Kisah sebelumnya : CUBICLE #5
* * *
Enam
Otakku
boleh tetap waras, tapi fisikku tidak. Setelah marathon presentasi dan finishing
empat iklan, aku pun tumbang. Masih ada satu job lagi yang harus kupresentasikan besok. Sudah siap. Dan aku
yakin bakal diterima Pak Robert, klienku yang paling perfeksionis. Saking
perfeksionisnya dia sampai mau ketika deadline-nya
kuulur seminggu. Asal iklannya sempurna, waktu dan harga tidak jadi masalah.
Pagi
ini kepalaku bukan main beratnya. Tenggorokanku terasa kering dan sakit.
Badanku panas-dingin tak keruan. Kuputuskan untuk absen saja. Mendingan aku
absen hari ini daripada besok mengecewakan Pak Robert. Maka aku pun menghubungi
Boss Lenny.
“Halo,
met pagi, Cik,” sapaku dengan suara serak.
“Ya?
Ini elu, Sas?”
“Iya, Cik, mau minta ijin absen hari ini,” ucapku susah-payah.
“Elu
sakit, Sas? Suara lu sampai serak gitu. Ya udah, lu istirahat aja di rumah,
nggak usah ngantor.”
“Besok
saya musti presentasi ke Pak Robert, Cik. Minta tolong tugasin satu orang untuk
jadi back up saya. Maaf ya, Cik, jadi
ngerepotin.”
“Iya,
iya, entar gue suruh Gerdy buat back up-in
elu. Entar gue bilangin dia dulu, lu kirim aja detilnya via email gue. Draft-nya kan udah ada di gue.”
“Iya,
Cik, makasih banyak ya…”
“Lu
ke dokter ya, Sas? Biar nggak makin parah sakit lu. Ada nggak, dokter dekat
apartemen lu?”
“Ada
klinik di bawah, Cik. Iya entar saya ke klinik. Makasih ya, Cik? Met pagi…”
“Oke,
oke, Sas!”
* * *
Setelah
tadi pagi ke klinik, minum obat, kirim email ke Boss Lenny, dan tidur seharian,
sore ini aku sudah merasa sedikit segar dan demamku berkurang. Radang
tenggorokan, kata dokter. Dan aku dapat surat sakit sehari.
Tengah
aku leha-leha di sofa sambil nonton TV, bel pintuku berbunyi. Kulirik jam
dinding, pukul 4. Ah, sepertinya Gerdy yang datang diutus Boss Lenny. Dengan
penuh semangat aku membuka pintu. Seketika aku terbengong.
Lho!
Driya???
“Hai!”
sapanya sumringah.
Aku
masih terbengong. Bisa ya, dia sampai ke sini?
“Yik,
gue boleh masuk?”
“Eh…,”
aku tergagap. “Iya, ayo masuk, Men!” kulebarkan pintu.
Driya
masuk ke apartemenku. Dia langsung berdecak kagum. Padahal apartemenku
sederhana saja, bukan apartemen lux
yang harganya mencekik leher.
“Cantik
gilaaa!” celetuknya. “Selera lu gila, Yik! Apartemen lu nyaman bangeeet!!”
Aku
garuk-garuk kepala. Ini orang mau nengokin orang sakit apa mau beli apartemen
sih?
“Jam
segini udah nyampai sini, lu gak ngantor?” tanyaku.
“Eh,”
dia nyengir. “Gue kan Boss. Lagian Yussi bilang lu sakit, tadi ketemu di lift
pas mau maksi. Gue ada proyek di sekitar sini. Jadi sekalian aja gue mampir
nengokin lu. Kata Yussi ponsel lu kayaknya kolaps juga, nggak ada message yang bisa masuk.”
“Iya,
gue matiin emang. Gue tinggal tidur tadi.”
“Lu
sakit beneran?”
Aku
tak bisa menghindar ketika telapak tangan Driya mampir ke keningku.
“Udah
nggak panas,” gumamnya.
“Ya
iyalah...,” jawabku setengah menggerutu. “Gue kan udah ngobat tadi.”
“Busseeet...
ngobat... Istilah lu, Yik!” Driya tertawa meriah.
Lalu
kami tenggelam dalam obrolan yang seru. Asyik juga haha-hihi bareng Driya
setelah aku suntuk sekian lama, seharian nggak enak badan banget. Nostalgila
yang seperti tak ada habisnya.
* * *
Sekitar
pukul 17.30 perutku mendadak berbunyi. Keras. Driya ngakak kenceng. Aku jadi
malu.
“Lu
laper banget ya?” tanyanya di sela tawa. “Di bawah tadi gue lihat ada depot chinese food. Enak nggak?”
“Enak…
Langganan gue itu.”
“Ya
udah, lu tunggu di sini, gue beli makanan dulu yak?”
Driya
pun melesat pergi. Aku jadi ingat ponselku. Begitu kubuka ada berondongan pesan
yang masuk. Dari para personil geng sarap. Rata-rata menanyakan keadaanku.
Kubalas saja secara broadcast : ‘gue baik-baik aja, masih idup, besok gue
ngantor lagi, tx yaaa’. Dan kusentuh send.
Hampir
sejam kemudian Driya muncul lagi dengan tentengan kantong plastik berisi
kotak-kotak kertas chinese food.
Busset! Mau ngasih makan aku apa orang sekampung? Ada cap cay, dua nasgor seafood, ayam kuluyuk dengan saus
terpisah, bakmi goreng, pangsit kuah, dan udang goreng tepung.
“Iya
sih, emang gue laper banget,” aku berlagak cemberut. “Tapi lu gila apa, Men?
Segini banyak?”
Driya
ketawa. “Kalau sisa, masukin aja ke kulkas. Besok pagi-pagi tinggal lu angetin
di microwave, buat sarapan. Biar lu
nggak usah repot-repot cari sarapan.”
So sweet… Aku
jadi terharu mendadak. Tapi belum sempat makan, bel pintu berbunyi lagi.
“Itu
pasti Gerdy gembul!” kataku sambil beranjak membuka pintu. “Pasti seneng dia
banyak makanan gini.”
“Entar
kalau kurang gue beliin lagi deh!” Driya tertawa.
Aku
menjangkau handle pintu dan
membukanya. Bukan Gerdy.
Tapi
Bara…
Aku
tertegun sejenak. Tapi melihat senyum Bara, aku jadi tersadar. Kubuka pintu
lebih lebar.
“Eh,
elu, Bar? Gue kira Gerdy yang datrng. Masuk yuk!”
Bara
melangkah masuk dan disambut sapaan akrab Driya. “Bar, lu udah makan? Makan
sekalian yuk!”
Aku
ke pantry mengambil gelas dan piring
lagi, dan com berisi nasi putih
hangat. Ketika aku kembali, Driya malah membuka pintu depan.
“Lu
mau ke mana?” tanyaku. “Makan dulu…”
“Gue
mau pesen nasgor lagi. Kurang tuh, cuma dua.”
“Eh,
udah, nggak usah!” cegahku. “Gue ada nih, nasi putih! Udah, balik lu ke sini!”
Driya
tak jadi keluar.
“Gue
ngeganggu kayaknya ya?” gumam Bara.
“Kagak…,”
jawab Driya santai. “Cuma Sasi lagi nunggu Gerdy kayaknya.”
“Gerdy
tadi absen Sas,” Bara menatapku. “Gue disuruh Cik Lenny back up-in elu besok.”
“Gerdy
sakit juga?”
“Enggak…
Arlia udah mules-mules dari kemarin sore menjelang malem. Due date-nya maju kayaknya. Kan perkiraan lahirnya baru minggu
depan.”
“Oooh….,”
aku mengangguk maklum. Kulihat Driya tercenung.
“Bayi
gue mustinya udah umur 4 bulanan kalau masih ada…,” gumamnya sendu.
Aku
tercekat. “Udah Men… Lu ikhlasin aja, dia bakal jadi pembuka pintu Surga buat
lu…,” kutepuk-tepuk lembut punggung tangannya. Tak urung mataku merebak.
“Eh,
udah! Ayo makan!” Driya terdengar berusaha menceriakan suaranya. “Nona rumah
keburu pingsan entar….”
Hampir
jam delapan kami baru selesai makan. Tanpa terasa waktu berlari karena kami
makan sembari mengobrol yang ‘tidak-tidak’. Akibatnya, segambreng makanan tadi
lenyap tak bersisa. Sebagian besar berpindah ke perut Driya dan Bara. Aku sih
makannya sopan, nggak kalap kayak mereka.
“Kenyang
gila!” Driya tertawa sambil bantu membereskan kekacauan di atas meja.
“Lu
tiap hari makan porsi raksasa gitu?” godaku.
“Gue
suka kalap kalau makan malam,” Driya nyengir malu. “Pantesan gue segede
kingkong yak?”
Kami
terbahak.
“Udah
ah, gue pulang,” Driya berdiri. “Lu masih mau lanjutin kerjaan kan? Gue nitip
Sasi ya, Bar?” ucapnya ringan.
Setelah
itu Driya pergi. Setelah itu baru kusadari kalau sejak datang tadi Bara tak
pernah mendominasi pembicaraan.
“Back up gue besok elu ya?” aku mulai
membuka laptopku.
Entah
kenapa atmosfer di antara Bara dan aku mendadak jadi sedikit canggung.
