan sesuatu
yang pasti untuknya. Semuanya serba spontan. Tapi sesungguhnya ia selalu menikmatinya.
Walau hanya makan es krim berdua di taman kota. Atau berburu aneka buku. Atau
menjadi penggembira Kresna saat timnya bertanding futsal. Atau hanya sekadar berboncengan
motor menikmati sore yang cerah. Atau sesekali nonton. Atau hanya duduk berdua
di bawah payung di sudut area belakang Cygnus Dimsum. Mengobrol tentang
banyak hal. Bercanda tentang hal-hal yang tak penting.
Bersama Galang, ia tak perlu menjadi orang
lain. Hanya perlu menjadi dirinya sendiri. Dengan segala sifatnya yang
kadang-kadang semanja anak TK. Atau saat ia harus bertukar pikiran dengan
Galang secara dewasa. Semuanya diterima Galang tanpa syarat.
Dan di atas semua itu, ia sungguh menyukai
Galang yang sangat sederhana. Sama sekali tak pernah bergaya borjuis walaupun ayahnya adalah pemilik
beberapa perusahaan besar dan ibunya pemilik jaringan salon dan butik terkenal.
Tetap dengan enaknya mampir makan di warung pinggir jalan, dan selalu
menunggang motor matic-nya walaupun
mobil paling mahal sekali pun bisa terbeli untuknya.
Semuanya itu membuatnya nyaman. Tak pernah
membuatnya jadi merasa terintimidasi.
Tapi
dia...
Pikiran Madri beralih pada Reddy.
Masih jelas terpatri dalam ingatan Madri.
Seolah baru terjadi kemarin. Ketika dengan sabar Reddy menghentikan
pekerjaannya sejenak, kemudian menjelaskan tentang PR yang sebetulnya sudah
dimengertinya dengan baik. Ketika Reddy mengirimkan senyum padanya saat ia
tertangkap basah sedang mencuri pandang. Sebuah senyum biasa, bukan senyum yang
meremehkan. Atau ketika wajah Reddy berubah menjadi cerah saat ia membawakan
segelas teh hangat dan dua klakat bambu berisi hakau dan mini pao ke
dalam ruang kerja Jatmiko tempat Reddy harus menyelesaikan tugasnya.
Semuanya terasa manis di
hatinya. Hanya saja rasa manis itu berubah menjadi pahit ketika Reddy sudah
menyelesaikan tugasnya yang hanya beberapa bulan saja dan berpamitan untuk
pulang ke Palembang, dan kemudian meneruskan studinya ke luar negeri. Sedih
hatinya tak terkira. Membuatnya melampiaskan semua tangis yang seolah ingin
meledak tiap hari pada tumpukan buku-buku pelajarannya.
Ia berhasil melaluinya dengan baik. Karena
Galang. Yang selalu menemaninya melalui saat-saat sulit terutama di sekolah.
Mas
Galang...
Madri meraih ponselnya.
* * *
Galang tercenung menatap ponselnya. BBM dari
Madri.
Mas,
malam Minggu besok kita ada acara nggak? Aku diajak Mas Reddy nonton Inside
Out. Boleh?
Galang mengusap wajahnya dengan kedua telapak
tangan.
Jadi
kamu lupa ya, Dri? batinnya resah.
Padahal sudah dari sebulan lalu ia mengatakan
pada Madri, akan mengajaknya menghadiri resepsi pernikahan sepupunya itu.
Dimainkan jemarinya di atas layar ponsel.
Dri,
bukannya aku sudah bilang sama kamu, ingin ajak kamu ke nikahannya Mbak Riri,
sepupuku? Acaranya Sabtu sore besok. Kamu lupa ya?
Beberapa saat kemudian ada balasannya : Oh iya, aku lupa. Maaf ya, Mas...
Galang mengetik lagi : Iya, nggak apa-apa. Jadi gimana, kamu mau ikut aku atau berangkat
nonton?
Dan Galang kemudian menghela napas lega
ketika menerima lagi balasan dari Madri : Aku
ikut ke resepsi, Mas. Kan kita sudah janjian.
Kalau
kamu ingin nonton, nanti Minggu siang ya?
Inside
out ya?
Whatever
you want, Princess...
Senyum terkembang di bibir Galang ketika
membayangkan wajah ceria Madri saat ia menyebutnya Princess dan menjanjikan nonton film Inside Out. Tapi bibir itu kembali terkatup rapat ketika menyadari
kenapa Madri bisa lupa kalau sudah punya janji dengannya.
Dia
lagi...,
rutuk Galang dalam hati.
* * *
Galang melongok langit senja dari balik
jendela mobil yang dikemudikannya. Cerah. Bahkan masih ada sisa cahaya matahari
membayang di ufuk barat. Dengan halus dihentikannya mobil itu di depan pagar
rumah Madri.
Kresna yang tengah menggulung slang air bekas
menyiram taman menoleh. Senyumnya terulas ketika menyadari siapa yang datang.
Buru-buru dibukanya pintu pagar.
“Cwiwiiit!” Kresna bersiul. “Sudah macam
ajudan gubernur saja penampilanmu, Lang!”
Galang terkekeh sambil menekan tombol alarm
mobilnya. Kresna mengarahkan dagunya ke arah rumah.
“Setor muka dulu sono ke camer,” godanya.
Galang tertawa lagi sambil melangkah masuk
melalui pintu garasi yang terbuka. Di selasar samping, dijumpainya Jatmiko
tengah menghirup kopi sambil menatap tabletnya.
“Sore, Om,” sapa Galang sopan.
Jatmiko mengalihkan tatapannya. Senyumnya
terkembang melihat kedatangan Galang. Ia menyambut jabat tangan Galang dengan
hangat.
“Di mana resepsinya?” tanya Jatmiko.
“Di TMII, Om.”
“Hm... Madri lagi didandanin sama mamanya.
Sabar ya?” senyum Jatmiko.
Galang mengangguk.
“Jadinya kapan kamu berangkat ke Aussie?”
Galang tercenung sejenak sebelum menjawab,
“Masih tahun depan kok, Om.”
“Lho,” Jatmiko mengerutkan keningnya. “Kok
ditunda?”
“Iya,” Galang mengangguk. “Saya mau cari
pengalaman dulu di perusahaan. Mulai Senin besok saya masuk kerja, Om.”
“Oh... jadi wakil ayahmu?” Jatmiko tersenyum
lagi.
Galang menggeleng. Sedikit tersipu. “Jadi
staf finance biasa kok. Kata Ayah,
saya harus mulai dari bawah.”
“Ayahmu betul,” Jatmiko meletakkan tabletnya
di atas meja. “Supaya kelak kamu bisa menghargai semua SDM yang harus kamu
kendalikan. Dari dasar, sampai ke puncak.”
Galang manggut-manggut. Tepat saat itu Madri
muncul dari dalam, diiringi Swandini. Seketika Galang ternganga menatapnya.
Madri tampak sangat cantik dengan gaun batik
selutut berwarna dasar merah cerah yang dikenakannya. Ada aksen obi melingkari pinggangnya. Lengan
pendek gaunnya serupa dengan bagian gaun dari pinggang ke bawah, melebar
layaknya lonceng. Riasan wajahnya tak hanya sekadar bedak dan sheer colored lip-balm seperti biasanya.
Kali ini lebih lengkap, tapi tak menimbulkan kesan berlebihan. Rambut
sepunggungnya hanya dikepang tempel dari puncak kepala hingga ke ujung. Clucth yang dipegangnya sewarna dengan
sepatu satin hitam beraksen bordir warna merah berhak 3 cm yang dikenakannya. Semua
yang melekat pada diri Madri memberi kesan segar dan tetap meremaja. Cocok
dengan usianya yang masih belum genap 17 tahun.
Jatmiko berdehem, membuat Galang tercabut
seketika dari perasaan terkesimanya.
“Ini janjian, ya? Kok sama-sama pakai baju
merah?” Jatmiko tertawa ringan.
Galang menunduk, menatap kemeja batik dan
celana panjang hitam yang dikenakannya. Walaupun coraknya lain dari gaun batik
yang dipakai Madri, tapi warna dasarnya sekilas terlihat sama.
“Oh... Hehehe...,” Galang terkekeh ketika
menyadarinya.
“Mau berangkat sekarang?” Swandini tersenyum
sambil mengelus kepala Madri.
“Yuk!” Galang menatap Madri.
Madri mengangguk.
“Motormu ditinggal di sini saja, Lang,” ucap
Jatmiko. “Pakai mobil Om atau Tante. Kan lumayan jauh perginya.”
“Saya bawa mobil kok, Om,” tak ada sedikit
pun nada pamer dalam suara Galang.
“Oh... Ya, sudah. Hati-hati di jalan ya?
Nitip Madri.”
Galang kemudian berpamitan tanpa lupa salim
pada Jatmiko dan Swandini. Kresna yang muncul kemudian dari arah garasi
langsung mengulurkan tangannya.
“Salim sekalian sama Mas Kresna,” ucap Kresna, menggoda Galang.
Galang terbahak karenanya. Tapi masih sempat
didengarnya ucapan Kresna, yang membuatnya makin erat menggenggam tangan Madri.
“Pa, ada Mas Reddy tuh! Sudah aku suruh masuk
ke sini.”
Dan kemudian mereka saling bertatapan sejenak
ketika berpapasan di dalam garasi. Reddy tersenyum tipis. Galang hanya
mengangguk sekadarnya. Madri sendiri hanya tertunduk sambil mengikuti langkah
Galang.
* * *
“Kamu cantik deh, Dri!” ucap Galang sambil
mengemudikan mobilnya.
Pujian yang tulus. Tanpa nada merayu. Tapi
cukup membuat Madri tersipu sejenak.
“Apa sih?” gumam Madri dengan pipi terasa
menghangat.
“Saking cantiknya sampai kadang-kadang aku
takut kehilangan kamu.”
Madri tertunduk seketika. Ada yang terasa
menohok hatinya.
“Dri, aku tahu kok, dia ada di hatimu sebelum
aku,” ucap Galang lirih, menghela napas panjang setelahnya.
Madri terdiam. Merasa tertohok lagi.
“Oh ya, mulai Senin depan aku masuk kerja,”
ucap Galang, berusaha mengubah topik pembicaraan. “Kalau kamu ada kuliah pagi,
aku masih bisa mengantarmu. Tapi aku nggak bisa lagi menjemputmu pulang.
Biarpun kerja di tempat Ayah, aku nggak bisa seenaknya keluar-masuk kantor
begitu saja.”
“Oh...,” Madri mengangguk. “Kalau lagi nggak
bisa pulang bareng Mas Kresna, aku bisa naik angkot kok. Atau bisa juga minta
dijemput Pak Pono.”
“Nanti kalau sudah punya SIM C kan enak,”
senyum Galang. “Bisa bawa motor sendiri.”
“He eh,” Madri kembali mengangguk. “Nggak
lama lagi ini...”
Nggak
lama lagi... Mata Galang mengerjap. Ulang tahun ke-17 Madri. Untung aku menunda keberangkatanku ke
Australia...
* * *
Bersambung ke : Cinta Dua Masa #4
Hore... Pilih Galang ahhhh... I love you mbak... 😊
BalasHapusAku malah lupa kalau salah satu sohibmya kresna ada yang namanya galang
BalasHapusgood post mbak
BalasHapusHmmmm.......... menyimak
BalasHapus