Sabtu, 12 September 2015

[Cerpen Stripping] Cinta Dua Masa #2





Episode sebelumnya : Cinta Dua Masa #1


* * *


Madri berlari menyeberangi tempat parkir motor kampus, menuju ke jajaran bangku beton di bawah sederetan pohon, tempat Kresna sudah menunggunya. Kresna mengangkat tatapannya dari layar ponsel yang tengah dipegangnya.

“Kamu pulang bareng Galang ya?” ucap Kresna. “Mas mau latihan futsal sama temen-temen.”

“Yah...,” Madri mendesah kecewa.

“Mas sudah hubungin Galang. Dia bisa kok, antar kamu pulang.”

Madri menjatuhkan badannya di atas bangku, di sebelah Kresna.

“Aku naik angkot saja,” rajuknya.

“Lho... Kok naik angkot?” Kresna mengusap keringat yang menitik di kening Madri dengan tangan kanannya.

“Kan biasanya hari gini Mas Galang sibuk di markas redaksi.”

“Iya, tapi dia bisa sempatin antar kamu pulang. Dia sudah otw. Aku tungguin dulu di sini sampai dia datang.”

Madri tak punya pilihan lain. Ia kemudian mengeluarkan jaketnya dari dalam ransel. Diraihnya helm berwarna biru muda di atas motor Kresna.

Tak lama kemudian Galang muncul dengan motornya. Parkir di sebelah motor Kresna. Segera dilepaskannya helm full face dari kepalanya. Tepat saat itu sebuah mobil berhenti di seberang jalan setelah dua kali membunyikan klakson ringan.

“Dri!” Jatmiko turun dari sisi kiri depan mobil itu. “Sudah selesai kuliahnya?”

Madri dan Kresna bertatapan sejenak. Madri kemudian mengalihkan tatapannya pada Jatmiko.

“Kok Papa ke sini?”

“Iya, tadi pagi Papa sempat dengar Kresna pamitan sama Mama, mau latihan futsal seusai kuliah. Jadi Papa pikir kamu pulangnya pasti sendirian. Makanya Papa jemput.”

“Kan ada Galang, Pa,” celetuk Kresna. “Sudah aku hubungi buat antar Madri pulang. Nih, anaknya juga sudah di sini.”

Sementara itu, mata Galang tak lepas dari siapa yang turun dari sisi kanan depan mobil Jatmiko. Debar jantungnya meliar seketika. Beberapa detik kemudian ditatapnya Madri.

“Terserah kamu mau pulang sama siapa,” ucapnya kemudian. Datar.

“Mm...,” Madri tampak kebingungan. Apalagi kemudian dilihatnya Reddy berjalan mendekat. Ia masih ingat betul pembicaraannya dengan Galang dua hari yang lalu, seusai makan malam.


“Jadi karena dia...,” gumam Galang.

“Apa sih?” Madri mengelak, dengan nada sama sekali tak meyakinkan.

“Kamu mendadak pendiam begini, Dri,” desah Galang. “Kayak orang linglung. Diajak ngomong susah nyambung. Sakit juga enggak. Pas berbarengan dia muncul lagi. Terus kenapa, coba?”

Madri tertunduk. Tak bisa menjawab.

Sejujurnya hatinya resah. Terasa seolah terbelah. Antara Galang di masa kininya, dan Reddy di masa lalunya. Tak pernah terjadi apa-apa antara dengannya dan Reddy. Belum. Tapi rasa ini...


“Tapi kalau pulang sama aku, kamu pasti kepanasan, Dri,” sambung Galang. “Cuma naik motor ini.”

Madri tersentak. Ditatapnya Galang.

“Mas Galang sebenarnya juga sibuk kan?”

“Iya juga sih...,” gumam Galang.

“Ya sudah, aku pulang sama Papa aja.”

“Nggak apa-apa, Lang?” tanya Jatmiko, sabar.

“Nggak apa-apa, Om,” senyum Galang.

“Gimana sih? Terlanjur Galang buang waktu jemput ke sini,” gerutu Kresna.

Sejujurnya ia merasa tak enak dengan situasi itu. Sebagai seorang abang, ia tahu betul apa yang pernah terjadi dengan hati Madri terhadap Reddy. Dan sebagai seorang sahabat, ia juga memahami betul perasaan Galang pada Madri, yang sebetulnya sudah tersambut belakangan ini. Hanya saja...

Kenapa dia muncul lagi sih?

Sekilas tatapan Kresna menyapu sosok Reddy.

“Maaf ya, Lang. Sudah bikin repot kamu,” ucap Jatmiko lagi.

“Tenang aja, Om,” Galang berusaha untuk tersenyum. “Yang penting Madri nggak terlantar di jalan. Bisa pulang dengan selamat.”

“Ya sudah,” Jatmiko menepuk halus bahu Galang. “Jalan dulu ya?”

Galang tak punya pilihan lain kecuali mengangguk.

“Kamu kok kayaknya nyerah banget sih, Lang?” gerutu Kresna setelah mobil papanya berlalu.

“Bukannya nyerah, Kres,” Galang mengangkat bahu. “Aku nggak enak sama papamu. Lagian kan lebih baik kalau Madri pulang naik mobil, daripada motoran bareng aku. Panas-panas gini.”

“Ck...,” Kresna berdecak sambil menghampiri motornya. “Segede apa sih sebenernya rasa sayang kamu ke Madri?”

Galang hanya tersenyum sambil menghidupkan motornya. Tak menjawab pertanyaan Kresna. Padahal jawaban itu sudah ada di ujung lidahnya.

Besar banget, Kres... Yang jelas, harus yang terbaik buat Madri.

Kemudian kedua pemuda itu berpisah. Kembali pada tujuan dan aktivitas masing-masing.

* * *

“Jadi bagaimana?”

Galang mengangkat wajah, menatap ayahnya. Laki-laki itu menatapnya dengan sabar.

“Kamu sudah siap berangkat, atau mau ditunda dulu setahun?”

Galang menghela napas panjang.

Melanjutkan kuliah ke Australia untuk meraih gelar master di bidang bisnis adalah impian Galang sejak ia bisa menggantungkan mimpinya. Dan jalan itu sudah terbuka sedemikian lebar setelah ia diwisuda sebulan lalu, jauh melesat meninggalkan kawan-kawan seusianya, plus orangtuanya bersedia memfasilitasi semua cita-citanya tanpa syarat.

Tapi Madri?

Galang menggeleng pelan.

“Kamu bisa masuk ke salah satu perusahaan Ayah dulu kalau kamu memang ingin menunda keberangkatanmu,” Hendrayana rupanya melihat gerakan kepala Galang. “Paling tidak kamu ada pengalaman kerja di perusahaan. Tapi Ayah nggak bisa langsung memberimu posisi tinggi. Fresh graduate tanpa pengalaman sepertimu harus mulai dari bawah.”

Tak masalah bagi Galang akan ditempatkan di posisi mana ia kelak. Walaupun ia adalah anak dari seorang pemilik perusahaan, tetap saja ia harus mematuhi pakem yang berlaku dan sudah digariskan ayahnya dengan tegas. Dan sepenuhnya ia memahami itu.

Tapi masalahnya bukan itu...

Kembali dihelanya napas panjang.

Semua rencana yang sudah disusunnya agaknya harus berubah. Setidaknya harus berbelok sedikit.

Semuanya gara-gara Reddy sialan itu!

Buyar sudah keinginannya untuk segera terbang ke Australia begitu semua urusan perkuliahannya di sini selesai. Sesungguhnya ia tak pernah mengkhawatirkan Madri. Selama ini toh hubungannya dengan Madri baik-baik saja. Dan ia percaya Madri akan menunggunya dengan manis hingga ia kembali ke sini kelak.

Tapi sekarang?

Galang meninju telapak tangan kirinya dengan kepalan tangan kanan.

“Sebenarnya ada apa sih, Lang?” Pawitra menatap anak sulungnya itu. “Bukannya selama ini kamu begitu menggebu ingin segera berangkat ke Australia?”

Galang mengangkat wajah. Menatap ibunya. Demi menerima tatapan yang demikian lembut itu, pertahanannya pun bobol.

Dikeluarkannya semua hal yang mengganjal di hati. Tentang resahnya. Tentang khawatirnya. Tentang Madri. Tentang Reddy. Semua didengarkan ayah-ibunya tanpa komentar.

“Sebetulnya aku nggak mau semua rencanaku berantakan cuma gara-gara masalah ini,” Galang menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. “Tapi aku nggak bisa membohongi perasaanku sendiri.”

Hendrayana dan Pawitra sejenak saling bertukar tatapan. Ada senyum yang tertahan. Yang sebaiknya tidak dimekarkan pada saat seperti ini. Pawitra pun pindah duduk ke sebelah Galang.

“Lang,” Pawitra mengelus kepala Galang. “Umurmu berapa sekarang?”

“Dua puluh,” gumam Galang.

“Hm... masa depanmu masih panjang,” ujar Pawitra lembut. “Masih sangat panjang. Buat Ibu, kamu masih bayi Ibu. Tapi Ibu tahu bahwa kamu punya kedewasaan yang jauh melebihi umurmu yang baru lepas dari usia ABG. Bukan nggak mungkin kamu nanti, suatu saat, akan menemukan cewek lain yang kamu rasa lebih pas buat kamu. It’s OK kalau kamu bisa tetap setia pada Madri. Ibu akan senang sekali. Karena di mata Ibu, Madri itu bukan cewek sembarangan. Tapi coba pikirkan apa yang ada di jalan panjangmu. Yang ada di depanmu. Yang ujungnya sudah ada tepat di depanmu. Tinggal mulai menapakinya. Ibu pikir, nggak apa-apa kalau kamu mau menundanya sebentar. Cukup sebentar saja. Sampai kamu benar-benar siap.”

Galang tercenung. Berusaha memahami semua kalimat ibunya.

“Tapi satu hal yang harus kamu ingat,” Pawitra meneruskan ucapannya. “Berpisah dengan Madri untuk sejenak itu pasti ada resikonya. Ada cowok itu atau tidak, tetap bisa terjadi dengan cowok lain. Begitu juga kamu. Tapi Ibu serahkan semuanya padamu. Ibu percaya kamu bisa mengambil jalan mana yang paling pas untuk kamu jalani. Ayah ada tambahan?” Pawitra menatap Hendrayana.

Hendrayana berdehem sebelum berucap. “Ayah setuju 100% dengan semua ucapan Ibu. Kalau sudah jodoh itu ya, Lang, nggak bakal lari ke mana. Ibu sama Ayah dulu sempat terpisah hampir sepuluh tahun. Jaman dulu komunikasi juga nggak semudah sekarang. Tapi namanya jodoh, ya akhirnya bisa bertemu lagi. Lahirlah kamu dan Wulan. Dan kita tetap kompak sampai sekarang.”

Akankah aku dan Madri akan mengalami hal yang sama?

Galang masih menekuri pola acak lantai marmer di bawah kakinya. Berat sekali meninggalkan Madri saat ini. Ada yang harus diperjuangkannya. Ia tak bisa mengabaikan perasaannya yang mengatakan ada ancaman besar yang tengah menghantui hubungan dekatnya dengan Madri. Seandainya memaksa berangkat pun, ia tak yakin akan bisa tenang-tenang saja di tempat baru.

Akhirnya ia pun memutuskannya.

“Aku bukannya membatalkan keputusanku untuk berangkat ke Australia,” gumamnya sambil mengangkat wajah. “Hanya menundanya. Setahun ini saja. Sampai aku betul-betul mantap. Kalau memang harus masuk ke salah satu kantor Ayah, oke, aku bersedia. Di posisi apa pun aku bersedia.”

Hendrayana mengangguk seraya tersenyum. Ditepuknya bahu Galang.

“Kerendahan hati,” ucapnya. “Kalau kamu bisa mempertahankannya, setengah tahap kesuksesan sudah ada di tanganmu.”

Galang menghela napas panjang. Melepaskan segala kesesakan hatinya.

* * *

Kresna ternganga menatap Galang. Galang sendiri melepas tatapannya jauh melampaui semua yang ada di luar kantin jurusan arsitektur, jurusan tempat Kresna menuntut ilmu.

“Nggak jadi berangkat?” nada suara Kresna yang tertahan itu mulai meninggi.

“Tunda, Kres,” Galang mengaduk es teh manisnya dengan sedotan, “bukan batal.”

“Huuuf...,” Kresna menghembuskan napasnya melalui mulut.

“Aku punya pertarungan lain yang lebih penting,” gumam Galang. “Adikmu.”

Bro,” Kresna menatap Galang, serius. “Kamu apa nggak terlalu serius sih, dengan Madri?”

“Maksudmu?” Galang menyipitkan matanya.

“Kamu kayak sudah berpikir kalau Madri bakal jadi istrimu. Dia masih enam belas, Lang.”

“Aku nggak pernah berniat mempermainkan Madri,” Galang menggelengkan kepalanya. “Kalau memang suatu saat nggak cocok, ya sudah aku mundur. Tapi paling tidak, aku belum mau kehilangan Madri sekarang.”

Kresna masih menatap Galang. Berusaha memahami apa yang ada dalam pikiran Galang. Ia setengah mengerti, tapi juga setengah tidak. Dalam hati, sejujurnya, ia menaruh respek sangat tinggi pada Galang yang selama ini sudah sedemikian baik memperlakukan Madri.

“Lang,” ucapnya kemudian. “Kalau aku mau support kamu menyelamatkan hubunganmu dengan Madri, itu bukan karena kamu sahabatku. Tapi karena aku memang lihat dengan mata kepalaku sendiri gimana sikapmu terhadap Madri. Aku sendiri belum bisa seperti itu. Take my deep respect, Bro,” Kresna menepuk bahu Galang.

Galang menanggapi ucapan Kresna dengan senyum. Berharap keputusannya kali ini tidak salah.

* * *

Bersambung hari Minggu



3 komentar:

  1. Good post Mbak* hihi...copas

    BalasHapus
  2. Kalau liat judulnya mbak aku bs nebak endingnya. Tp asli tetap aja penasaran ama jalinan ceritanya. Suka banget dan ga sabar dengan lanjutannya. Nice

    BalasHapus