Rabu, 09 September 2015

[Cerbung] CUBICLE #7





Kisah sebelumnya : CUBICLE #6



* * *


Tujuh


Presentasi di kantor Pak Robert berjalan mulus. Dia tahu aku yang mengerjakan iklan pesanannya walaupun Bara yang maju presentasi. Dia maklum aku lagi sakit. Bara sendiri berhasil menerjemahkan konsepku dengan detil yang pas. Tepat seperti yang kumau.
           
Sudah hampir pukul 11.00 ketika kami keluar dari kantor Pak Robert. Bara menatap sekilas arlojinya.

“Udah hampir waktu istirahat. Sekalian aja maksi yuk!” ajak Bara. “Lu mau maksi di mana?”

“Mmm…,” aku berpikir sejenak. “Praktisnya sih di Prima aja, sekalian balik ke kantor.”
           
“Bosen ah, di Prima melulu,” gumam Bara. “Di Cherie aja gimana? Lu mau nggak?”
           
“Boleh deh!” aku setuju. “Tapi mampir bentar ke Baby Hunny yak?” kataku sambil menyebut nama toko perlengkapan bayi tepat di sebelah Cafe Cherie.
           
“Sip!”
           
Bayi Gerdy sudah lahir secara normal hampir pukul 2 dini hari tadi. Cewek, persis seperti hasil USG. Entah kapan ada waktu menengoknya. Yang penting kadonya sudah ada duluanlah…
           
Bara melajukan Jazz-nya dengan santai. Seperti biasa, selalu ada macet kecil dan macet parah di sana-sini.
           
“Kuat ya, Arlia kecil mungil gitu, bayinya hampir 4 kilo,” celetuk Bara. “Bener-bener anak si Gerdy tuh bayi. Manteeep bener…”
           
“Makanya rada sulit juga kan lahirnya,” jawabku. “Lu tahu nggak cerita Nina tadi pagi? Eh, kayaknya lu belum dateng deh, tadi pas Nina cerita.”
           
“Apaan?”
           
“Jadi semalem tuh sekitar jam sebelasan Gerdy called Nina, ngomel-ngomel gitu. Gimana sih suami lu, Nin? Kayaknya nggak bener nanganin istri gue? Kok anak gue nggak lahir-lahir sih?”
           
“Hah?” Bara mulai ketawa.
           
“Ya Nina mau ketawa gimana, Gerdy udah senewen gitu. Nggak ketawa juga gimana, Nina ngerti kasusnya, dikasih tahu Mas Tony. Kan udah diperkirakan bayinya segede itu. Arlia sendiri disuruh caesar juga ngotot nggak mau…”
           
Bara ketawa ngakak. Kebayang juga kali, gimana si ‘cool daddy to be’ Gerdy bisa sepanik itu.
           
“Lu sendiri… Nggak pengen punya bayi, Sas?” celetuk Bara tiba-tiba setelah tawanya mereda.
           
Aku tercenung. Punya bayi? That’s my biggest dream! Tapi sungguh, aku tak tahu dari mana harus memulainya.
           
“Sori, Sas,” suara Bara terdengar sangat serius. “Tapi gue rasa udah waktunya lu tinggalin memori buruk lu. Nggak semua laki-laki sebrengsek Binno, sepengecut Binno.”
           
Aku menghela napas panjang. Tak ada yang salah pada kata-kata Bara. Memang sudah seharusnya aku menutup semuanya.

* * *

Sudah hampir empat tahun. Rasa sakit hatiku sendiri sudah lama menghambar, menghilang perlahan. Pada akhirnya aku berhasil meyakinkan diriku bahwa apa yang terjadi padaku dan Binno bukanlah kesalahanku.
           
Binno menghilang hanya seminggu sebelum pernikahan kami diresmikan. Keluarganya juga tak ada yang tahu di mana dia berada. Padahal seluruh rencana acara pernikahan sudah matang. Undangan sudah disebar, pemberkatan di gereja sudah dijadwal, rangkaian pengumunan pra-nikah sudah selesai dan kami sudah ‘dicap’ tanpa halangan yang bisa membatalkan rencana pemberkatan nikah itu, gedung fixed, catering sudah dibayar, bahkan hotel tempat kami akan berbulan madu pun sudah lunas pembayarannya.
           
