Senin, 21 September 2015

[Cerbung] CUBICLE #12





Kisah sebelumnya : CUBICLE #11



* * *



Dua Belas


Aku terbangun karena ponselku berteriak dan bergetar berkali-kali minta diperhatikan. Antara sadar dan tidak, aku ingat kalau itu bukan bunyi alarm. Akhirnya aku meraba ke samping bantalku. Ketika jemariku menggenggam ponsel bawel itu, dia malah diam membisu. Tapi ketika kulepaskan lagi, dia kembali berteriak.

“Halo!”

“Eh, Sas, sori banget... Lu udah tidur ya?”

Mataku terbuka seketika. Yussi?

“Ya, Yus? Ada apa?”

“Sori lagi, gue abis kondangan di deket sini. Kemaleman gue, Sas. Jam segini pintu gerbang kost gue udah digembok. Gue numpang molor di tempat lu ya? Boleh?”

“Jam berapa sih ini?” aku menguap.

“Hampir jam dua belas.”

“Ya udah, lu ke sini aja. Tar gue teleponin satpam, biar lu dibukain pintu gerbang.”

“Euh... Sebenernya gue udah di depan pintu gerbang blok lu. Sama satpam disuruh teleponin lu dulu kalo mau masuk. Sori banget ya, Sas?”

“Oh... Ya udah, gue hubungin pos satpam dulu. Tar lu langsung naik aja kalo udah masuk.”

“Makasih, Sas. Makasih!”

Aku menguap sambil menggeliat sekali lagi setelah selesai urusan dengan pos satpam. Astaga... Yussi ada-ada saja. Selama beberapa saat lamanya aku masih merem-melek. Berusaha mengusir rasa kantuk yang masih membebani kelopak mataku. Setelah kurasa cukup, aku pun turun dari ranjang.

Sambil menyeret langkah, aku keluar dari kamarku. Lampu ruang depan masih menyala. Rupanya Driya lupa mematikannya sebelum pulang. Tapi... Aku seketika tertegun menatap ke arah sofa.

Driya masih tergolek di sana dengan mata terpejam dan napas teratur. Tampak begitu lelap dengan wajah lelah. Tak terganggu oleh lampu yang menyala terang di langit-langit ruangan.

Waduuuh... Dia ketiduran rupanya...

Sebelum aku sempat berpikir lagi, pintu apartemenku sudah diketuk dari luar. Ketukan yang cukup halus. Aku buru-buru membukanya. Yussi menatapku dengan wajah bersalah. Aku segera menariknya masuk.

“Sori banget ya, Sas, gue...”

“Sst...,” aku mengarahkan daguku ke arah sofa. “Jangan berisik, nanti dia bangun.”

Yussi jelas-jelas tak bisa menyembunyikan kekagetannya ketika melihat Driya. Selama beberapa saat dia kubiarkan berdiri mematung dengan wajah bingung, sampai akhirnya dia tersadar sendiri dan menoleh padaku. Menatapku dengan mata berisi ribuan tanya. Kudorong dia masuk ke kamarku.
                                            
“Lu masukin laki-laki ke apartemen?” Yussi mendelik padaku.

“Bukan kayak yang lu kira,” tukasku pelan. “Dia baru kelilingan, capek kalo terus nyetir ke Pondok Gede. Makanya dia mampir ke sini, rebahan bentar. Biasanya juga gitu. Jam sebelasan biasanya dia cabut. ‘Kali sekarang kecapekan banget, makanya sampe ketiduran gitu.”

“Jadi ini bukan yang pertama kalinya?” mata Yussi bulat menatapku.

Aku menggeleng. Yussi pun menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Bara tau?”

Aku mengerutkan kening. “Ngapain dia harus tau?”

“Sasiii,” desahnya tertahan. “Dia bisa cemburu berat kalo tau...”

“Lha, apa urusan gue sama Bara?” ganti aku yang mendelik. “Dia aja sekarang lagi runtang-runtung sama Mita.”

Yussi ternganga.

“Hadeeeh... Kalian ini...,” Yussi mengurut pelipis kanannya. “Bikin gue sakit kepala aja.”

“Udah deh,” aku mengangkat bahu. “Kalo lu mau numpang tidur, ya udah tidur. Mau di sini, mau di kamar sebelah, silakan pilih. Gue mau molor lagi. Besok kerjaan gue banyak.”

