Jumat, 25 September 2015

[Cerbung] CUBICLE #14





Kisah sebelumnya : CUBICLE #13



* * *


Empat Belas


Jarak Jakarta-Bandung memang tak jauh. Tapi selama ini aku memang tidak terlalu sering pulang. Aku lebih suka mengumpulkan cuti dan menghabiskannya sekaligus di Bandung. Terkadang Ayah dan Bunda juga muncul begitu saja di apartemenku. Tapi sudah sekitar lima bulan ini tidak. Ternyata Ayah sedang sibuk di perusahaan konsultan baru yang didirikannya bersama beberapa rekannya sesama pensiunan. Bunda juga sibuk dengan kegiatan sosialnya.

Mas Riksa muncul di rumah menjelang pukul sepuluh pagi. Mata Driya langsung membulat begitu melihat Mas Riksa. Mas Riksa pun tampak mengenali Driya, dengan sangat baik.

“Lho, Mo?” Driya menyalami Mas Riksa erat-erat.

“Kok bisa di sini, Dri?”

“Astagaaa...,” Driya menepuk keningnya. “Jadi Romo Alex ini Mas Riksanya Sasi???”

“Sebentar... Sebentar... Kok kamu bisa kenal Sasi? Satu kantor?” Mas Riksa mengerutkan kening.

“Mas Rik inget nggak, cowok kecil cungkring yang tinggalnya dulu di belakang rumah lama kita?” aku tertawa. “Yang tiap hari main sama aku.”

“Betmen?” Mas Riksa menatapku.

Aku mengangguk sambil menunjuk Driya.

“Astaga...,” Mas Riksa beralih menatap Driya. “Ya mana aku tau kalo Betmen itu kamu, Dri! Hahaha... Udah nggak bersisa cungkringnya.”

Ternyata Mas Riksa selama ini bertugas sebagai salah seorang pastor di paroki (wilayah) tempat Driya tinggal di Surabaya. Tentu saja kenal baik dengan Driya karena Driya termasuk aktif di gereja. Hanya saja tidak saling mengenali karena Mas Riksa kenalnya nama Betmen, sementara Driya kenal Mas Riksa sebagai Romo Alex. Apalagi waktu kami kecil Mas Riksa sudah sekolah dan tinggal di seminari. Jarang pulang ke rumah. Bahkan belakangan baru aku tahu, bahwa Mas Riksalah yang dulu memberkati pernikahan Driya dengan almarhum istrinya.

Ah, what a wonderful day! Ketika masa-masa terkini berpadu dengan cerita tentang kenangan masa lalu dalam situasi yang begitu hangat. Apalagi formasi keluargaku lengkap selengkap-lengkapnya kali ini. Ditambah dengan seorang ‘tamu tak diundang’ bernama Driya.

* * *

Sorenya, aku tertawa-tawa melihat Driya, Mas Giri, Olin, dan Josh bermain dan bercanda sambil bergulingan di atas hamparan rumput di halaman belakang rumah. Saking serunya, Olin sampai tercebur ke kolam ikan koi di sudut halaman. Bunda sampai berteriak-teriak panik, sementara Mbak Nesti hanya tertawa-tawa saja. Olin sendiri kemudian merangkak keluar dari kolam sambil nyengir jahil.

“Haduuuh, kamu ini...,” gerutu Bunda pada Olin. “Bikin Eyang sport jantung saja...”

Mbak Nesti segera menggiring Olin masuk ke rumah untuk berganti baju. Saat itu Mas Riksa mencolek bahuku.

“Kamu sama Driya mau lanjut ke hubungan yang lebih dekat?” tanyanya dengan suara rendah.

Aku menggeleng. “Belum tau, Mas. Masih sohiban biasa doang. Tapi dia sih pernah bilang, mau tunggu dulu setaun kepergian istrinya sebelum mulai hubungan baru. Entah sama siapa.”

“Oh...”

“Lagian selama beberapa bulan ini hubunganku sama dia masih di level nyambung persahabatan doang. Belum ada yang istimewa.”

“Hm... Ya, jalani dululah apa yang bisa kamu jalani,” senyum Mas Riksa.

Aku mengangguk. Tangan Ayah lembut membelai kepalaku yang sedari tadi rebah di pangkuannya.

“Ndak ada yang nyuruh kamu buru-buru nikah kok, Sas,” ucap Ayah kalem. “Yang penting mendapat yang terbaik. Dan sekali buat selamanya.”

