Kamis, 24 September 2015

[Cerpen Stripping] Cinta Dua Masa #9





Episode sebelumnya : Cinta Dua Masa #8



* * *



“Dri...”

Mug yang dipegang Madri hampir jatuh. Tanpa menoleh pun ia mengenali siapa pemilik suara itu. Tapi ia harus tetap mendongakkan kepalanya dari balik meja kasir. Seulas senyum yang dirindukannya terpampang begitu saja di depan matanya.

“Apa kabar?” Galang menatapnya. Dengan kerinduan yang terlihat sama.

“Eh,” Madri tergagap sejenak. “Baik.”

“Om Miko ada?”

“Ada...,” Madri mengangguk cepat. “Ada, Mas. Masuk aja.”

“Makasih.”

Galang berbalik dan melangkah ke arah kantor Jatmiko. Dari bayangan yang terpantul di partisi, ia bisa melihat bahwa Madri terus menatapnya dari belakang.

Aku juga kangen sama kamu, Dri. Tapi...

Sementara itu mata Madri tak lepas dari sosok Galang yang kian menjauh dan akhirnya memghilang di balik pintu kantor Jatmiko. Dihelanya napas panjang.

Hanya segitu doang...

Ada yang terasa sesak dalam hatinya. Galang terlihat lebih kurus daripada biasanya, walaupun masih ada semangat dan binar yang terpancar dari dalam matanya.

Karena gadis itukah?

Madri mengerjapkan mata.

Lalu apa yang bisa kuharapkan? Semuanya sudah lain sekarang.

Madri tertunduk. Mengambil mugnya. Sesaat kemudian ia mencoba menikmati coklat hangat dalam mug itu.

Sudah terlanjur salah. Entahlah... Apa masih bisa diperbaiki lagi?

Madri kembali menghela napas panjang.

* * *

Galang menjabat tangan Jatmiko dengan wajah cerah. Kerjasama dengan Jatmiko tampaknya akan berjalan mulus. Jatmiko mengijinkan Galang menggunakan brand CYGNUS DIMSUM untuk food truck yang akan diusahakannya, sekaligus menyetujui usul Galang untuk mengambil produk Cygnus dengan sistem beli-putus. Apalagi di Food Truck Festival belum ada dijual makanan serupa.

Jatmiko percaya Galang akan menggunakan kesempatan itu dengan baik. Apalagi Galang bermaksud menggandeng Kresna dan Denny untuk bersama-sama mengelola usaha itu, dengan tugas utama Kresna sebagai pengendali mutu.

“Saya sebetulnya ingin mengajak Madri juga, Om. Tapi...,” wajah Galang tampak ragu-ragu. “Mungkin nanti saja kalau usahanya sudah jalan.”

“Terserah mana yang menurutmu baik, Lang,” senyum Jatmiko. “Om percaya kamu bisa. Diakui atau tidak, ada darah pebisnis dalam dirimu.”

Ketika Galang berpamitan dan keluar dari kantor Jatmiko, ia tak lagi menjumpai Madri di meja kasir. Entah gadis itu ada di mana. Padahal Galang sudah merencanakan untuk ‘mampir’ dan mengobrol sedikit dengan Madri.

Ada perasaan kecewa. Membaur dengan rasa rindunya pada Madri. Tapi saat ini ia sedang memiliki banyak hal untuk dikerjakan. Terpaksa perasaan itu ia kesampingkan dulu. Agar semua yang sudah tersusun rapi di benaknya tidak lagi berantakan.

* * *

Cygnus Dimsum On Truck akhirnya resmi beroperasi beberapa minggu kemudian. Menempati lahan tepat di samping Van Penyet Boi sesuai arahan Elga, truk itu hanya menyediakan sedikit meja dan kursi untuk makan di tempat. Selebihnya mengandalkan kemasan praktis untuk take away. Pengelolanya adalah trio Galang-Denny-Kresna, dibantu teman-teman sesama mahasiswa-mahasiswi yang mau bergabung untuk melayani konsumen.

Nama besar Cygnus Dimsum sendiri tampaknya cukup kuat untuk mengatrol penjualan. Apalagi banyak pelanggan setia Kedai Cygnus yang sedang berada di Food Truck Festival itu mengenali Kresna sebagai salah satu anak pemilik brand Cygnus. Suatu hal yang memperkuat image Cygnus Dimsum On Truck sebagai betul-betul bagian dari Kedai Cygnus.

Elga menatap food truck baru itu dengan puas. Pengalaman Galang membantunya selama beberapa bulan di Van Penyet Boi membuat pemuda itu tak ‘bego-bego amat’ dalam terjun langsung menjalankan usaha food truck-nya. Apalagi tampaknya kekompakan trio Galang-Kresna-Denny membuat pengaturan ‘piket’ ketiganya berjalan tanpa hambatan.

Sesekali Kresna mengajak Madri untuk membantunya di truck. Madri sebetulnya senang dilibatkan seperti itu. Hanya saja ia jadi setengah hati ketika suatu saat mendapati Galang mampir ke truck sepulang kerja dan kemudian mengobrol dengan asyiknya bersama Elga di depan Van Penyet Boi.

Tak ada ‘hal aneh’ dari obrolan itu. Sesuatu yang sempat ia curi dengar. Hanya membahas soal food truck dan strategi penjualan untuk pemula seperti Galang. Tapi kedekatan di antara Galang dan Elga membuatnya menjauh. Dan ia menyibukkan diri, ikut membantu menyiapkan deretan pesanan yang masuk ke truck.

Yang ia tak tahu, sebetulnya Galang setengah mati menahan diri untuk tidak mendekatinya. Waktunya belum tepat, itu yang ada dalam pikiran Galang. Sehingga ia hanya bisa memuaskan diri untuk sesekali menatap Madri dari kejauhan.

* * *

“Kamu menyiksa diri, Lang,” ucap Elga halus.

Galang menghela napas panjang.

“Aku tahu sebenarnya usahamu ini cuma pelarianmu,” lanjut Elga, tanpa bisa dibantah Galang. “Sebetulnya bagus karena arah larimu itu ke hal yang positif. Tapi lama-lama juga nggak baik buat kesehatan perasaanmu.”

“Berubahnya aku jadi orang kantoran saja sudah menyita sebagian besar waktuku buat Madri,” desah Galang. “Apalagi sekarang, saat aku sedang merintis usaha baru seperti ini. Banyak yang kupertaruhkan, El.”

“Iya, aku tahu,” Elga menepuk punggung tangan Galang.

“Aku harus menjaga investasi Ayah yang ditanamkan di sini. Harus menjaga nama besar Cygnus. Harus mengatur waktu agar usaha di sini nggak mengganggu jam kerjaku di kantor. Harus menyinkronkan langkahku dengan Denny dan Kresna. Aku takut mengabaikan Madri kalau aku memaksa diri.”

“Madri nggak akan terabaikan,” senyum Elga. “Toh dia juga sering membantu di sini. Pasti kalian bakal sering ketemu. Kualitas, Lang. Bukan kuantitas.”

Galang menatap Elga. Ada sorot meyakinkan dalam mata Elga.

“Katakanlah saat-saat ini bisa jadi transisi sebelum kalian terpisah kalau nanti kamu berangkat ke Aussie,” Elga melebarkan matanya.

Galang mengangkat alisnya. Begitu ya?

Elga mengangguk, mengerti arti tatapan Galang.

* * *

Madri hampir terlonjak girang ketika ada notifikasi invite dari Galang di akun BBM-nya. Tapi beberapa detik kemudian semangatnya menyurut. Rasa malu merebak dalam hatinya. Tentu saja ia belum lupa bagaimana ia beberapa bulan lalu menghapus begitu saja nama Galang dari list BBM-nya.

Tapi perlahan rasa rindu itu mengalahkan rasa malunya. Dengan cepat ia menyentuh kotak accept. Dan setelah beberapa menit berlalu, ia memberanikan diri untuk mengirim pesan pada Galang.

Mas Galang, apa kabar? Baikkah?

Tak ada hitungan menit, pesan itu berbalas : Not really.

Hah? Madri mengerutkan kening. Secepatnya ia membalas pesan itu : Mas Galang sakit?

Galang : Enggak. Cuma kangen banget. Kangen kamu.

Madri : Gombal.

Galang : Lho, beneran kok dibilang gombal?

Madri : Ih! Nyebelin!

Galang : Balikan yuk, Dri...

Madri : Dih! Gampang banget mutusin aku. Sekarang gampang juga minta balikan. Terus, ceweknya mau dikemanain?

Galang : Cowokmu sendiri, apa kabarnya?

Madri : Udah lain dunia.

Galang : Ups! Sereeemmm... Lain dunia gimana? Dia masih hidup kan?

Madri : Ya masihlah...

Galang : Besok kamu ke truck nggak?

Madri : Nggak tahu.

Galang : Ke truck dong... Kita ngobrol.

Madri : Lihat besok aja deh!

Sesungguhnya Madri ingin langsung mengiyakan ajakan Galang. Tapi ada gunungan gengsi dalam hatinya. Ia tak mau memberi harapan pasti. Hanya saja, memang ia sudah berencana untuk membantu Kresna di truck besok sore.

Di samping itu, ia masih merasa ragu. Akan jadi apa hubungannya dengan Galang nanti?

* * *

Madri berusaha menyembunyikan resahnya dengan menyibukkan diri melayani pembeli yang datang ke truck. Hingga langit gelap, Galang belum muncul juga. Beberapa kali diperiksanya ponsel. Tak ada satu pun pesan masuk dari Galang.

“Dri, makan dulu yuk!”

Madri mengangkat wajahnya. Seulas senyum Elga menyapanya. Madri ragu-ragu sejenak. Truck memang sedang tidak terlalu ramai saat ini.

“Sana, Dri,” Denny menepuk bahunya. “Makan dulu.”

Madri kemudian mengangguk dan melangkah keluar dari truck. Diikutinya Elga hingga ke van.

“Kamu mau makan apa?” tanya Elga, ramah.

“Terserah Mbak Elga,” jawab Madri, lirih.

“Iga bakar penyet mau?”

Madri mengangguk. Iga bakar penyet memang kesukaannya. Madri pun duduk di depan salah satu meja. Tak lama kemudian Elga kembali dengan membawa dua gelas es teh, dan duduk di depan Madri.

“Kuliahmu gimana?” tanya Elga sambil meletakkan salah satu gelas di depan Madri.

“Baik, Mbak,” Madri mengangguk. “Lagi libur semester. Makasih.”

“Hm...,” bibir Elga kembali mengulas senyum. “Aku baru mulai nanti, barengan sama Galang. Tapi nggak tahu deh! Sebenarnya aku ingin di sini saja, tapi mama-papaku ingin aku sekalian saja ke Australia. Mumpung ada barengannya.”

“Oh...,” hati Madri seketika ciut mendengarnya.

Mereka bakalan kuliah bareng di Australia?

Sebersit rasa nelangsa pelan-pelan menggayuti hati Madri. Tiba-tiba saja ia merasa bodoh sudah memelihara rasa sukanya pada Reddy hingga sekian lamanya. Padahal sudah ada Galang yang demikian setia menemaninya di segala cuaca.

Mungkin memang harus seperti ini bayaran yang ia tebus atas kebodohan itu. Pelajaran yang sangat mahal!

“Ayo, Dri, makan dulu.”

Madri tersentak. Elda menyodorkan piring berisi nasi hangat dan iga bakar penyet kepadanya. Dan Madri mulai menikmati makanan itu setelah mengucapkan terima kasih. Elga meninggalkannya untuk mengerjakan hal lain. Van mulai ramai mendekati jam makan malam.

Balikan?

Madri memikirkan BBM Galang semalam.

Terus nanti dia tetap enak-enakan di Aussie bersama Elga itu? Terus peranku apa?

Ketika makanan di hadapannya masih tersisa separuh, Madri melihat Galang melangkah tergesa. Pemuda itu belum melihatnya. Galang kebetulan berpapasan dengan Elga. Tampak keduanya saling bercakap sejenak. Tertawa. Begitu akrab. Dan Madri buru-buru mengalihkan tatapannya.

* * *

Bersambung hari Sabtu, episode terakhir

5 komentar:

  1. Ojok kesusu entek dhisik, durung marem moco ceritane. He he he, iki pembaca mau nya terus ajah... Salim mbak, nuku'alofa cerita apik koyo ngene....

    BalasHapus
  2. Ikutan makan iga bakar penyet aja sambil tunggu endingnya.... ;)

    BalasHapus
  3. wah Galang gentle deeh.. aku suka caramu Lang tundepoin :-)

    BalasHapus