Aku pun segera melemparkan tubuhku di kasur, mencari PW, posisi wenak. Samar-samar ketika aku hampir terlelap, aku merasa ada yang merebahkan tubuh di ranjangku.

“Sas...,” bisik Yussi.

Tapi aku memilih untuk diam dan mencari lagi mimpi indahku.

* * *

Aku terbangun karena ada suara-suara asing dari luar kamarku. Sambil memicingkan mata, kulihat jam digital di layar ponselku. 04.39? Aku mengerutkan kening. Kedengarannya suara-suara itu berasal dari arah pantry.

Belum lagi aku menurunkan kaki dari ranjang, hidungku mencium bau sedap. Bumbu nasi goreng yang sedang ditumiskah? Aku segera meloncat dari ranjang dan keluar dari kamar.

“Hai, Yik!” senyum cerah Driya menyambut kemunculanku di pantry. “Sori semalem gue ketiduran, bablas sampe pagi.”

Aku menangkap rasa bersalah dalam sorot mata Driya. Aku buru-buru menggeleng dan membalas senyumnya.

“Badan lu nggak sakit semua semaleman tidur di sofa gitu?”

“Udah kebal badan gue,” Driya tergelak. “Oh ya, tadi gue inget, semalem masih ada sisa nasi rada banyak. Gue goreng aja, nggak apa-apa kan?”

Aku kembali menggeleng. Kubiarkan Driya meneruskan pekerjaannya. Aku duduk di kursi bar menopang pelipisku dengan kepalan tangan, bertumpu pada meja, menguap berkali-kali.

“Sori, gue bikin lu bangun gini hari.”

“Nggak apa-apa,” aku meringis. “Kapan lagi ngerasain dilayanin Chef Betmen?”

Driya tertawa. Tapi tawa itu langsung berhenti ketika dia menatap ke arah belakang punggungku. Aku segera ingat, ada siapa lagi di apartemenku pagi ini.

“Hai!” sapa Yussi singkat.

“Hai juga,” balas Driya.

Dia kembali menghadap ke penggorengan. Beberapa detik kemudian dia berbalik. Menatapku.

“Kayaknya nasi kita nggak cukup,” ucapnya dengan wajah memelas.

“Masih ada roti tawar, selai, srikaya, nutella, sama telur di kulkas," aku tersenyum lebar. "Biar nanti gue bikinin roti panggang. Kayaknya Fajar juga numpang sarapan di sini.”

“Fajar?” Driya menyipitkan mata.

“Iyaaa,” sahutku. “Dia mau nebeng mobil gue sampe Jumat. Ban mobilnya gembos dua biji sekaligus. Belum bisa ganti.”

“Meriah...,” gumam Driya sambil kembali mengaduk isi penggorengan.

Aku tertawa. Diam-diam Yussi menyisihkan diri. Tak lama kemudian kudengar suara-suara dari arah kamar mandi di luar kamarku.

* * *

Aku benar-benar tak paham bagaimana Yussi bisa ‘mengadukan’ hal menginapnya Driya di apartemenku pada geng sarap. Yang jelas, siang ini aku ‘disidang’ di kantin Prima. Aku hanya bisa terbengong sejenak ketika mereka menuntut penjelasan.

“Apa yang harus dijelasin?” ucapku gusar.

“Sas, lu itu cewek dewasa,” Gerdy menatapku dengan sabar. “Gadis baik-baik. Kurang panteslah biarin laki-laki nginep di apartemen lu. Apa kata orang nanti? Kita cuma berusaha jagain lu.”

“Astagaaa...,” aku menyandarkan punggungku dengan putus asa. “Dia nginep baru sekali. Kemarin-kemarin dia juga sering numpang rebahan di sofa gue. Rada malem dia pulang. Semalem aja dia ketiduran sampe pagi gara-gara kecapekan banget.”

“Lama-lama dia tidur bareng lu,” gumam Yussi sinis.

Aku meradang seketika. “Apa lu bilang?!”

Yussi menatapku sekilas. Tanpa mengulangi gumamannya.

“Gue nggak ngerti ya, ke mana arah persahabatan kita sekarang,” ucapku kecewa. “Masalah kecil kalian gede-gedein. Barang nggak ada apa-apanya kalian perkarain. Gue udah lama banget sohiban sama Driya. Gue kenal dia. Kenal banget. Nggak bakalan ada kejadian macem-macem. Karena gue juga kenal diri gue sendiri.”