Tapi Binno tak pernah muncul. Hingga dua tahun yang lalu. Hingga dia datang menemui orang tuaku di Bandung, bersama istrinya, menggendong seorang anak laki-laki berusia hampir dua tahunan.
           
Huuffft… Masih untung aku tak jadi dinikahinya ketika dia sudah menghamili perempuan lain…
           
Ayah dan Bunda melarang keras Binno untuk menemuiku. Aku sudah memaafkannya dan sudah bisa mulai berdiri tegak. Binno harus berjanji untuk tak lagi mengganggu aku.

Yang kudengar kemudian, Binno mendapat pekerjaan baru di Banjarmasin. Dan dia menepati janjinya untuk tidak menggangguku lagi.

Jujur, sudah tak ada lagi sakit hati. Hanya saja entah kenapa aku enggan keluar dari zona nyaman kesendirianku. Apakah masih tersisa trauma? Entahlah. Tapi rasa-rasanya tidak.

Aku hanya merasa belum menemukan orang yang benar-benar pas sebagai teman berbagi hidup selamanya. Mm... Sebetulnya aku merasa sudah menemukannya. Hanya saja semuanya stagnan. Tak pernah ada kemajuan berarti.

* * *

Tahu-tahu Bara sudah membelokkan Jazz-nya masuk ke tempat parkir. Kami jadi mampir ke Baby Hunny. Demi kepraktisan, kadonya kami jadikan satu bingkisan cantik saja, dari ‘Auntie Sasi and Uncle Bara’.
           
Cafe Cherie lumayan penuh. Tapi masih ada tempat kosong di pojok kanan depan, berhadapan langsung dengan Jazz biru metalik milik Bara. Sambil menunggu makanan dan minuman datang, aku memandangi mobil Bara.
           
Hm… Mobil impian…

Sayangnya keuanganku hanya cukup untuk mencicil Brio begitu cicilan apartemenku lunas. Hei! Come on, Sas! Bukankah harusnya kau bersyukur atas apa yang kau punya? Hatiku memprotes keras. Dan... ya, hatiku betul.
           
Suara Bara menyentakkanku. Entah apa yang dia katakan.
           
“Eh, apa, Bar?”
           
“Lu udah enakan, Sas?” ulang Bara sabar. “Atau lu mau gue antar pulang abis makan?”
           
“Eh, nggak… Enggak…,” aku cepat-cepat menggoyangkan tangan. “Gue udah mendingan kok! Suer!”
           
Bara menatapku, sepertinya tak percaya. Aku meringis hamster. Dan Bara mengangkat bahu sambil tersenyum, menyerah.
           
“Eh, lu di sini, guys?
           
Aku dan Bara sama-sama menoleh. Driya berdiri menjulang di sebelah meja kami. Dan di sebelahnya…
           
Huh! Dia lagi… Dia lagi…
           
“Eh, Dri!” sapa Bara.
           
“Gue numpang di sini yak? Penuh semua tuh meja,” kata Driya. “Boleh?”
           
“Duduk… duduk…,” Bara pun pindah duduk ke sebelahku.
           
Driya mengambil tempat di depanku, dan Mita di depan Bara. Aku sih acuh tak acuh saja, mengingat ‘sejarahnya’, hehe…
           
“Lu udah sehat, Yik?” tangan Driya terulur tiba-tiba, meraba keningku.
           
Aku tak sempat mengelak. “Gue nggak papa kok. Oh iya, makasih kiriman lu semalem ya? Gue kelupaan mau nelpon lu.”
           
“Oooh…,” Driya ketawa. “Daripada lu repot-repot bikin sarapan. Sampai jam berapa kalian semalem?”
           
“Jam 10 doang,” jawab Bara. “Nggak lama-lama kok! Gue kan cukup cerdas untuk ngerti jalan pikiran dia,” canda Bara sambil mengarahkan dagunya padaku.
           
Driya tertawa meriah.
           
Makanan dan minuman kami datang duluan. Uhui…! Shrimp Steak ala Cherie memang selalu menggodaku untuk menyikatnya. Bara dan aku makan duluan, sambil mengobrol dengan Driya dan…. Ah ya, Mita! Kenapa mendadak dia yang jadi pengusir lalernya yak?
           
“Sukses presentasinya yang tadi?” tanya Driya sambil tangannya sibuk mencomoti kentang gorengku.
           
Dia ngakak ketika kutepuk jengkel punggung tangannya. Kulihat Mita melirik sadis. Syerem euy!
           
“Dijamin…,” jawab Bara. “Secara gue gitu loh yang presentasi…”
           
“Haduuuh…,” mataku rolling. “Nggak inget apa ya, siapa yang sampe tepar ngerjain konsepnyaaa?”
           
Mereka terbahak.
           
“Anak Gerdy udah lahir?” tanya Driya lagi.
           
“Udah, dini hari tadi sekitar jam dua,” jawabku.
           
“Cewek apa cowok?”
           
“Cewek, kayak emaknya.”
           
“Oh… Emaknya cewek ya?” Driya ketawa.
           
“Bekas beinces,” jawab Bara ngawur.
           
“Wooo... Gue bilangin Arlia bisa dikampak leher lu!” seruku.
           
Mereka terbahak lagi. Tepat saat itu ponselku berbunyi. Boss Lenny.
           
“Siang, Cik…,” sapaku ramah.
           
“Presentasinya masih lama?”
           
“Udah selesai, Cik.”
           
“Lu sama Bara di mana sekarang?”
           
“Lagi mampir makan, Cik.”
           
“Ya udah makannya buruan! Abis itu cepet balik ke kantor! Buruan, gak pake lama!”
           
“Iya, Cik, iya…”
           
Klik!
           
Kutoleh Bara. “Cik Lenny serem suaranya. Udah buruan makannya! Kita disuruh cepetan balik.”
           
Bara dan aku jadi gelagapan menghabiskan makanan. Aduh…! Ada apa lagi sih? Nggak sari-sarinya suara Boss Lenny setegas itu…
           
Lima belas menit kemudian Bara dan aku sudah berada di lift menuju ke lantai 9. Kali ini rasanya lift merayap lamaaaa sekali. Bara berdiri diam di sebelahku. Jantungku sendiri dag-dig-dug tak keruan.
           
Cik Lenny sudah menunggu di kantor. Duduk manis di mejaku. Wajahnya biasa-biasa saja.
           
“Siang, Cik,” sapa kami berbarengan.
           
“Baca tuh pengumuman!” tangannya menunjuk ke white board. Ada tulisan besar-besar di sana.

IKLAN  ‘HUTAN  KACA’
KARYA  PANDU  BARATA
DENGAN  MODEL  IKLAN  NATALIA  SASI
MASUK  NOMINASI
IKLAN  CETAK  LAYANAN  MASYARAKAT
TERBAIK
WARA-WIRI PARIWARA AWARD 2015
SELAMAT!!!!
           
Sebelum aku menyadari apa yang terjadi, Bara sudah memelukku kencang.

“Masuk nominasi, Sas! Masuk nominasi! Gilaaa!” dia berisik sendiri.
           
Aku masih tertegun-tegun. Ketika kutoleh Boss Lenny, perempuan cantik itu mengacungkan kedua jempolnya sambil tertawa lebar.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : CUBICLE #8

CATATAN : mulai besok (Kamis) akan tayang cerpen stripping baru berjudul CINTA DUA MASA.  Penayangannya akan bergantian harinya dengan cerbung CUBICLE yang tetap tayang Senin-Rabu-Jumat. Terima kasih...

7 komentar:

  1. sumpah!!! Nggak sabar nunggu lanjutannya... :p

    BalasHapus
  2. luar biasa tulisan mbak yang satu ini, good post mbak

    BalasHapus
  3. Binno.....? Jadi ingat kartun di tipi.....tupi dan binno eh binoo ding...
    Lanjutkeen Mbak....

    BalasHapus
  4. terimakasih banyak, sangat menarik sekali....

    BalasHapus
  5. hahaha... bagus bingit bu Lizz... gak sabar nih tunggu lanjutannya.
    ada cerita si Mita kecebur di kolam renang gak buu.. betein ya cewek itu.. :-P

    BalasHapus
  6. Keren...........
    Mba Lis pintar sekali menggambarkannya.

    BalasHapus
  7. telat aku Mbak Lis...tapi asyik..juga Bara ma Sesi..itu..

    BalasHapus