Kisah sebelumnya : CUBICLE #10
* * *
Sebelas
Segera
kuedarkan pandang ke seantero kantin Prima. Aduuuuh… Penuh banget! Aku memang
agak telat turun dari kantor gara-gara keasyikan diskusi dengan bagian
produksi. Terpaksa aku kembali ke lift. Alternatif satu-satunya cuma ke Lounge
Ex di lantai 6.
Sebetulnya
ada alternatif lain. Ada beberapa kedai makanan di lantai 3. Hanya saja
kondisinya sama dan sebangun dengan kantin Prima. Pasti penuh saat jam makan
siang seperti ini. Apalagi aku sudah telat.
Selalu
ada tempat kosong di Lounge Ex. Kali ini aku beruntung mendapat tempat di dekat
jendela, sehingga aku bisa makan siang sambil menikmati suasana siang di
sekitar Menara Daha dari ketinggian. Kuhela napas lega begitu pramusaji berlalu
setelah mencatat pesananku.
Iseng
kumainkan ponselku. Hari ini tak ada Whatsapp
message dari Driya untuk mengajakku makan siang. Anggota geng sarap juga
sepertinya tersebar ke seantero Jakarta. Seandainya ada yang masih tersangkut
di kantor, pasti sudah duduk manis menikmati makan siang di kantin Prima.
Tak
lama kemudian pesananku sudah terhidang. Baru sesuap makanan masuk ke mulutku,
aku kaget karena ada yang menyapaku.
“Meeting, Sas? Mau meeting apa udah kelar?”
Aku
menoleh dan mendapati Bara berdiri di dekatku bersama...
Huh!
Aku
langsung ingin mendengus tiba-tiba.
“Enggak,”
jawabku, berusaha terlihat santai, sambil terus mengunyah makanan. “Nggak
kebagian tempat aja di Prima. Duduk, Bar. Tapi kalo mau di tempat lain, ya
silakan.”
Bara
menoleh ke arah Mita. Aku tetap mengunyah sambil memainkan ponselku.
“Di
sini aja, ya?”
Entah
apa reaksi Mita, tapi keduanya kemudian ikut menempati meja yang kupakai makan.
Bara menjatuhkan badannya di kursi tepat di depanku, sedangkan Mita di
sebelahnya. Tepat menghalangi pemandangan di luar jendela yang ingin kunikmati.
Great!
“Lu
tadi di mana kok bisa telat turun ke Prima?” Bara menatapku.
“Gue
informal meeting sama produksi. Keasyikan
diskusi. Lu?”
“Ke
Multi Papan.”
“Fajar?”
“Iya,
tadi sama Fajar. Tapi Fajar langsung jalan ke Radio Dalam.”
“Oh...”
“Pak
Boss-nya nggak ada di tempat. Akhirnya ngobrol aja sama Mita,” senyum merekah
di bibir Bara.
“Oh...”
Aku
menikmati makan siangku sambil sesekali berkutat dengan ponselku. Tampaknya
Bara mengerti bahwa aku lagi malas ngomong. Sebenarnya aku memang agak capek
karena tadi sempat berdebat dengan bagian produksi.
Kubiarkan
Bara dan Mita ngobrol. Sesekali aku menjawab kalau Bara melibatkan aku.
Selebihnya... Aku harus berterima kasih pada ponselku yang setia.
Aku
selesai makan duluan. Agak kilat karena aku malas berlama-lama di situ. Masih
tersisa sepuluh menit sebelum waktu istirahat habis. Aku memutuskan untuk
kembali duluan ke kantor.
“Duluan
ya?” gumamku.
“Lho,
lu mau ke mana?” Bara mendongak, menatapku yang sudah berdiri.
“Balik
ke kantorlah...”
“Boss
nggak ada, nggak usah buru-buru.”
“Terus,
kalo Boss nggak ada, aku jadi nggak ada kerjaan, gitu?”
Bara
meringis mendengar nada agak ketusku. Tanpa bicara apa-apa lagi aku segera
melenggang pergi ke kasir. Setelah menyelesaikan urusan pembayaran, aku pun
melangkah keluar dari Lounge Ex tanpa menoleh lagi ke arah Bara dan Mita.
Entah
ada apa dengan hatiku. Rasanya tak nyaman saja. Mood-ku mendadak berubah jadi sedikit lebih buruk ketika melihat
ada sosok Mita di dekatku. Padahal dia tak berbuat apa-apa. Wong menyapaku saja tidak pernah.
Diam-diam aku mengangkat bahu.
Padahal
sebenarnya aku ‘ada perlu’ dengan Bara. Hhh...
* * *
Konsepku
tentang pengiklanan Multijossgandos sudah disetujui Pak Panji tanpa banyak
cingcong. Selanjutnya dia menyerahkan sepenuhnya padaku, seperti ketika aku
mengerjakan iklan untuk produknya yang lain tahun lalu. Sekarang tinggal aku
yang harus menerjemahkan konsep itu dalam bentuk visual.
Aku
akhirnya jadi memungut ide Fajar untuk memakai regu satpam sebagai model iklan
minuman energi itu. Bahkan aku sudah memiliki bayangan regu satpam mana yang
bisa kubidik untuk jadi modelnya. Hanya saja aku belum bicara apa-apa pada
‘pemimpin latihan’ regu satpam itu.
Sejak
bertemu dengannya bersama Mita beberapa hari lalu, aku masih malas untuk bicara
padanya. Untungnya aku sibuk. Dia juga sibuk. Jadi ada alasan untuk tidak
berkomunikasi satu sama lain selain sapaan ringan saat bertemu secara ‘tidak
disengaja’.
Tapi
waktuku terus berjalan dan mau tak mau aku harus menyelesaikan secepatnya
urusan model iklan itu. Sebenarnya ini urusan orang produksi, hanya saja aku
menginginkan iklan yang kukerjakan ini sempurna adanya.
Siang
ini, sekeluarnya aku dari ruang finishing,
kulihat Bara sedang duduk manis di dalam cubicle-nya.
Matanya tampak serius menatap laptop. Membuat aku jadi ragu-ragu untuk mulai
bicara padanya. Maka aku pun diam-diam dulu ketika kembali ke cubicle-ku.
Sebelum
aku membuka laptopku, suaranya menembus telingaku, “Sibuk amat, Sas?”
Aku
menoleh dan mendapati dia tengah menatapku. Ah, sorot mata yang tak kumengerti
itu lagi... Aku menghela napas panjang.
“Gimana
iklan Multi Papan?” tanyaku, akhirnya.
“Lagi
digarap Fajar, draft-nya.”
“Hm...
Lu sendiri lagi sibuk?”
Bara
menggeleng. Tersenyum. Menarik. Ganteng. Banget. Halaaah...
“Hm...
Elu masih melatih satpam di belakang gedung apartemen gue kan? Karate…”
Bara
menatapku, mengerutkan kening. “Kok lu tahu?”
“Iya,
gue kan….”
Ting!
Ting! Ting!
Alarm
di kepalaku mendadak berbunyi. Ups!
Hampir saja tadi aku keceplosan omong ‘iya,
gue kan suka ngintipin elu…’. Haiyaaah! Parah deh kalau itu yang terjadi!
“Ehm…
Iya, kan kadang gue lihat elu pas gue buka tirai pantry gue.”
“Oh…
So?”
“Ini
gue kemarin dapet job iklan minuman
energi. Multijossgandos. Lu mau nggak jadi model iklan gue? Sama regu satpam lu
itu…”
Bara
bengong menatapku. Kugoyangkan tangan ke depan matanya. Dia tersadar. Matanya
mengerjap.
“Bentar…
Bentar… Gue jadi model iklan lu? Nggak salah?”
Aku
tertawa. “Ya enggaklah! Maksud gue, dengan konsep yang gue buat, gue harap lu
bisa nerjemahin secara tepat. Gue pikir bukan hal yang sulit karena elu udah
kenal gue. Lu udah tahu konsep-konsep yang selama ini gue garap. Jadi lu bisa
sekalian bantuin gue buat ngarahin regu satpam yang lu latih itu. Ya sebenernya
urusan orang produksi sih, tapi gue mau iklan gue perfect.”
Bara
berpikir sejenak. “Trus konsep lu gimana?”
Langsung
saja kami berdiskusi. Dengan tepat Bara bisa menangkap ideku. Kalau sudah
berdiskusi begini, kami selalu lupa waktu. Tahu-tahu sudah pukul empat sore.
Kalau saja Fajar tidak berdiri menunggu di sebelahku, diskusiku dengan Bara
pasti akan terus berlanjut.
“Masih
lama?” Fajar menjangkau sebuah stoples berisi kacang bawang di mejaku.
“Enggak,”
jawabku. “Waktunya pulang, ya pulang aja.”
“So, markipul!” Fajar menarik genggaman
tangannya dari dalam stoples. “Mari kita pulang.”
“Oh
iya, hehehe...,” aku terkekeh tiba-tiba. “Kita kan hari ini jatahnya kencan yak?”
“Nah!”
senyum Fajar merekah.
Bara
menatapku dan Fajar setengah bengong.
“Kenapa?”
tanya Fajar dengan nada meledek. “Pengen kencan juga? Gembosin aja ban mobil lu
pagi-pagi, jadi bisa kencan sama orang yang ngasih lu tebengan, hehehe...”
Aku
tergelak sambil mengemasi barang-barangku. Pagi-pagi tadi Fajar memang mengetuk
pintu apartemenku. Minta tebengan. Ban mobilnya gembos, sementara ban
cadangannya juga dalam keadaan gembos karena dia lupa mengurusinya setelah
ganti ban beberapa bulan lalu.
Fajar
meraih kunci mobilku yang kuletakkan di atas meja. Dengan sabar dia menunggu
hingga aku siap.
“Bar,
gue nebeng lu sampe Medika yak?” celetuk Nina dari cubicle ujung.
“Mas
Tony nggak jemput?” Bara menoleh.
Nina
menggeleng. “Ada operasi caesar. Gue
disuruh nyamper ke sono. Daripada naik taksi kan mending nebeng elu. Jalur lu
lewat sono kan?”
Bara
mengangguk. “Yuk!”
Kami
pun siap pulang. Yussi dan Gerdy sejak makan siang tadi tidak kembali lagi ke
kantor. Sepertinya ada klien yang harus mereka temui.
* * *
Fajar
dan aku terpaksa pasrah ketika terjebak kemacetan. Untung aku selalu sedia
‘perlengkapan darurat’ berupa makanan kecil dan minuman di jok belakang
mobilku. Sambil menikmati kemacetan dan melahap ‘perlengkapan darurat’ itu,
kami pun mengobrol.
“Gimana
prospek hubungan lu sama Mita, Jar?”
Fajar
menghembuskan napas panjang sebelum menjawab, “Nggak taulah. Kayaknya gue udah
kalah duluan.”
“Hm...”
“Hmmm
doang?”
Aku
melebarkan senyumku. Kecut.
“Kapan
hari yang dari Multi Papan terus lu jalan ke Radio Dalam itu, Bara sama Mita
maksi bareng di Lounge Ex.”
“Sumpe
lo?” Fajar terjingkat kaget.
Mendadak
aku menyesali kelancanganku ‘mengadukan’ peristiwa itu pada Fajar.
“Nah,
bener kan gue bilang?” gumam Fajar. “Gue udah kalah start.”
“Lu
sih, pake maju-mundur segala. Nggak jelas.”
“Kan
gue udah pernah bilang sama lu, gue segen kompetisi sama sohib sendiri.”
“Padahal
secara fisik lu menang lho, dibanding Bara.”
“Hm...
Nggak ngaruh juga kali, Sas. Gerdy aja gembul gitu malah leading.”
“Sebenernya
nih ya, kebanyakan cewek tuh lebih nyaman kalo punya pasangan yang nggak
kelewat kayak dewa gitu. Maksud gue, secara fisik. Jadi kayak nggak
terintimidasi gitu. Tapi ya nggak semua. Ada emang cewek-cewek yang demen
model-model cowok kaya elu. Metroseksual. Jaga kesehatan. Jaga penampilan.
Selera sih...”
“Gue
pernah baca di artikelnya dokter siapaaa gitu, bukannya cewek-cewek yang suka
cowok rada gembul gitu cenderung nggak suka baca-baca alias rada nggak terbuka
wawasannya soal kesehatan?”
“Praktisi
kesehatan sah-sah aja ngomong kayak gitu. Sesuai literatur. Tapi kan hidup itu
praktek, Jar, bukan sekadar teori. Hidup itu melibatkan rasa. Dan soal selera
terhadap bentuk cowok itu juga masalah rasa. Rasa secured dan insecured
pada seorang cewek. Nggak bisa dinilai dan dihakimi kayak gitu. Gue rasa nggak
bijaksana juga seorang praktisi kesehatan bisa menilai kayak gitu. It’s OK, dia mungkin cerdas secara IQ,
tapi attitude-nya? Seharusnya sebagai
orang yang punya kapasitas otak lebih, dia bisa lebih cerdas memilih kata.
