Kisah sebelumnya : CUBICLE #11
* * *
Dua Belas
Aku
terbangun karena ponselku berteriak dan bergetar berkali-kali minta
diperhatikan. Antara sadar dan tidak, aku ingat kalau itu bukan bunyi alarm.
Akhirnya aku meraba ke samping bantalku. Ketika jemariku menggenggam ponsel
bawel itu, dia malah diam membisu. Tapi ketika kulepaskan lagi, dia kembali
berteriak.
“Halo!”
“Eh,
Sas, sori banget... Lu udah tidur ya?”
Mataku
terbuka seketika. Yussi?
“Ya, Yus? Ada apa?”
“Sori
lagi, gue abis kondangan di deket sini. Kemaleman gue, Sas. Jam segini pintu
gerbang kost gue udah digembok. Gue numpang molor di tempat lu ya? Boleh?”
“Jam
berapa sih ini?” aku menguap.
“Hampir
jam dua belas.”
“Ya
udah, lu ke sini aja. Tar gue teleponin satpam, biar lu dibukain pintu
gerbang.”
“Euh...
Sebenernya gue udah di depan pintu gerbang blok lu. Sama satpam disuruh
teleponin lu dulu kalo mau masuk. Sori banget ya, Sas?”
“Oh...
Ya udah, gue hubungin pos satpam dulu. Tar lu langsung naik aja kalo udah
masuk.”
“Makasih,
Sas. Makasih!”
Aku
menguap sambil menggeliat sekali lagi setelah selesai urusan dengan pos satpam.
Astaga... Yussi ada-ada saja. Selama beberapa saat lamanya aku masih
merem-melek. Berusaha mengusir rasa kantuk yang masih membebani kelopak mataku.
Setelah kurasa cukup, aku pun turun dari ranjang.
Sambil
menyeret langkah, aku keluar dari kamarku. Lampu ruang depan masih menyala.
Rupanya Driya lupa mematikannya sebelum pulang. Tapi... Aku seketika tertegun
menatap ke arah sofa.
Driya
masih tergolek di sana dengan mata terpejam dan napas teratur. Tampak begitu
lelap dengan wajah lelah. Tak terganggu oleh lampu yang menyala terang di
langit-langit ruangan.
Waduuuh...
Dia ketiduran rupanya...
Sebelum
aku sempat berpikir lagi, pintu apartemenku sudah diketuk dari luar. Ketukan
yang cukup halus. Aku buru-buru membukanya. Yussi menatapku dengan wajah
bersalah. Aku segera menariknya masuk.
“Sori
banget ya, Sas, gue...”
“Sst...,”
aku mengarahkan daguku ke arah sofa. “Jangan berisik, nanti dia bangun.”
Yussi
jelas-jelas tak bisa menyembunyikan kekagetannya ketika melihat Driya. Selama
beberapa saat dia kubiarkan berdiri mematung dengan wajah bingung, sampai
akhirnya dia tersadar sendiri dan menoleh padaku. Menatapku dengan mata berisi
ribuan tanya. Kudorong dia masuk ke kamarku.
“Lu
masukin laki-laki ke apartemen?” Yussi mendelik padaku.
“Bukan
kayak yang lu kira,” tukasku pelan. “Dia baru kelilingan, capek kalo terus nyetir
ke Pondok Gede. Makanya dia mampir ke sini, rebahan bentar. Biasanya juga gitu.
Jam sebelasan biasanya dia cabut. ‘Kali sekarang kecapekan banget, makanya
sampe ketiduran gitu.”
“Jadi
ini bukan yang pertama kalinya?” mata Yussi bulat menatapku.
Aku
menggeleng. Yussi pun menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Bara
tau?”
Aku
mengerutkan kening. “Ngapain dia harus tau?”
“Sasiii,”
desahnya tertahan. “Dia bisa cemburu berat kalo tau...”
“Lha,
apa urusan gue sama Bara?” ganti aku yang mendelik. “Dia aja sekarang lagi
runtang-runtung sama Mita.”
Yussi
ternganga.
“Hadeeeh...
Kalian ini...,” Yussi mengurut pelipis kanannya. “Bikin gue sakit kepala aja.”
“Udah
deh,” aku mengangkat bahu. “Kalo lu mau numpang tidur, ya udah tidur. Mau di
sini, mau di kamar sebelah, silakan pilih. Gue mau molor lagi. Besok kerjaan
gue banyak.”
Aku
pun segera melemparkan tubuhku di kasur, mencari PW, posisi wenak. Samar-samar
ketika aku hampir terlelap, aku merasa ada yang merebahkan tubuh di ranjangku.
“Sas...,”
bisik Yussi.
Tapi
aku memilih untuk diam dan mencari lagi mimpi indahku.
* * *
Aku
terbangun karena ada suara-suara asing dari luar kamarku. Sambil memicingkan
mata, kulihat jam digital di layar ponselku. 04.39? Aku mengerutkan kening.
Kedengarannya suara-suara itu berasal dari arah pantry.
Belum
lagi aku menurunkan kaki dari ranjang, hidungku mencium bau sedap. Bumbu nasi
goreng yang sedang ditumiskah? Aku segera meloncat dari ranjang dan keluar dari
kamar.
“Hai,
Yik!” senyum cerah Driya menyambut kemunculanku di pantry. “Sori semalem gue ketiduran, bablas sampe pagi.”
Aku
menangkap rasa bersalah dalam sorot mata Driya. Aku buru-buru menggeleng dan
membalas senyumnya.
“Badan
lu nggak sakit semua semaleman tidur di sofa gitu?”
“Udah
kebal badan gue,” Driya tergelak. “Oh ya, tadi gue inget, semalem masih ada
sisa nasi rada banyak. Gue goreng aja, nggak apa-apa kan?”
Aku
kembali menggeleng. Kubiarkan Driya meneruskan pekerjaannya. Aku duduk di kursi
bar menopang pelipisku dengan kepalan
tangan, bertumpu pada meja, menguap berkali-kali.
“Sori,
gue bikin lu bangun gini hari.”
“Nggak
apa-apa,” aku meringis. “Kapan lagi ngerasain dilayanin Chef Betmen?”
Driya
tertawa. Tapi tawa itu langsung berhenti ketika dia menatap ke arah belakang
punggungku. Aku segera ingat, ada siapa lagi di apartemenku pagi ini.
“Hai!”
sapa Yussi singkat.
“Hai
juga,” balas Driya.
Dia
kembali menghadap ke penggorengan. Beberapa detik kemudian dia berbalik.
Menatapku.
“Kayaknya
nasi kita nggak cukup,” ucapnya dengan wajah memelas.
“Masih
ada roti tawar, selai, srikaya, nutella, sama telur di kulkas," aku tersenyum lebar. "Biar nanti gue
bikinin roti panggang. Kayaknya Fajar juga numpang sarapan di sini.”
“Fajar?”
Driya menyipitkan mata.
“Iyaaa,”
sahutku. “Dia mau nebeng mobil gue sampe Jumat. Ban mobilnya gembos dua biji
sekaligus. Belum bisa ganti.”
“Meriah...,”
gumam Driya sambil kembali mengaduk isi penggorengan.
Aku
tertawa. Diam-diam Yussi menyisihkan diri. Tak lama kemudian kudengar suara-suara
dari arah kamar mandi di luar kamarku.
* * *
Aku
benar-benar tak paham bagaimana Yussi bisa ‘mengadukan’ hal menginapnya Driya
di apartemenku pada geng sarap. Yang jelas, siang ini aku ‘disidang’ di kantin
Prima. Aku hanya bisa terbengong sejenak ketika mereka menuntut penjelasan.
“Apa
yang harus dijelasin?” ucapku gusar.
“Sas,
lu itu cewek dewasa,” Gerdy menatapku dengan sabar. “Gadis baik-baik. Kurang
panteslah biarin laki-laki nginep di apartemen lu. Apa kata orang nanti? Kita
cuma berusaha jagain lu.”
“Astagaaa...,”
aku menyandarkan punggungku dengan putus asa. “Dia nginep baru sekali. Kemarin-kemarin
dia juga sering numpang rebahan di sofa gue. Rada malem dia pulang. Semalem aja
dia ketiduran sampe pagi gara-gara kecapekan banget.”
“Lama-lama
dia tidur bareng lu,” gumam Yussi sinis.
Aku
meradang seketika. “Apa lu bilang?!”
Yussi
menatapku sekilas. Tanpa mengulangi gumamannya.
“Gue
nggak ngerti ya, ke mana arah persahabatan kita sekarang,” ucapku kecewa.
“Masalah kecil kalian gede-gedein. Barang nggak ada apa-apanya kalian
perkarain. Gue udah lama banget sohiban sama Driya. Gue kenal dia. Kenal
banget. Nggak bakalan ada kejadian macem-macem. Karena gue juga kenal diri gue
sendiri.”