Entah kenapa mataku merebak kali ini. Terasa hangat. Tenggorokanku juga mendadak terasa sakit. Selalu begitu. Keluarga yang saling mendukung sepenuhnya tanpa menuntut apa-apa.

Keluargaku tercinta...

* * *

Rumah jadi terasa lengang ketika Mas Riksa sudah terbang kembali ke Surabaya, Driya sudah kembali ke Jakarta dengan mobil travel, dan Mas Giri sekeluarga langsung meluncur pulang ke rumahnya setelah kami mengantar Mas Riksa dan Driya. Hanya tersisa Ayah, Bunda, aku, dan Teh Omi.

Dan Minggu sore itu, Bunda pun ‘menghilang’ dari rumah. Latihan koor untuk tugas di gereja Minggu depan. Ayah seharusnya ikut juga. Tapi Ayah memilih untuk absen dengan alasan capek. Padahal... Aku tahu alasan itu cuma akal bulus Ayah agar bisa berduaan saja denganku di rumah (maaf, Teh Omi, Teteh kali ini tak kuhitung...).

Sebagai satu-satunya anak perempuan dalam keluarga, jelas aku adalah kesayangan Ayah, Bunda, dan kedua abangku. Apalagi aku baru ada ketika Mas Riksa sudah berumur 11 tahun dan Mas Giri 8 tahun. Dan ketika aku terlahir sebagai bayi perempuan tepat pada tanggal 25 Desember, segera saja aku menyandang nama indah yang berarti ‘doa yang dikabulkan Tuhan’. Dan di usiaku yang jalan 28 tahun sekarang ini, sepertinya aku tetaplah menjadi daddy’s little girl, walaupun Ayah pula yang mengajariku soal kemandirian.

Menghabiskan waktu hanya berdua dengan Ayah adalah salah satu hal yang paling kutunggu bila aku pulang ke Bandung. Aku bisa bercerita apa saja padanya. Hal-hal yang paling norak sekalipun. Ayah akan diam mendengarkan hingga aku selesai mendongeng, tanpa menyela sedikit pun. Baru kalau aku butuh nasihat atau masukan, maka Ayah akan melakukannya dengan sehalus mungkin. Membuatku tak pernah merasa jadi ‘terdakwa’.

Dan kali ini, aku sedang berusaha untuk menguraikan ruwetnya hubungan persahabatanku dengan geng sarap. Seperti biasanya, Ayah mendengarkan aku dengan serius sambil menyisiri rambutku, dan mengepangnya rapi dari puncak kepala sampai ke ujung rambut, seperti yang sering dilakukannya sejak aku masih kecil.

“Entahlah, Yah. Aku cuma masih merasa sakit hati saja. Kupikir sudah ada yang nggak bener dengan persahabatanku dengan mereka. Dan perasaanku bilang, sudah mulai ada sentimen pribadi yang bikin pikiran jadi nggak obyektif lagi. Tapi aku nggak tau tentang apa,” aku pun menutup pengaduanku.

Ayah menyodorkan mug berisi teh hijau kesukaanku dengan senyumnya yang manis. Aku pun meneguknya dengan penuh ucapan terima kasih.

“Kalau boleh Ayah tau, sesering apa sih, Driya istirahat di tempatmu?”

“Dua minggu sekali juga belum tentu, Yah. Selama beberapa bulan ketemu Betmen lagi, belum ada sepuluh kali kok dia mampir istirahat di tempatku. Sampe nginep juga baru sekali. Itu juga karena dia tidurnya kebablasan sampe pagi saking capeknya.”

“Hm... Terus, kalau kalian ketemu, ngapain aja?”

“Ya ngobrol biasalah. Makan. Kadang ngobrolin kerjaan. Kadang ngobrolin almarhum istrinya. Kadang ngegosipin politik, ekonomi, apa aja. Asal rame aja. Dia tau bates kok, Yah. Nggak pernah sekadar ambil kesempatan. Dia mampir istirahat karena memang benar-benar butuh. Daripada celaka di jalan kan?”

“Iya... Ayah percaya kok. Anak Ayah gitu loh...,” Ayah mengedipkan sebelah mata.

Kejengkelan yang masih tersisa di hatiku perlahan mencair dan menguap.

“Ngomong-ngomong, Bara itu gimana sekarang kabarnya?”

Aku melongo sejenak. Kok jadi mengerucut ke Bara sih? Ada apa ini? Kutatap Ayah dengan kening berkerut.

“Kok tau-tau nanyain dia sih, Yah?”

“Pas Wara-Wiri Award itu jelas-jelas keliatan dia memelukmu lho...,” Ayah kembali mengedipkan sebelah mata. “Pakai encup-encup segala lagi.”

Kusenggolkan lenganku ke lengan Ayah. “Apaan sih? Ya itu refleks aja. Saking senengnya menang.”

“Hm... gitu ya? Nggak ada tendensi lain?”

Aku menatap Ayah dengan curiga.

“Kamu memang nggak ‘suka’ padanya,” jemari Ayah mengisyaratkan tanda kutip, “atau nggak paham kalau dia menyukaimu?”

As a partner?” aku menyipitkan mata.

As a man,” ucap Ayah tegas.

“Hm...,” berat sekali untuk mengakui apa yang ada dalam perasaanku. “Ya... Aku ‘suka’ padanya,” jemariku pun mengisyaratkan tanda kutip, “tapi kalau dia nggak pernah ngomong apa-apa, aku harus bilang apa?”

“Sampai sekarang?”

“Dia sudah beberapa waktu jalan bareng anak buahnya Betmen. Apalagi sejak Bara pegang iklan pesenan perusahaannya Betmen. Mereka kelihatannya makin dekat. Ya selama ini sih, temen-temen sering bercanda menjodoh-jodohkan aku dengan Bara. Tapi dia adem-ayem aja, so...,” aku mengangkat bahu.

“Menurut analisa Ayah nih, ya... Analisa ngawur. Sepertinya memang sudah ada faktor suka dan tidak suka secara pribadi dalam gengmu itu. Mungkin dasarnya kasih tak sampai,” sampai di sini Ayah nyengir, tapi kemudian berubah jadi serius lagi. “Tapi kalau masalah pekerjaan, Ayah rasa enggak.”

Kasih tak sampai? Hm... Jelas Nina dan Gerdy tak ada sangkut-pautnya dengan keruwetan ini.

Antara Bara dan aku? Tapi aku tak pernah merasa memusuhi Bara sebelum aku ‘diadili’ itu walaupun dia sudah lebih dulu jalan dengan Mita.

Antara Fajar dan Mita? Sepertinya Fajar juga bersikap santai-santai saja pada Bara walaupun pada akhirnya Mita lebih memilih untuk jalan bareng Bara.

Jangan-jangan...

Antara Yussi dengan Fajar? Akhir-akhir ini kan Fajar dan aku jadi sedikit lebih dekat dari biasanya karena ‘persamaan nasib’.

Oh... Pantas saja dia yang kelihatan paling panas ketika memergoki aku ‘memasukkan laki-laki lain’ ke dalam apartemenku. Jadi dianggapnya aku ‘mengkhianati’ Fajar. Tapi...

Tunggu sebentar!

Kenapa waktu itu dia malah menyebut-nyebut Bara? Atau jangan-jangan...

Yussi juga menyukai Bara?

Aku terhenyak.

Kenapa kemarahannya malah jadi tumpah padaku? Kan kenyataannya Bara sekarang tak bersamaku, tapi bersama Mita?

Hadeeeh... Memikirkan itu aku jadi pusing sendiri. Kutatap Ayah kemudian dengan putus asa.

“Kayaknya emang masalahnya lebih ruwet daripada yang kusangka deh, Yah...,” gumamku.

Ayah mengelus kepalaku. “Seruwet apapun jalinan masalahnya, Ayah percaya kamu masih bisa bersikap profesional dalam pekerjaanmu.”

Aku menggangguk. Itu yang selama ini kupegang teguh dan selalu kuusahakan untuk kulakukan. Profesionalisme.

That’s my girl!” Ayah menarik kepalaku dan mencium keningku.

Kupeluk Ayah. Tempat semua resahku berlabuh dan menemukan kolam penguapan.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : CUBICLE #15

5 komentar:

  1. Wah... Konflik makin rame nih... Senin masih lama yaaaaa hahahahahaha. Yussi ... Yussi.

    BalasHapus
  2. seru..............
    Kok tulisannya double Mba Lis?

    BalasHapus
  3. aduuh Driya kok gak ikutan cuti dadakan seeh? hhhmm Sasi jgn ama Bara yaa.. aku dukung kamu Sas :-)

    BalasHapus
  4. Makin menarik, Mbak Lizz emang maestro karya romantis.

    BalasHapus