Jumat, 18 September 2015

[Cerbung] CUBICLE #11





Kisah sebelumnya : CUBICLE #10



* * *



Sebelas


Segera kuedarkan pandang ke seantero kantin Prima. Aduuuuh… Penuh banget! Aku memang agak telat turun dari kantor gara-gara keasyikan diskusi dengan bagian produksi. Terpaksa aku kembali ke lift. Alternatif satu-satunya cuma ke Lounge Ex di lantai 6.

Sebetulnya ada alternatif lain. Ada beberapa kedai makanan di lantai 3. Hanya saja kondisinya sama dan sebangun dengan kantin Prima. Pasti penuh saat jam makan siang seperti ini. Apalagi aku sudah telat.

Selalu ada tempat kosong di Lounge Ex. Kali ini aku beruntung mendapat tempat di dekat jendela, sehingga aku bisa makan siang sambil menikmati suasana siang di sekitar Menara Daha dari ketinggian. Kuhela napas lega begitu pramusaji berlalu setelah mencatat pesananku.

Iseng kumainkan ponselku. Hari ini tak ada Whatsapp message dari Driya untuk mengajakku makan siang. Anggota geng sarap juga sepertinya tersebar ke seantero Jakarta. Seandainya ada yang masih tersangkut di kantor, pasti sudah duduk manis menikmati makan siang di kantin Prima.

Tak lama kemudian pesananku sudah terhidang. Baru sesuap makanan masuk ke mulutku, aku kaget karena ada yang menyapaku.

Meeting, Sas? Mau meeting apa udah kelar?”

Aku menoleh dan mendapati Bara berdiri di dekatku bersama...

Huh!

Aku langsung ingin mendengus tiba-tiba.

“Enggak,” jawabku, berusaha terlihat santai, sambil terus mengunyah makanan. “Nggak kebagian tempat aja di Prima. Duduk, Bar. Tapi kalo mau di tempat lain, ya silakan.”

Bara menoleh ke arah Mita. Aku tetap mengunyah sambil memainkan ponselku.

“Di sini aja, ya?”

Entah apa reaksi Mita, tapi keduanya kemudian ikut menempati meja yang kupakai makan. Bara menjatuhkan badannya di kursi tepat di depanku, sedangkan Mita di sebelahnya. Tepat menghalangi pemandangan di luar jendela yang ingin kunikmati.

Great!

“Lu tadi di mana kok bisa telat turun ke Prima?” Bara menatapku.

“Gue informal meeting sama produksi. Keasyikan diskusi. Lu?”

“Ke Multi Papan.”

“Fajar?”

“Iya, tadi sama Fajar. Tapi Fajar langsung jalan ke Radio Dalam.”

“Oh...”

“Pak Boss-nya nggak ada di tempat. Akhirnya ngobrol aja sama Mita,” senyum merekah di bibir Bara.

“Oh...”

Aku menikmati makan siangku sambil sesekali berkutat dengan ponselku. Tampaknya Bara mengerti bahwa aku lagi malas ngomong. Sebenarnya aku memang agak capek karena tadi sempat berdebat dengan bagian produksi.

Kubiarkan Bara dan Mita ngobrol. Sesekali aku menjawab kalau Bara melibatkan aku. Selebihnya... Aku harus berterima kasih pada ponselku yang setia.

Aku selesai makan duluan. Agak kilat karena aku malas berlama-lama di situ. Masih tersisa sepuluh menit sebelum waktu istirahat habis. Aku memutuskan untuk kembali duluan ke kantor.

“Duluan ya?” gumamku.

“Lho, lu mau ke mana?” Bara mendongak, menatapku yang sudah berdiri.

“Balik ke kantorlah...”

“Boss nggak ada, nggak usah buru-buru.”

“Terus, kalo Boss nggak ada, aku jadi nggak ada kerjaan, gitu?”

Bara meringis mendengar nada agak ketusku. Tanpa bicara apa-apa lagi aku segera melenggang pergi ke kasir. Setelah menyelesaikan urusan pembayaran, aku pun melangkah keluar dari Lounge Ex tanpa menoleh lagi ke arah Bara dan Mita.