“Tadi
udah dikasih tahu detilnya sih, sama Cik Lenny, tapi berhubung kliennya Pak
Robert, Cik Lenny minta gue untuk ngebahas langsung sama elu,” jawab Bara.
Aku
menggangguk. Dan kami pun mulai asyik membahas detil draft-ku. Sebetulnya aku agak sedikit terganggu saat ini.
Bara
tadi melepaskan kemejanya. Meninggalkan sepotong T-shirt putih bersih yang cukup
ketat menempel di tubuhnya. Apalagi aroma wangi parfumnya masih tercium
samar-samar. Cinnamon yang hangat.
Glek!
Aku
sempat menelan ludah.
Kalau
boleh membandingkan, badan Bara memang tidak sebagus badan Fajar. Fajar memang
rajin nge-gym. Hampir tiap pulang
kerja dia melakukannya. Sedangkan Bara hanya sesekali. Itu pun karena
dipaksa-paksa Fajar untuk menemani. Bara lebih suka berlatih karate. Terlihat
dari posturnya yang tegak, tegap, dan kekar secukupnya alias tidak membuat
siapapun yang melihatnya jadi ‘terintimidasi’.
Beberapa
bulan lalu, geng sarap plus Arlia dan keluarga kecil Nina pernah punya acara
berenang bareng. Di situ aku berani memberi Fajar nilai 11 karena six packs yang tergambar nyata di
perutnya. Sementara Bara tidak segila Fajar cetakannya. Membuatku merasa tidak
terintimidasi sebagai cewek yang biasa-biasa saja. Dan Gerdy? Ah, perut calon
bapak yang satu ini sudah mirip perut Mas Tony yang makin melar saja. One big pack. Nyaris menyamai ukuran
perut Arlia yang saat itu tengah hamil lima bulan.
Jadilah
otakku yang sebelah melayani pembahasan kerjaan, dan yang sebelah lagi sibuk
berfantasi. Bahkan meliar ke mana-mana. Otakku baru mengumpul ketika bel pintu
berbunyi. Ah, siapa lagi sih? Pintu kubuka.
“Malem,
Mbak Sasi…”
“Eh,
elu, Nang?”
Ternyata
Unang, pelayan depot chinese food di
bawah. Mengulurkan kantong plastik berisi dua kotak berbau aduhai.
“Tadi
ada mas-mas pesen ini, Mbak, sapo tahu sama udang saos asem manis. Suruh anter
ke Mbak Sasi. Masnya tinggi gede, pake baju kotak-kotak. Katanya buat sarapan
Mbak besok,” kata Unang panjang lebar.
“Oooh…
Eh, makasih ya, Nang?”
Ya
ampun, Betmeeen… Serius banget dia beliin aku makanan… Kulirik jam dinding.
Baru sejam dari dia pergi tadi. Kayaknya sih dia belum sampai rumah. Pondok
Gede kan jauh. Teleponnya nanti aja ah!
“Sering
dia ke sini?” tanya Bara sepintas.
“Ya
sering… Kadang kalau gue males antri, ya gue pesen aja, tinggal pelayannya
entar kirim ke sini,” jawabku ringan.
Bara
mengangkat wajahnya, menatapku bingung. Aku jadi ikutan. Anything wrong?
“Maksud
gue Driya, bukan delivery service-nya
makanan,” ralatnya kalem.
“Oooh…
Hehe…,” aku jadi meringis. “Betmen? Enggak juga...”
‘Baru sekali tadi…,’
lanjutku dalam hati.
Diskusi
kembali berlanjut. Kali ini seluruh pikiranku kupaksa menjejak bumi. Tak
kuijinkan meliar seperti tadi.
Sudah
hampir jam 10 ketika pembahasan kami selesai. Bara menggeliat sambil menguap.
Boro-boro terlihat berantakan, dia justru kelihatan sangat sexy dalam kondisi begini.
Aku
sibuk membenahi laptopku. Susah rasanya mengendalikan sisi liar dalam diriku.
Dan aku memilih untuk tidak menatap Bara lama-lama.
Untung
dia cepat pamitan. Kalau tidak? Ehm… Aku tidak tahu bagaimana aku harus
berhenti mencakari hatiku sendiri nanti…
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : CUBICLE #7
good post mbak
BalasHapusaduh mbak One big pack......opo koyo aku yo....wk wkwk...
BalasHapusHihi.....ngakak tertahan baca komen Mbak Bekti. Sambil ngelirik perut sendiri tapi....
BalasHapusLanjutkan Mbak.....
aduuuh Driya baik bingit yaaa.... kasihan udah jd duren, mudah2an bisa jadian deh ama Sasi. Semangat yaa Driyaaa...
BalasHapusBara membuat ikut bedebar-debar :)
BalasHapus