“Sori,”
Fajar menyeletuk tiba-tiba. “Dari awal gue diseret ke sini, sikap gue sebenernya
udah jelas. Gue pribadi percaya Sasi bukan cewek sembarangan. Jadi gue bukan
mau belain Sasi. Cuma, gue pikir udah jadi hak Sasi untuk berbuat apapun yang
nggak merugikan orang lain. Dan kali ini, menurut gue, dia nggak salah. Dia
cuma bantu orang lain. Buktinya, dia melakukan hal yang sama ke Yussi. Kasih
tumpangan ruang buat istirahat. Apa bedanya?”
Melihat
semuanya terdiam, aku tak melihat ada alasan lagi untuk meneruskan pembicaraan.
Nafsu makanku mendadak hilang entah ke mana. Maka aku pun berdiri dan melangkah
meninggalkan ‘pengadilan’ itu. Masih kudengar samar kelanjutannya.
“Kalo
semua dilandasi dengan urusan pribadi, maka kita mikirnya nggak akan obyektif
lagi,” suara Fajar terdengar tajam.
“Maksud
lu apa?” suara Bara agak naik.
“Pikir
aja sendiri!”
“Lu
belain dia karena lu punya kepentingan nebeng mobil dia kan?” Yussi nimbrung,
nada suaranya terdengar penuh ejekan.
“Lu
boleh ngerendahin gue, Yus. Apapun! Terserah lu. Tapi tolong, jangan pernah
ngerendahin Sasi dengan cara kayak gini. Childish
lu semua!”
Aku
mengangkat bahu dan terus melangkah menuju ke lift. Meninggalkan suara-suara
itu makin jauh di belakangku.
* * *
Sejujurnya,
aku kecewa dengan pandangan mereka terhadapku. Maksudku, anggota geng sarap
yang lain minus Fajar. Aku tak menghendaki mereka memahami setiap alasan dari
semua yang kulakukan, tapi kalau mereka mau sedikit saja berpikir seandainya
berada dalam situasi yang sama baik sebagai Driya maupun aku. Apa yang akan
mereka lakukan? Alternatif apa yang bisa mereka pikirkan?
Kuhela
napas panjang sambil membuka laptopku. Tengah sibuk menelusuri setiap detil
grafis yang muncul di layar, sesuatu terulur di depanku. Aku menoleh. Fajar
menyodorkan sebuah roti isi sarikaya padaku.
“Makan
dulu, Sas,” ucapnya halus. “Jangan sampe maag
lu kambuh.”
Aku
menerimanya sambil menggumamkan terima kasih. Beberapa detik kemudian kulihat
dia mengunyah roti dengan merk yang sama sambil membuka laptopnya.
“Lu
nggak jadi makan di Prima, Jar?”
Fajar
menggeleng. “Males. Jadi hilang selera makan gue.”
“Lu
nggak perlu belain gue kayak gitu, Jar,” sesalku. “Jadinya lu malah
keseret-seret.”
“Gue
nggak belain lu, Sas,” ucap Fajar tegas. “Gue cuma ngomongin apa yang ada di
pikiran gue. Selama ini, kalo gue liat lu salah ya gue bilang salah kan? Tapi
gue tau lu dalam posisi nggak salah kali ini. Lagian gue juga nggak terima liat
lu direndahin kayak gitu. Sama sohib sendiri lagi! Sementara lu udah segitu
baiknya selama ini.”
“Udah
deh...,” gumamku pasrah. “Terserah mereka mau ngomong apa. Kerjaan gue lagi
banyak, nggak ada waktu buat mikirin hal-hal nggak jelas kayak gitu.”
“Hm...”
Beberapa
saat kemudian Fajar dan aku sudah tenggelam dalam layar laptop masing-masing.
Aku sendiri berusaha untuk tak peduli ketika geng sarap kembali ke kantor
setelah makan siang. Terus terang, aku jadi malas untuk memulai pembicaraan.
*
* *
konfllik yang menarik mbak, mau ikut mbela sas,tetapi kejauhan tempatnya he he , nice post mbak
BalasHapusSetuju sih dengan Yussi, tapi caranya yang kurang tepat.
BalasHapusBara....... Ayo ngomong dong...
Aku setuju ama Sasi bukan ama Yussi. Kalau Sasi buka pintu buat Yussi yang kemaleman dan ngusirbsi Driy gara gara dia cowok, kalau malam malam si Driya nabrak gimana? Adil aja gitu... Hehehehe
HapusBara LAMA!!!
BalasHapus