Entah ada apa dengan hatiku. Rasanya tak nyaman saja. Mood-ku mendadak berubah jadi sedikit lebih buruk ketika melihat ada sosok Mita di dekatku. Padahal dia tak berbuat apa-apa. Wong menyapaku saja tidak pernah. Diam-diam aku mengangkat bahu.

Padahal sebenarnya aku ‘ada perlu’ dengan Bara. Hhh...

* * *

Konsepku tentang pengiklanan Multijossgandos sudah disetujui Pak Panji tanpa banyak cingcong. Selanjutnya dia menyerahkan sepenuhnya padaku, seperti ketika aku mengerjakan iklan untuk produknya yang lain tahun lalu. Sekarang tinggal aku yang harus menerjemahkan konsep itu dalam bentuk visual.

Aku akhirnya jadi memungut ide Fajar untuk memakai regu satpam sebagai model iklan minuman energi itu. Bahkan aku sudah memiliki bayangan regu satpam mana yang bisa kubidik untuk jadi modelnya. Hanya saja aku belum bicara apa-apa pada ‘pemimpin latihan’ regu satpam itu.

Sejak bertemu dengannya bersama Mita beberapa hari lalu, aku masih malas untuk bicara padanya. Untungnya aku sibuk. Dia juga sibuk. Jadi ada alasan untuk tidak berkomunikasi satu sama lain selain sapaan ringan saat bertemu secara ‘tidak disengaja’.

Tapi waktuku terus berjalan dan mau tak mau aku harus menyelesaikan secepatnya urusan model iklan itu. Sebenarnya ini urusan orang produksi, hanya saja aku menginginkan iklan yang kukerjakan ini sempurna adanya.

Siang ini, sekeluarnya aku dari ruang finishing, kulihat Bara sedang duduk manis di dalam cubicle-nya. Matanya tampak serius menatap laptop. Membuat aku jadi ragu-ragu untuk mulai bicara padanya. Maka aku pun diam-diam dulu ketika kembali ke cubicle-ku.

Sebelum aku membuka laptopku, suaranya menembus telingaku, “Sibuk amat, Sas?”

Aku menoleh dan mendapati dia tengah menatapku. Ah, sorot mata yang tak kumengerti itu lagi... Aku menghela napas panjang.

“Gimana iklan Multi Papan?” tanyaku, akhirnya.

“Lagi digarap Fajar, draft-nya.”

“Hm... Lu sendiri lagi sibuk?”

Bara menggeleng. Tersenyum. Menarik. Ganteng. Banget. Halaaah...

“Hm... Elu masih melatih satpam di belakang gedung apartemen gue kan? Karate…”
           
Bara menatapku, mengerutkan kening. “Kok lu tahu?”
           
“Iya, gue kan….”
           
Ting! Ting! Ting!
           
Alarm di kepalaku mendadak berbunyi.  Ups! Hampir saja tadi aku keceplosan omong ‘iya, gue kan suka ngintipin elu…’. Haiyaaah! Parah deh kalau itu yang terjadi!
           
“Ehm… Iya, kan kadang gue lihat elu pas gue buka tirai pantry gue.”

“Oh… So?
           
“Ini gue kemarin dapet job iklan minuman energi. Multijossgandos. Lu mau nggak jadi model iklan gue? Sama regu satpam lu itu…”
           
Bara bengong menatapku. Kugoyangkan tangan ke depan matanya. Dia tersadar. Matanya mengerjap.
           
“Bentar… Bentar… Gue jadi model iklan lu? Nggak salah?”

Aku tertawa. “Ya enggaklah! Maksud gue, dengan konsep yang gue buat, gue harap lu bisa nerjemahin secara tepat. Gue pikir bukan hal yang sulit karena elu udah kenal gue. Lu udah tahu konsep-konsep yang selama ini gue garap. Jadi lu bisa sekalian bantuin gue buat ngarahin regu satpam yang lu latih itu. Ya sebenernya urusan orang produksi sih, tapi gue mau iklan gue perfect.”
           
Bara berpikir sejenak. “Trus konsep lu gimana?”
           
Langsung saja kami berdiskusi. Dengan tepat Bara bisa menangkap ideku. Kalau sudah berdiskusi begini, kami selalu lupa waktu. Tahu-tahu sudah pukul empat sore. Kalau saja Fajar tidak berdiri menunggu di sebelahku, diskusiku dengan Bara pasti akan terus berlanjut.