“Sori,” Fajar menyeletuk tiba-tiba. “Dari awal gue diseret ke sini, sikap gue sebenernya udah jelas. Gue pribadi percaya Sasi bukan cewek sembarangan. Jadi gue bukan mau belain Sasi. Cuma, gue pikir udah jadi hak Sasi untuk berbuat apapun yang nggak merugikan orang lain. Dan kali ini, menurut gue, dia nggak salah. Dia cuma bantu orang lain. Buktinya, dia melakukan hal yang sama ke Yussi. Kasih tumpangan ruang buat istirahat. Apa bedanya?”

Melihat semuanya terdiam, aku tak melihat ada alasan lagi untuk meneruskan pembicaraan. Nafsu makanku mendadak hilang entah ke mana. Maka aku pun berdiri dan melangkah meninggalkan ‘pengadilan’ itu. Masih kudengar samar kelanjutannya.

“Kalo semua dilandasi dengan urusan pribadi, maka kita mikirnya nggak akan obyektif lagi,” suara Fajar terdengar tajam.

“Maksud lu apa?” suara Bara agak naik.

“Pikir aja sendiri!”

“Lu belain dia karena lu punya kepentingan nebeng mobil dia kan?” Yussi nimbrung, nada suaranya terdengar penuh ejekan.

“Lu boleh ngerendahin gue, Yus. Apapun! Terserah lu. Tapi tolong, jangan pernah ngerendahin Sasi dengan cara kayak gini. Childish lu semua!”

Aku mengangkat bahu dan terus melangkah menuju ke lift. Meninggalkan suara-suara itu makin jauh di belakangku.

* * *

Sejujurnya, aku kecewa dengan pandangan mereka terhadapku. Maksudku, anggota geng sarap yang lain minus Fajar. Aku tak menghendaki mereka memahami setiap alasan dari semua yang kulakukan, tapi kalau mereka mau sedikit saja berpikir seandainya berada dalam situasi yang sama baik sebagai Driya maupun aku. Apa yang akan mereka lakukan? Alternatif apa yang bisa mereka pikirkan?

Kuhela napas panjang sambil membuka laptopku. Tengah sibuk menelusuri setiap detil grafis yang muncul di layar, sesuatu terulur di depanku. Aku menoleh. Fajar menyodorkan sebuah roti isi sarikaya padaku.

“Makan dulu, Sas,” ucapnya halus. “Jangan sampe maag lu kambuh.”

Aku menerimanya sambil menggumamkan terima kasih. Beberapa detik kemudian kulihat dia mengunyah roti dengan merk yang sama sambil membuka laptopnya.

“Lu nggak jadi makan di Prima, Jar?”

Fajar menggeleng. “Males. Jadi hilang selera makan gue.”

“Lu nggak perlu belain gue kayak gitu, Jar,” sesalku. “Jadinya lu malah keseret-seret.”

“Gue nggak belain lu, Sas,” ucap Fajar tegas. “Gue cuma ngomongin apa yang ada di pikiran gue. Selama ini, kalo gue liat lu salah ya gue bilang salah kan? Tapi gue tau lu dalam posisi nggak salah kali ini. Lagian gue juga nggak terima liat lu direndahin kayak gitu. Sama sohib sendiri lagi! Sementara lu udah segitu baiknya selama ini.”

“Udah deh...,” gumamku pasrah. “Terserah mereka mau ngomong apa. Kerjaan gue lagi banyak, nggak ada waktu buat mikirin hal-hal nggak jelas kayak gitu.”

“Hm...”

Beberapa saat kemudian Fajar dan aku sudah tenggelam dalam layar laptop masing-masing. Aku sendiri berusaha untuk tak peduli ketika geng sarap kembali ke kantor setelah makan siang. Terus terang, aku jadi malas untuk memulai pembicaraan.

                                                                 * * *

Bersambung ke episode berikutnya : CUBICLE #13


4 komentar:

  1. konfllik yang menarik mbak, mau ikut mbela sas,tetapi kejauhan tempatnya he he , nice post mbak

    BalasHapus
  2. Setuju sih dengan Yussi, tapi caranya yang kurang tepat.
    Bara....... Ayo ngomong dong...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku setuju ama Sasi bukan ama Yussi. Kalau Sasi buka pintu buat Yussi yang kemaleman dan ngusirbsi Driy gara gara dia cowok, kalau malam malam si Driya nabrak gimana? Adil aja gitu... Hehehehe

      Hapus