Bukan yang bombastis dan provokatif kayak gitu.”
“Lu
baca juga artikelnya?” Fajar terkekeh.
“Pernah
sih... Langsung males, hehehe... Kenyataannya kan ngomong lain. Lu liat Arlia. Kalo dia bukan cewek cerdas nggak
mungkinlah sekarang udah jadi asisten manager. Belum lagi Mbak Nesti, istri
abang gue. Mas Giri kurang ndut apa coba? Mbak Nesti juga sekarang udah jadi
pembantu dekan di kampusnya. Mana ada pudek blo’on? Terus itu... Dokter Vita
yang praktek di klinik blok gue. Itu suaminya juga rada bulet. Dokter juga dia.
Masih banyak contoh lainnya kalo lagi kurang kerjaan, mau sensus.”
“Iya,
ya...”
Pelan
Fajar menekan gas Brio-ku. Sedikit demi sedikit kami mulai terbebas dari
kemacetan.
“Driya
sering ya, main ke tempat lu?”
“Lumayan
sih!”
“Gue
beberapa kali liat dia pas gue beli makanan di blok lu. Seringnya pas dia
pulang malem-malem itu.”
“Kadang
dia istirahat bentar sebelum pulang ke Pondok Gede. Jauh juga kan, Jar...
Daripada celaka di jalan mending dia rebahan bentar di sofa gue.”
“Mendingan
lu sama dia aja, Sas,” celetuk Fajar tiba-tiba. “Enak kan, udah kenal lama.
Nggak harus mulai dari nol.”
“Hm...
Nggak tau ya... Dia biasa-biasa aja sama gue. Gue juga seneng aja sohiban sama
dia. Belum bisa lebih. Tapi ya nggak tau lagi deh!”
Fajar
membelokkan mobil ke blokku. Sopan juga dia, tidak memaksaku untuk mengantar
dia sampai ke bloknya. Kalau itu yang terjadi, aku harus balik memutar lagi
agak jauh untuk sampai ke blokku.
“Gue
nebeng lu sampe hari Jumat ya, Sas?” ucap Fajar sambil menyerahkan kunci
mobilku. “Tar hari Sabtu kalo boleh gue pinjem mobil lu buat angkutin ban mobil
gue.”
“Pake
aja,” jawabku ringan. “Eh, lu mau ke depot?”
Fajar
mengangguk sambil menjajari langkahku.
“Tolong
pesenin sekalian ya? Capcay kuah sama pangsit goreng. Tar COD aja. Trims!”
Fajar
kembali mengangguk. “Trims tebengannya ya?”
“Sama-sama...,”
aku melanjutkan langkahku ke lift.
Aku
sudah terlalu capek untuk naik tangga ke apartemenku di lantai 8. Tapi rupanya
sudah ada yang menungguku di lobby lantai 8 ketika aku keluar dari lift.
“Gue
numpang rebahan bentar di sofa lu ya?” masih ada sinar cerah di mata Driya
walaupun wajahnya terlihat kuyu.
Aku
tak punya pilihan lagi selain mengangguk.
“Lu
udah makan?” tanyaku.
Driya
menggeleng dengan wajah polos. Aku tersenyum simpul.
Hm...
Kelakuan...
* * *
Sudah
hampir jam sembilan malam ketika kami selesai makan. Tidak jadi COD karena
Fajar sudah membayar lunas pesananku. Driya tak membiarkanku membersihkan meja.
Dia yang melakukannya. Setelah itu kami mengobrol sebentar. Driya tertawa lebar
melihatku menguap berkali-kali.
“Udah
lu tidur dulu,” ucapnya. “Pintu sini otomatis terkunci kan, kalo gue keluar?”
Aku
mengangguk. “Terserah deh, lu mau pulang jam berapa. Jangan maksain pulang kalo
masih capek. Lu rebahan aja dulu. Atau lu mau rebahan di kamar yang satunya?”
Driya
menggeleng. “Di sini aja, Sas. Udah cukup.”
Lalu
kutinggalkan dia untuk molor di kamarku sendiri.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : CUBICLE #12
good post mbak
BalasHapusHiks Bara tega....
BalasHapus