“Masih lama?” Fajar menjangkau sebuah stoples berisi kacang bawang di mejaku.

“Enggak,” jawabku. “Waktunya pulang, ya pulang aja.”

So, markipul!” Fajar menarik genggaman tangannya dari dalam stoples. “Mari kita pulang.”

“Oh iya, hehehe...,” aku terkekeh tiba-tiba. “Kita kan hari ini jatahnya kencan yak?”

“Nah!” senyum Fajar merekah.

Bara menatapku dan Fajar setengah bengong.

“Kenapa?” tanya Fajar dengan nada meledek. “Pengen kencan juga? Gembosin aja ban mobil lu pagi-pagi, jadi bisa kencan sama orang yang ngasih lu tebengan, hehehe...”

Aku tergelak sambil mengemasi barang-barangku. Pagi-pagi tadi Fajar memang mengetuk pintu apartemenku. Minta tebengan. Ban mobilnya gembos, sementara ban cadangannya juga dalam keadaan gembos karena dia lupa mengurusinya setelah ganti ban beberapa bulan lalu.

Fajar meraih kunci mobilku yang kuletakkan di atas meja. Dengan sabar dia menunggu hingga aku siap.

“Bar, gue nebeng lu sampe Medika yak?” celetuk Nina dari cubicle ujung.

“Mas Tony nggak jemput?” Bara menoleh.

Nina menggeleng. “Ada operasi caesar. Gue disuruh nyamper ke sono. Daripada naik taksi kan mending nebeng elu. Jalur lu lewat sono kan?”

Bara mengangguk. “Yuk!”

Kami pun siap pulang. Yussi dan Gerdy sejak makan siang tadi tidak kembali lagi ke kantor. Sepertinya ada klien yang harus mereka temui.

* * *

Fajar dan aku terpaksa pasrah ketika terjebak kemacetan. Untung aku selalu sedia ‘perlengkapan darurat’ berupa makanan kecil dan minuman di jok belakang mobilku. Sambil menikmati kemacetan dan melahap ‘perlengkapan darurat’ itu, kami pun mengobrol.

“Gimana prospek hubungan lu sama Mita, Jar?”

Fajar menghembuskan napas panjang sebelum menjawab, “Nggak taulah. Kayaknya gue udah kalah duluan.”

“Hm...”

“Hmmm doang?”

Aku melebarkan senyumku. Kecut.

“Kapan hari yang dari Multi Papan terus lu jalan ke Radio Dalam itu, Bara sama Mita maksi bareng di Lounge Ex.”

“Sumpe lo?” Fajar terjingkat kaget.

Mendadak aku menyesali kelancanganku ‘mengadukan’ peristiwa itu pada Fajar.

“Nah, bener kan gue bilang?” gumam Fajar. “Gue udah kalah start.

“Lu sih, pake maju-mundur segala. Nggak jelas.”

“Kan gue udah pernah bilang sama lu, gue segen kompetisi sama sohib sendiri.”

“Padahal secara fisik lu menang lho, dibanding Bara.”

“Hm... Nggak ngaruh juga kali, Sas. Gerdy aja gembul gitu malah leading.

“Sebenernya nih ya, kebanyakan cewek tuh lebih nyaman kalo punya pasangan yang nggak kelewat kayak dewa gitu. Maksud gue, secara fisik. Jadi kayak nggak terintimidasi gitu. Tapi ya nggak semua. Ada emang cewek-cewek yang demen model-model cowok kaya elu. Metroseksual. Jaga kesehatan. Jaga penampilan. Selera sih...”

“Gue pernah baca di artikelnya dokter siapaaa gitu, bukannya cewek-cewek yang suka cowok rada gembul gitu cenderung nggak suka baca-baca alias rada nggak terbuka wawasannya soal kesehatan?”

“Praktisi kesehatan sah-sah aja ngomong kayak gitu. Sesuai literatur. Tapi kan hidup itu praktek, Jar, bukan sekadar teori. Hidup itu melibatkan rasa. Dan soal selera terhadap bentuk cowok itu juga masalah rasa. Rasa secured dan insecured pada seorang cewek. Nggak bisa dinilai dan dihakimi kayak gitu. Gue rasa nggak bijaksana juga seorang praktisi kesehatan bisa menilai kayak gitu. It’s OK, dia mungkin cerdas secara IQ, tapi attitude-nya? Seharusnya sebagai orang yang punya kapasitas otak lebih, dia bisa lebih cerdas memilih kata. Bukan yang bombastis dan provokatif kayak gitu.”

“Lu baca juga artikelnya?” Fajar terkekeh.

“Pernah sih... Langsung males, hehehe... Kenyataannya kan ngomong lain. Lu liat  Arlia. Kalo dia bukan cewek cerdas nggak mungkinlah sekarang udah jadi asisten manager. Belum lagi Mbak Nesti, istri abang gue. Mas Giri kurang ndut apa coba? Mbak Nesti juga sekarang udah jadi pembantu dekan di kampusnya. Mana ada pudek blo’on? Terus itu... Dokter Vita yang praktek di klinik blok gue. Itu suaminya juga rada bulet. Dokter juga dia. Masih banyak contoh lainnya kalo lagi kurang kerjaan, mau sensus.”

“Iya, ya...”

Pelan Fajar menekan gas Brio-ku. Sedikit demi sedikit kami mulai terbebas dari kemacetan.

“Driya sering ya, main ke tempat lu?”

“Lumayan sih!”

“Gue beberapa kali liat dia pas gue beli makanan di blok lu. Seringnya pas dia pulang malem-malem itu.”

“Kadang dia istirahat bentar sebelum pulang ke Pondok Gede. Jauh juga kan, Jar... Daripada celaka di jalan mending dia rebahan bentar di sofa gue.”

“Mendingan lu sama dia aja, Sas,” celetuk Fajar tiba-tiba. “Enak kan, udah kenal lama. Nggak harus mulai dari nol.”

“Hm... Nggak tau ya... Dia biasa-biasa aja sama gue. Gue juga seneng aja sohiban sama dia. Belum bisa lebih. Tapi ya nggak tau lagi deh!”

Fajar membelokkan mobil ke blokku. Sopan juga dia, tidak memaksaku untuk mengantar dia sampai ke bloknya. Kalau itu yang terjadi, aku harus balik memutar lagi agak jauh untuk sampai ke blokku.

“Gue nebeng lu sampe hari Jumat ya, Sas?” ucap Fajar sambil menyerahkan kunci mobilku. “Tar hari Sabtu kalo boleh gue pinjem mobil lu buat angkutin ban mobil gue.”

“Pake aja,” jawabku ringan. “Eh, lu mau ke depot?”

Fajar mengangguk sambil menjajari langkahku.

“Tolong pesenin sekalian ya? Capcay kuah sama pangsit goreng. Tar COD aja. Trims!”

Fajar kembali mengangguk. “Trims tebengannya ya?”

“Sama-sama...,” aku melanjutkan langkahku ke lift.

Aku sudah terlalu capek untuk naik tangga ke apartemenku di lantai 8. Tapi rupanya sudah ada yang menungguku di lobby lantai 8 ketika aku keluar dari lift.

“Gue numpang rebahan bentar di sofa lu ya?” masih ada sinar cerah di mata Driya walaupun wajahnya terlihat kuyu.

Aku tak punya pilihan lagi selain mengangguk.

“Lu udah makan?” tanyaku.

Driya menggeleng dengan wajah polos. Aku tersenyum simpul.

Hm... Kelakuan...

* * *

Sudah hampir jam sembilan malam ketika kami selesai makan. Tidak jadi COD karena Fajar sudah membayar lunas pesananku. Driya tak membiarkanku membersihkan meja. Dia yang melakukannya. Setelah itu kami mengobrol sebentar. Driya tertawa lebar melihatku menguap berkali-kali.

“Udah lu tidur dulu,” ucapnya. “Pintu sini otomatis terkunci kan, kalo gue keluar?”

Aku mengangguk. “Terserah deh, lu mau pulang jam berapa. Jangan maksain pulang kalo masih capek. Lu rebahan aja dulu. Atau lu mau rebahan di kamar yang satunya?”

Driya menggeleng. “Di sini aja, Sas. Udah cukup.”

Lalu kutinggalkan dia untuk molor di kamarku sendiri.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : CUBICLE #12

2 komentar: