Rabu, 02 September 2015

[Cerbung] CUBICLE #4





Kisah sebelumnya : CUBICLE #3



* * *



Empat


Hampir pukul sepuluh pagi baru kuselesaikan meeting dengan bagian produksi. Baru saja aku duduk di kursiku, notifikasi Whatsapp message terdengar lirih. Driya.


‘Yik! Maksi bareng ya? Geng lu entar pada ngumpul nggak?’
           
‘Wah, belum tau gue… Emang napa?’
  
‘Gue seharian ini ngantor. Kan gue udah janji ke geng lu, mau ngenalin si Mita.’
           
‘Mita siapa?’
           
‘Arsitek gue yang kapan hari ketemu di kantin itu…’
           
‘Oh... Entar deh gue hubungi lu lagi.’
           
‘Lu lagi sibuk ya?’ (icon meringis)
           
‘Ya tiap hari juga gue sibuk, Men… Gue dibayar buat kerja, bukan buat chatting.’ (icon melet)
           
‘Widiiih… Piyik galaks! Lagi dapet lu ya?’ (icon ketawa setan)
           
‘Dapet temen gokil, iya!’ (icon setan marah)
           
‘Wakakak… Ya udah deh, entar ketemuan di Prima yak?’


Belum sempat kubalas message itu, Boss Lenny menongolkan kepalanya dari balik pintu. “Sasi, kalo lu longgar, ke kantor gue ya?”
           
“Sekarang, Cik? Bisa kok, saya udah selesai meeting.”
           
“Ya udah, sini…”

* * *
           
Ternyata draft iklan Bara yang mau memakai fotoku sudah sampai ke meja Boss Lenny. Bahkan Boss Lenny sudah membuat draft perjanjian kontrak ‘model’ iklan untukku. Dia menunjukkan konsep yang sudah digarap Bara. Gambar utama adalah wajahku, dengan tambahan tulisan di bawahnya.


Kungkungan hutan kaca memisahkan kita dari tetes sejuk air hujan
Ke mana hilangnya belantara hijau yang sesungguhnya?
Mari selamatkan hutan kita!


Boss Lenny yang perfeksionis itu bahkan sudah menyiapkan draft perjanjian yang melindungi aku dari komersialisasi tak perlu yang mungkin dilakukan klien. Setelah tambah-kurang di sana-sini, aku pun menyetujui wajahku dipakai oleh iklan sosial itu. Meeting dengan Boss Lenny selesai menjelang waktu makan siang.

Jadilah aku resmi menyandang predikat baru sebagai model iklan. Model abal-abal sih... Sama sekali belum jadi bintang. Mungkin suatu saat kelak...

Haish! Mulai ngelantur. Efek lapar berat.

* * *

Di luar ruangan Boss Lenny, gerombolan sarap sudah menungguku untuk makan siang. Minus Bara. Ke mana cowok itu? Seakan mengerti apa yang kupikirkan, Nina nyeletuk, “Bara masih di jalan, abis meeting sama klien. Entar langsung nyusul.”

Di belakang kami, Boss Lenny berjalan sambil menenteng tasnya. Kami sama-sama masuk ke lift.

Guys, terus terang gue bangga bisa bekerja sama kalian. Gue bisa lihat kalian kerja keras dari hati buat kemajuan perusahaan kita. So, sekarang gue mau pulang. Kalian bebas istirahat sampai waktu pulang. Tapi pulang tetep jam 4 ya?” ucap Boss Lenny panjang lebar.

“Serius nih, Cik?!” seru Gerdy.
           
“Apanya?” Boss Lenny balik bertanya, tersenyum lebar.

“Boleh nganggur sampai jam 4?”

“Iyaaa, gue serius!” potong Boss Lenny. “Udah kalian nyantai aja hari ini…”
           
Kami pun berebutan mengucapkan terima kasih. Di lantai 2 kami berpisah. Gerombolan sarap keluar ke Prima, dan Boss Lenny terus meluncur ke basement.
           
“Eh, kenapa kita nggak ke Cherie aja sih?” Yussi menyebut nama cafe di sebelah Menara Daha.

Akhirnya kami balik lagi ke lift. Nina menutup telepon yang baru saja diterimanya.

“Bara udah di basement, gue udah suruh dia tunggu di lobby,” ucapnya.

* * *

Di Cafe Cherie rahasiaku terbongkar. Gara-gara Bara berterima kasih dengan manisnya karena aku sudah mengijinkan dia memakai fotoku untuk iklan. Jadilah aku harus mentraktir gerombolan sarap ini. Model iklan gitu loh...
           
Huhuhu... Padahal aku dibayar sebagai model dengan budget iklan sosial yang cuma sekian persen dari budget iklan komersil. Pasti nombok nih! Mana duit honornya saja belum masuk ke rekeningku! Huh!
           
Tengah asyik berhaha-hihi sambil menunggu segambreng pesanan kami datang, ponselku berbunyi. Driya.
           
“Halo, Men…”
           
“Yik, lu belum turun ya? Gue udah di Prima nih!”

Astagaaa...! Aku benar-benar lupa!

“Eh, sori banget, Men,” aku nyengir tanpa sadar. “Gue sama geng lagi di Cafe Cherie nih, nggak jadi makan di Prima. Lu ke sini gih!”
           
“Hadeeeh... Lu tuh ya...,” Driya mendesah di ujung sana. “Cafe Cherie yang mana?”
           
“Lu keluar aja, cafenya ada di sebelah kanan Daha.”
           
“Cafe yang warna krem-merah itu bukan?”
           
“Yak betul! Nah itu lu tahu?”
           
“Ya gue pernah ke situ. Oke deh, gue ke situ sekarang.”
           
“Eh, Men! Lu jadi bawa aspri lu?”
           
“Iya, jadi.”
           
“Oke deh, buruan lu ke sini!”
           
Kututup telepon dari Driya. “Driya mau ke sini. Mau ngenalin aspri bohaynya itu,” ucapku.
           
Fajar dan Bara langsung bersorak tertahan sambil toss. Gerdy cuma bengong. Salahnya sendiri Jumat kemarin cabut duluan! Jadi nggak ngerti gossipan terbaru deh….
           
Tak berapa lama Driya dan asprinya muncul. Siapa tadi namanya? Oh ya, Mita. Wow! Dia layak juga jadi foto model.
           
Sayangnya Mita ini cuma antusias ngomong dengan Fajar, Bara, Gerdy, dan Driya. Tidak padaku, atau pada Emak Nina, atau pada Yussi. Tapi kulihat Gerdy nyantai saja. Tidak terlalu menanggapi ‘kegenitan’ Mita. Sudah jadi calon bapak sih dia!

Kami malah asyik mengobrol sendiri. Nina, Gerdy, Yussi, dan aku. Topik pembicaraan tak jauh-jauh dari soal baby dan kelahiran. Apalagi Mas Tony, suami Nina, adalah dokter SpOg yang selama ini menangani kontrol Arlia, istri Gerdy. Gerdy sendiri tampak begitu antusias kecemplung dalam sindrom calon bapak baru.

Banyak hal ditanyakan Gerdy pada Nina, yang juga menjelaskan dengan antusias sesuai dengan yang diketahuinya. Selebihnya Yussi dan aku berusaha menjadi penyimak yang baik. Gadis-gadis yang diam-diam mendapat seminar gratis soal baby, kehamilan, dan kelahiran.

Entah bagaimana awalnya hingga ‘kelompok sana’ akhirnya terlibat juga dalam obrolan ‘kelompok sini’. Sekilas kulihat wajah Driya agak tersaput mendung dan lebih banyak diam. Tapi sepertinya dia tak ingin keluar dari obrolan yang nyata-nyata bisa membangkitkan kesedihannya itu. Dia ikut menyimak dengan sabar.

Dan ketika tatapan kami bertemu, dia mengulas senyum tipis yang mengisyaratkan ‘gue nggak apa-apa kok!’. Aku menjadi lebih lega karenanya. Sekaligus berharap waktu akan menyembuhkan Driya, sahabat lama yang baru saja aku temukan kembali.

* * *
           
Kami selesai makan menjelang pukul 3. Sesuai skenario, aku segera memanggil waitress untuk meminta bill.
           
“Bisa pakai debit, Mbak?” tanyaku sambil mengeluarkan kartu debitku.
           
“Bisa, Mbak,” jawab Mbak Waitress ramah.
           
Tapi Bara dan Driya sama-sama mengulurkan kartu kreditnya. Si Mbak jadi bingung.
           
“Udah gue yang bayar,” kata Bara. “Kan gue yang jadi sebab.”
           
“Gue aja, kan gue yang punya hajat ngenalin Mita ke kalian,” bantah Driya.

Aku terhenyak ketika kulihat Bara dan Driya saling menatap. Seolah mengukur kekuatan. Halah... Kok kayak gini jadinya?
           
Akhirnya dengan kukuh kusodorkan kartu debitku. “Ini, Mbak,” tegasku sekali lagi sambil berdiri. “Mana alatnya, buruan gesek.”
           
Bara menatapku dengan wajah bersalah. Driya juga kelihatan salting.
           
“Bayar aja rebutan…,” ledek Gerdy.
           
“Lagian, bayar pakai kartu kredit. Makannya kapan, bayarnya kapan...,” sahutku sinis.

Entah kenapa aku jadi uring-uringan sendiri.

* * *


Bersambung ke episode berikutnya : CUBICLE #5


3 komentar:

  1. Mbak, Makasih buat ceritanya.... Lebih pajang, lebih lama, lebih nendang. Setiap hari, nunggu in cerita baru, obat Kangen ama indonesia.....

    BalasHapus