Minggu, 20 September 2015

[Cerpen Stripping] Cinta Dua Masa #7





Episode sebelumnya : Cinta Dua Masa #6



* * *



“Mau ke mana kita?” Reddy menoleh sekilas ke arah Madri.

“Mm...,” Madri berpikir sejenak. “Gimana kalau kita ke Food Truck Festival? Aku dengar dari teman-teman kuliahku, banyak makanan enak di sana.”

“Hm... boleh... boleh...,” Reddy menyetujuinya. “Di mana tempatnya?”

Madri pun menyebutkan lokasi diadakannya Food Truck Festival itu dengan mata berbinar.

Ini sudah hari Sabtu ketiga ia keluar bersama Reddy. Setelah yang pertama pergi nonton, kemudian yang kedua ‘mengobrak-abrik’ toko buku, kini mereka akan meluncur ke tempat lain.

Ketika sampai di tempat, Reddy cukup kesulitan mencari lahan kosong untuk parkir. Akhirnya setelah dua kali memutari area parkir, Reddy pun menemukan tempat untuk mengistirahatkan mobilnya.

“Wah, ramai juga ya?” Reddy mengedarkan tatapannya ke sekeliling area Food Truck Festival.

Tempat itu tampak dipenuhi aneka mobil modifikasi dengan warna-warni ceria. Semua mobil van, pick-up, SUV, MPV yang berada di sana memang sengaja dikondisikan sebagai warung bergerak.

Segera saja mereka berdua mengelilingi area festival itu. Memanjakan mata sekaligus menikmati es krim cone. Bingung menentukan pilihan hendak mampir ke mana.

“Mas, ke situ yuk!”

Reddy mengikuti arah yang ditunjuk Madri. Van Penyet Boi. Di atas sebuah van tua yang sudah dimodifikasi total, ada daftar menu yang ditulis secara artistik. Ada aneka penyet-an. Iga, ayam, bebek, lele, sate usus, sate jeroan, tahu, tempe, jamur. Semua ditawarkan dalam bentuk goreng ataupun bakar. Menarik!

Tapi...

“Repot makannya, Dri,” ucap Reddy kemudian. “Nanti tangan kita bau sambel lagi.”

Madri menggigit bibir bawahnya. Makan penyet-an dengan sambal memang harus siap belepotan. Tapi itulah asyiknya. Apalagi ada area lesehan di sebelah van itu.

“Asyik ‘kali, Mas...,” gumam Madri.

“Ke sana aja yuk!” Reddy sudah menarik tangan Madri.

Madri terpaksa menuruti langkah Reddy ke sebuah truck yang menyediakan aneka steak. Setengah hati, karena biasanya hanya disediakan kentang sebagai pendamping steak. Kurang nendang di perutnya.

Dan benar saja! Yang kemudian terhidang di depannya adalah sirloin steak dengan kentang goreng dan setup sayuran. Enak, tentu saja. Dan cukup mengenyangkan. Tapi sama sekali tidak memuaskan perutnya. Perut orang Indonesia selalu membutuhkan nasi. Itu yang tidak didapatnya kali ini.

“Eh, kamu mau kue cubit, apa crepes, apa pancake? Atau apa?” tanya Reddy, seusai mereka makan.

“Tadi aku lihat ada pempek di sebelah sana,” Madri menunjuk ke sebuah arah.

“Aduh... bosen ‘kali, Dri...,” gumam Reddy. “Beli crepes aja yuk!”

Dan untuk kedua kalinya Madri terpaksa mengikuti Reddy.

* * *

Madri melongokkan kepalanya dan menemukan Jatmiko sedang berselonjor di atas sofa di selasar samping. Pelan ia mendekat.

“Pa...”

“Hm...,” Jatmiko mengalihkan tatapan dari buku yang tengah dibacanya.

“Keluar yuk!”

“Ke mana?”

“Ke mana, kek!”

“Hm...,” Jatmiko melihat ke arah arlojinya, masih pukul lima sore. “Kamu nggak keluar sama Reddy?”

Madri menggeleng. Jatmiko menurunkan kakinya, kemudian meletakkan buku yang dipegangnya di atas meja. Madri menjatuhkan dirinya di sebelah Jatmiko.

“Kok manyun gitu?” senyum Jatmiko.

“Makanya, ayo dong, kita jalan,” rajuk Madri. “Mumpung Mama lagi ke luar kota dan Mas Kresna camping.”

“Iya... iya... Boleh deh...,” Jatmiko berdiri. “Papa ganti baju dulu.”

Beberapa menit kemudian Jatmiko sudah meluncurkan SUV-nya keluar dari garasi, dengan Madri duduk manis di sebelahnya. Gadis itu setuju saja ketika Jatmiko mengatakan akan sekalian mampir sebentar ke kedainya. Dan selesai dengan urusan di kedai, Jatmiko meluncurkan mobilnya ke Food Truck Festival sesuai permintaan Madri.

* * *

“Aku Sabtu sore lalu ke sini sama Mas Reddy,” ucap Madri sambil menjilati es krimnya.

“Terus?” Jatmiko melakukan hal yang sama dengan putrinya.

Mereka duduk berdampingan di sebuah bangku beton, benda yang banyak bertebaran di area itu.

“Mas Reddy itu nyebelin,” gerutu Madri. “Diajak makan penyet-an, ogah tangannya bau sambel.”

Jatmiko hampir terbahak karenanya. Tapi ia masih berusaha untuk menahan diri.

“Nawarin cemilan juga gitu. Dia tanya aku mau apa, aku jawab pempek. Dia malah bilang bosen, akhirnya maksa beli crepes.”

“Hm...”

“Sabtu sebelumnya juga gitu. Aku masih betah di toko buku, dia udah ngajak ke atas. Katanya mau beli kemeja. Minta dipilihin yang bagus, udah aku pilihin, malah pilihannya sendiri yang dibeli.”

Jatmiko tetap sabar mendengarkan.

“Yang Sabtu sebelumnya lagi, yang ngajak nonton itu, filmnya juga pas nggak gitu bagus. Pas pulang, masih aja dia bete. Ngomel melulu soal film itu. Tambah sebel aja dengernya, Pa.”

“Kalau Galang, gimana?” tanya Jatmiko kemudian, hati-hati.

“Mas Galang nggak pernah gitu,” Madri menghela napas panjang. “Dia selalu tanya aku maunya gimana. Dia juga kalau punya kepentingan, ngomongnya enak. Jadi bisa sama-sama ngertinya. Nggak ada paksa-paksaan.”

“Jadi lebih enak mana?” senyum Jatmiko. “Sama Reddy atau sama Galang?”

“Sama Mas Galang, Pa,” jawab Madri lirih, tertunduk.

“Sejujurnya, Mama sama Papa itu lebih nyaman melihatmu bersama Galang,” ucap Jatmiko lembut. “Kenapa? Karena bisa dibilang umur kalian nggak beda jauh. Model komunikasinya hampir sama. Sudah lama saling kenal pula. Galang selama ini juga bisa menjagamu. Kalian juga sudah saling mengerti dengan baik.”

“Tapi kan dia mutusin aku, Pa,” telaga bening mengembang di mata Madri.

“Bukan mutusin,” Jatmiko mengelus kepala Madri. “Dia hanya kasih kamu kesempatan untuk mencoba pola hubungan yang lain. Itu juga karena kamu kentara betul sukanya sama Reddy.”

“Ya habisnya kan dari dulu aku memang suka sama Mas Reddy, Pa,” bisik Madri.

“Iya, Papa ngerti,” Jatmiko merengkuh bahu Madri. “Galang juga menyadari itu. Mama sama Papa nggak akan ikut campur memaksamu memilih siapa. Kamu sudah mulai dewasa, Dri. Bisa berpikir dan memilih yang terbaik buat dirimu sendiri.”

Madri menyandarkan kepalanya dalam pelukan Jatmiko. Terasa hangat, aman, dan nyaman.

“Papa lapar, Dri. Enaknya kita makan di mana?” Jatmiko menepuk-nepuk perutnya.

Madri menegakkan kepalanya. Wajahnya lebih cerah sekarang.

“Itu, Pa, penyet-an yang aku bilang itu...,” Madri menunjuk ke satu arah. “Kayaknya enak. Tempatnya ramai.”

Jatmiko pun menyetujui pilihan putrinya. Ada satu tempat kosong di area lesehan ketika mereka tiba di sana. Belum dibersihkan. Tapi begitu mereka duduk, seseorang datang membersihkan meja pendek itu.

“Selamat sore,” sapa gadis itu ramah. “Maaf, saya bersihkan dulu mejanya ya? Om sama Mbak bisa pilih menu dulu.”

