Rabu, 16 September 2015

[Cerbung] CUBICLE #10





Kisah sebelumnya : CUBICLE #9



* * *



Sepuluh



Hari itu akhirnya tiba juga. Jumat sore. Saat digelarnya malam penghargaan Wara-Wiri Pariwara Award 2015. Malam yang sudah ditunggu-tunggu insan periklanan Indonesia. Lebih terasa lagi gaungnya karena akan disiarkan secara langsung oleh hampir semua TV swasta.
           
Sejak sebelum jam 3 menjelang sore, setelah mandi di kantor, aku sudah dipermak habis-habisan oleh Boss Lenny, Nina, dan Yussi di kantor Boss Lenny. Mulai dari rambut sampai kuku kaki. Aku sampai terkantuk-kantuk walaupun mereka segitu ributnya. Sampai akhirnya Boss Lenny menarik dagunya ke belakang sedikit, mengamati wajahku, dan…

“Sip!” dia mengacungkan jempol sambil menarikku ke cermin.

Aku yang sudah membayangkan wajahku ber-make up tebal seperti topeng ala Sahrenong, penyanyi dangdut itu, jadi terbengong sejenak. Boss Lenny meriasku secara natural. Tidak tebal, tapi tetap kelihatan kalau wajahku tidak polos. Rambut buntut kudaku berubah jadi keriting kriwil yang menggemaskan, dengan poni yang tertata rapi.

Aku tertawa senang melihat wajahku jadi ‘indah’ begini. Hahay! Hidupku jadi terasa seperti Cinderella. Nina keluar sebentar dan masuk lagi sambil menenteng sebuah gaun batik yang masih terbungkus plastik bening.
           
“Lu pakai itu, Sas,” kata Boss Lenny. “Udah gue beliin baru, sarimbit sama punya Bara.”
           
Aku bengong.
           
“Lu nggak usah takut kegatelan pakai baju itu, udah gue laundry kemarin,” kata Boss Lenny sambil ketawa. “Buruan ganti baju!”
           
Beberapa menit kemudian aku sudah keluar dari toilet Boss Lenny. Gaun batik sutra berwarna dasar maroon itu melekat pas di tubuhku. Melambai indah. Modelnya tidak ramai, tapi sangat elegan.
           
Boss Lenny terlihat puas dengan penampilanku. Dia tersenyum lebar.
           
“Sepatunya, Yus!” kemudian Boss Lenny menengok sekilas pada Nina. “Nin, lihat Bara udah siap belum.”
           
Nina buru-buru keluar lagi. Yussi membuka sebuah kotak sepatu. Dia mengeluarkan stiletto cantik berwarna keemasan. Boss Lenny mengeluarkan clutch berwarna sama dengan sepatu dari dalam laci mejanya. Terakhir dia membuka sebuah kotak tipis, berisi seperangkat perhiasan.
           
Hah? Nggak salah?
           
“Lu tenang aja Sas, ini bukan emas asli kok,” kata Boss Lenny ketika melihat ekspresiku.
           
Aku cuma bisa meringis sekilas.
           
Bara menatap tak berkedip ketika aku keluar dari kantor Boss Lenny. Fajar dan Gerdy ribut bersuit-suit. Aku jadi malu sendiri.
           
“Sekarang kalian berangkat,” kata Boss Lenny. “Dapat award atau enggak, jadi nominee di Wara-Wiri udah top banget buat kita. Gue bangga sama kalian. Gue akan nonton dari rumah. Good luck, guys!
           
Setelah berpamitan kami pun pergi. Bara diam-diam saja ketika kami berjalan ke lift. Aku jadi tak enak hati.
           
“Ada yang salah sama penampilan gue ya?” tanyaku pelan.
           
Kulihat jelas Bara sedikit tergagap. “Eh, apa? Penampilan lu? Lu cantik, bangeeet… Bikin gue shock,” Bara mencoba tersenyum.
           
Kami menunggu beberapa detik sebelum lift turun terbuka. Bara tetap kalem-kalem saja. Duh, sungguh aku berharap dia stay little wild seperti biasanya di Whatsapp message.
           
“Kira-kira kita menang nggak ya, Bar?” celetukku di dalam lift yang berisi cuma dia dan aku.
           
Bara menggenggam tanganku. Hangat.
           
“Menang atau enggak, elu tetap yang tercantik,” jawabnya ringan.
           
“Elu flirting-in gue ya?” aku terbahak.
           
Dia ikut tertawa. Oh, my God! Rasanya aku mau menukar apa saja yang kupunya agar dapat terus melihat laki-laki ini tertawa!
           
Ting!
           
Pintu lift terbuka di basement. Bersamaan dengan pintu lift sebelah.
           
“Bar! Rapi amat? Mau kondangan lu ya?”
           
Kami menoleh. Driya keluar dari lift sebelah diiringi ‘dayang’-nya. Tatapan Driya berhenti padaku. Sedetik kemudian melotot.
           
“Astaga, Piyik! Elu…?”
           
“Ya, halo…,” aku meringis salting.
           
“Beneran ini elu? Lu cantik gila!”
           
“Yang bener dunk! Gue cantik apa gila?” aku cemberut.
           
Driya terbahak. Tangannya sudah terulur hendak mengacak poniku. Tapi aku segera berkelit, sembunyi di balik punggung Bara.
           
You touch me, gue sambit lu!” teriakku garang.

* * *

Huaaa... Mendadak aku merasa kampungan sekali saat tercebur di sebuah acara pemberian award seperti ini. Acara yang biasanya hanya bisa kutonton lewat layar televisi. Dan sekarang aku menjadi bagian di dalamnya. Bersama Bara!

Bara...

Setengah mati aku menahan debar liar yang berkali-kali muncul tanpa permisi di sepanjang perjalanan dari kantor menuju ke Balai Sarbini. Sumpah! Bara ganteng banget sore ini. Fajar lewat sudah! Dan aku? Rasanya bagaimanaaa begitu bisa hadir di sampingnya, dalam busana yang serasi pula!

Dalam hati aku bersyukur dia cerewet sekali sambil menyetir sepanjang perjalanan kami. Jadi aku menyahuti ucapan-ucapannya sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya. Sekedar mengumpulkan kilasan demi kilasan profil wajahnya yang bisa kutangkap.

Undangan yang kami pegang ternyata betul-betul untuk VVIP, khusus untuk para nominee. Letaknya pas di depan panggung. Di dalam kelompok-kelompok ‘orang penting’ yang menempati beberapa meja bundar.

Ketika melangkah ke sana mengikuti seorang penerima tamu, terasa tangan Bara hangat menggenggam tanganku. Kupikir hatiku sudah tak keruan bentuknya karena berkali-kali dihantam badai dan debar yang aku nyaris tak bisa menahannya.

“Menang nggak ya, kira-kira?” Bara menatapku dalam.

Aku hanya mengangkat bahu. Sedikit salting. Apalagi mendapati senyum Bara terulas begitu saja untukku. Hanya untukku!

“Mau menang, mau enggak, yang penting aku udah pernah ngerasain jadi bintang iklan,” jawabku kemudian. Sekenanya. Rada error.

Bara tertawa karenanya. Terlihat agak tertahan. Kalau tidak di forum resmi seperti ini, tawanya pasti sudah membahana, seperti biasanya.

Aku sendiri berusaha menikmati setiap acara yang tersaji. Banyak bertaburan bintang dan artis. Tepat di sebelahku duduk Luma Yan-ya, bintang iklan laris sekaligus artis ngetop yang pernah diisukan punya affair dengan Godril, seorang vokalis boyband ternama.

Ternyata Luma termasuk artis yang ramah. Bahkan ia mengenali wajahku sebagai bintang iklan Go Green yang lagi booming gara-gara banyak muncul di televisi, media cetak, papan reklame raksasa di pinggir jalan, daaan... badan bus-bus kota. (Sigh!). Bahkan katanya dia berteman baik dengan Bang Togi, kabag produksi di MemoLineAd.

“Kalo butuh gue sebagai bintang iklan kalian, suruh Togi hubungin gue, honor gue bisa dinegolah...,” ucap Luma dengan wajah ceria.

Ketika tiba giliran Sahrenong naik ke atas panggung untuk membawakan dua di antara sekian banyak lagu dangdut hits-nya, mendadak aku mengulum senyum. Mengingat bahwa tadi aku sempat khawatir kalau dandananku bakalan seheboh dia.

Dan aku hampir tak bisa menahan ketawaku ketika Bara berbisik di telingaku, “Sumpah, mual banget gue liat dia.”

“Gue tadi udah keder aja kalo Boss dandanin gue kayak gitu,” aku balas berbisik.

“Nggak mungkinlah...,” Bara mengedipkan sebelah mata. “Seleranya Boss kan tinggi. Lagian lu nggak dipoles berlebihan udah cantik kok!”

Yuyuy! Hatiku serasa melambung ke langit ketujuh mendengar ucapan Bara. Tapi segera mendarat lagi begitu menyadari sesuatu. Maksudnya? Maksudnya apa nih???

Tapi ketika aku menatapnya sekilas, dia sudah asyik lagi menikmati pertunjukan di panggung yang sudah berganti dari Sahrenong menjadi pertunjukan ala kabaret. Kuhela napas panjang.

Bara... Selalu begitu. Hanya sebatas itu...

* * *

Aku mengerjapkan mata dan beranjak dari kasurku. Sudah jam 7 pagi. Kami pulang larut banget setelah menghadiri acara award itu, hampir jam 2 dini hari aku baru masuk ke apartemen.

Acara penerimaan award semalam berlangsung meriah. Aku memang antara berharap dan tidak iklan garapan Bara akan dapat award. Berharap, karena iklan Bara begitu menyentuh. Tidak berharap, karena saingannya te-o-pe semua.
           
Masih bisa kurasakan ketegangan ketika satu persatu nominee iklan layanan masyarakat dibaca dan ditayangkan. Tanpa sadar aku menggenggam erat tangan Bara. Makin erat ketika MC mulai membuka amplop.
           
“Dan pemenangnya adalah….” kertas dalam amplop ditarik pelan-pelan, diiringi suara drum yang lama-lama terdengar menjengkelkan. “… HUTAN KACA oleh Pandu Barata dari MemoLine Advertising…!”
           
Perlu waktu beberapa detik bagi kami untuk mengumpulkan kesadaran, sebelum dia memelukku erat, mendaratkan entah berapa kecupan di pipi kanan-kiriku, kemudian menyeretku naik ke atas panggung untuk menerima award. Sungguh, momen yang sangat indah!

Aku menguap sekali lagi.

Ketika aku membuka tirai jendela pantry, dia sudah ada di bawah sana. Di lapangan serbaguna di belakang gedung apartemenku. Sedang melatih karate sepasukan satpam. Setiap Sabtu pagi, seperti biasanya.
           
Dia tak tahu, tak pernah tahu, bahwa selama ini aku selalu menontonnya melatih karate dari balik jendela pantry. Jendela apartemenku memang terlihat gelap dari luar.
           
Kuhela napas panjang. Aku benar-benar tak tahu seperti apa sebenarnya hubunganku dengan dia. Dia ada, nyata, tapi seolah berada pada dimensi lain. Terpaut jarak jutaan cubicle.
           
Tanpa kata.
           
Tak terjangkau.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : CUBICLE #11




4 komentar:

  1. nice post mbak, membaca membuat perut jadi lapar, sarapan dulu yuk , ada botok mlanding plus tahu,

    BalasHapus
  2. Jadi piyik lebih suka Bara yaa dr pd Driyaa? aduuuh...

    BalasHapus