Jatmiko dan Madri berbarengan mengucapkan terima kasih. Beberapa saat kemudian gadis pelayan itu menerangkan dengan ramah beberapa hal yang ditanyakan Jatmiko dan Madri.

“Maaf, karena lagi ramai, mungkin pesanannya agak lama. Sekitar setengah jam. Bisa sabar menunggu?” senyum gadis itu.

Jatmiko dan Madri bertatapan sejenak.

“Gimana, Pa?”

“Nggak apa-apa sih,” jawab Jatmiko. “Nanti kamu tunggu di sini. Papa cari cemilan dulu.”

Madri mengalihkan tatapan ke arah si gadis pelayan. “Oke, Mbak, kami tunggu saja.”

* * *

Elga menjepit kertas pesanan yang baru saja dibawanya sesuai urutan. Sekilas ia melihat Galang tengah melamun. Didekatinya pemuda itu.

“Lang, kamu kalau capek pulang aja,” disentuhnya bahu Galang. “Besok kan kita harus start lagi pagi-pagi.”

Galang menatap Elga. “Kamu sendiri? Nggak capek?”

“Ini udah kerjaanku, Lang,” senyum Elga. “Lagian kan aku nggak kerja sendiri. Kalau kamu kan terikat banget sama jam kantor.”

Galang meringis, “Nasib orang upahan.”

Elga tergelak. Tapi ucapan Galang kemudian membuat Elga terdiam.

“Yang barusan kamu layanin, itu Madri.”

“Hah?” Elga terbelalak. “Serius? Lha om-om itu?”

“Itu papanya,” Galang tersenyum tipis.

“Oh, kirain cowoknya yang baru itu.”

Galang menggelengkan kepalanya. “Udah deh, aku pulang.”

“Aku antar,” sahut Elga, cepat. “Sini kunci motormu. Biar besok aku jemput kamu pakai motormu. Sekarang aku antar kamu pulang pakai mobil.”

“Nggak usah, El,” tolak Galang.”

“Lang, dengan kondisimu kayak sekarang, aku nggak yakin kamu bakal selamat sampai ke rumah.”

Galang menatap Elga. Ada sinar tak terbantah dalam mata Elga. Membuat Galang menyerah. Lagipula...

Ah...

Sedetik Galang menatap Madri yang tengah membaca ulang kartu menu di sudut terjauh dari jendela van.

Aku kangen kamu, Dri...

* * *

Pada detik yang sama Madri mengangkat kepalanya. Ketika Galang dan Elga berjalan beriringan. Dengan tangan Galang otomatis menggandeng tangan Elga dalam suasana ramai seperti itu.

Madri mengerjapkan mata beberapa kali. Berharap setiap kali ia membuka mata, yang terlihat bukanlan Galang dan gadis yang tadi melayani pemesanan menu. Tapi nihil. Yang dilihatnya memang Galang dan gadis itu. Dihelanya napas panjang dengan sedih.

Tampaknya ia dan Galang makin jauh saja. Beberapa saat yang lalu ia masih berharap hubungannya dengan Galang akan kembali seperti semula. Tapi sekarang?

Pantas saja gampang banget dia mutusin aku!

Dengan kasar dibersitnya airmata yang mulai mengembang.

* * *

“Mas Galang jalan sama cewek lain,” Madri tersedu dalam pelukan Jatmiko di dalam mobil yang masih berada di area parkir.

Tangis itu sudah ditahannya sejak tadi. Dan tiba-tiba terlampiaskan begitu saja begitu Jatmiko menutup pintu mobil.

“Kamu kenal?” tanya Jatmiko lembut.

“Cewek yang tadi layanin kita. Yang catatain pesanan kita.”

“Oh...,” Jatmiko makin erat memeluk Madri.

Hingga beberapa saat lamanya Madri masih tersedu. Jatmiko menunggu dengan sabar hingga tangis Madri tinggal hanya isakan-isakan kecil. Ia melepaskan pelukannya pada Madri.

“Kita pulang sekarang ya?” ucap Jatmiko. “Nanti di rumah kalau kamu mau nangis lagi, boleh. Nanti Papa peluk lagi.”

Madri tak menjawab. Hanya duduk diam. Bersandar lesu. Dan Jatmiko pun pelan-pelan menekan pedal gas SUV-nya.

* * *


Bersambung ke : Cinta Dua Masa #8

4 komentar: