“Siang, Mbak... Bapak ada?”
Madri mengangkat wajah dari sebuah e-book di tabletnya. Seketika itu juga
dadanya terasa bergemuruh. Matanya yang bulat bening menatap si penanya tanpa
kedip. Si penanya pun balik menatapnya. Penuh tanya.
“Iya,” si penanya mengerutkan kening sejenak.
Sedetik kemudian si penanya menepuk keningnya. “Astaga... Madri? Kamu sudah
gede sekarang ya?”
Madri berdiri dari duduknya di belakang mesin
kasir. Dipanggilnya salah seorang karyawan untuk menggantikan posisinya. Ia
kemudian menggamit lengan Reddy.
“Papa ada di kantor. Sudah janjian?”
“Sudah,” Reddy mengangguk. “Dan aku disuruh
ke sini. Kamu gimana kabarnya? Kresna?”
“Baik,” senyum Madri. “Mas Kresna juga baik.”
Madri kemudian membuka pintu kantor papanya
tanpa mengetuk. Jatmiko menoleh.
“Ya, Dri?”
“Ada Mas Reddy, Pa,” lapornya.
“Oh, iya!” Jatmiko bangkit dari duduknya.
“Mana?”
“Pak...,” Reddy muncul dari belakang Madri.
Diulurkannya tangan pada Jatmiko yang segera
menyambutnya dengan hangat.
“Tolong bikin minum dan sekalian bawakan
makanan ya, Dri?” Jatmiko menoleh pada Madri.
“Baik, Pa,” Madri menganggukkan kepala sambil
menutup pintu kembali.
Ia pun segera beranjak ke pantry.
* * *
Dia datang lagi...
Madri
mengaduk dua gelas ice mint tea
sambil setengah melamun.
Masih tetap seperti dulu.
Dan rasaku masih sama. Bahkan getarnya menguat. Bagaimana ini?
“Mbak...”
Madri
tersentak.
“Itu
mengaduknya lama amat?”
Madri menoleh. Yuni menatapnya dengan senyum
menggoda.
“Ganteng banget ya, Mbak, tamunya Bapak?”
“Apa sih?” Madri mengalihkan tatapannya
dengan wajah bersemu merah.
Yuni terkekeh sambil menyiapkan sebuah nampan
besar. Dengan cekatan dipindahkannya beberapa klakat bambu dalam satu tumpukan,
beberapa piring dan sumpit, dan mangkok-mangkok kecil berisi aneka saus ke atas
nampan. Kemudian diambilnya nampan lain yang lebih. Dipindahkannya gelas-gelas
yang baru saja ditangani Madri ke atas nampan itu dan dua piring berisi spring roll dan aneka dimsum goreng.
“Yuni bawa semuanya atau Mbak Madri satu?”
Tanpa menjawab, Madri mengangkat nampan
berisi gelas minuman dan spring roll.
Yuni mengikuti dari belakang. Pekerjaan yang sudah biasa dilakukannya itu kali
ini membutuhkan konsentrasi lebih bagi Madri. Agar tidak tumpah. Agar tidak
jatuh. Karena semua debar aneh dan liar yang masih saja memenuhi dadanya.
Yuni membuka pintu kantor Jatmiko setelah
meletakkan nampan besarnya ke atas sebuah meja. Madri masuk tanpa suara. Dengan
cekatan, walau tangannya agak gemetar, diletakkannya gelas minuman di depan
Reddy dan Jatmiko. Yuni pun segera memindahkan semua isi nampan ke atas meja.
“Silakan, Mas Reddy,” ucap Madri manis
setelah semuanya beres.
Madri pun bermaksud undur diri sesudahnya.
Tapi suara Jatmiko menahannya.
“Mau ke mana?”
“Balik ke kasir, Pa.”
“Kan sudah ada Mas Yoga,” Jatmiko melirik
sekilas, menembus partisi one way di
belakang Madri. “Sini...”
Madri pun duduk manis di sebelah Jatmiko.
Jatmiko mengelus kepala Madri dengan sayang.
“Madri libur kalau Sabtu?” wajah Reddy tampak
serius.
“Iya,” jawab Madri singkat.
“Makanya selalu bantu-bantu di sini,” Jatmiko
kembali mengelus kepala Madri.
“Sudah kelas 11 sekarang ya?” Reddy
mengangkat gelas minumannya.
“Sudah mahasiswi, Dy,” senyum Jatmiko
melebar. “Dua kali ikut akselerasi di SMP dan SMA.”
Reddy seketika terbengong menatap Madri. Yang
ditatap hanya tertunduk dengan wajah bersemu dadu.
“Wah... Madri hebat banget!” Reddy
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tepat saat itu ponsel yang ada di saku celana
Madri berbunyi. Gadis itu kemudian pamitan untuk menerima telepon. Reddy menatap
punggung Madri yang makin menjauh, sebelum menghilang di balik pintu.
* * *
Galang menatap Madri yang duduk bersandar
dengan wajah tak seceria biasanya. Bahkan sepertinya gadis itu sesekali terbawa
alam lamunan. Galang meletakkan sumpitnya.
“Dri, kamu sakit? Nggak enak badan? Mau
kuantar pulang?” tanya Galang, beruntun.
Tapi Madri menggeleng, “Aku nggak apa-apa
kok, Mas.”
“Tapi kok kamu lesu gitu?”
Madri berusaha tersenyum dan mengubah
wajahnya jadi lebih ceria. Tapi gagal. Masih jelas sekali bahwa pikirannya
sedang tak ada di tempat. Galang masih menatap Madri. Yang ditatap menghindar
dengan bergerak meraih gelas minumannya.
Galang baru mengalihkan tatapannya ketika
pintu geser terbuka. Pada awalnya ia tidak begitu mengenali siapa yang keluar
dari kantor papa Madri. Tapi ketika beberapa detik kemudian ia mulai
mengenalinya, seketika itu juga ia paham.
“Sore, Om,” dianggukkannya kepala dengan
sopan sambil berdiri dan menyalami Jatmiko, dan seorang laki-laki yang keluar
bersama Jatmiko.
“Sore, Lang. Mau keluar sama Madri?” senyum
Jatmiko.
Galang tak menjawab. Hanya menatap ragu-ragu
ke arah Madri. Madri tak bereaksi.
“Ke rumah saja yuk, makan bareng.”
Madri menatap papanya.
Makan
malam bersama?
Tapi tanpa menunggu persetujuan Madri, Galang
sudah mengangguk. Menyetujui ajakan Jatmiko.
“Sekalian numpang mandi ya, Om?” Galang
nyengir.
Jatmiko tertawa lebar. Galang sudah bukan
orang lain lagi baginya. Sahabat si sulung Kresna itulah yang selama ini
menjadi suporter utama Madri saat menjalani kelas-kelas akselerasinya. Karena
ia memiliki pengalaman yang sama. Dan bisa jadi acuan Madri saat menjalani
masa-masa sulit adaptasinya.
Ketika keduanya makin dekat, Jatmiko tak
melihat ada hal yang bisa membuatnya khawatir. Galang bisa membimbing Madri pada
banyak hal yang benar. Galang juga menjaga Madri sama baiknya dengan yang
selama ini dilakukan Kresna.
“Kamu dari mana saja tadi? Bukannya semua
urusan kuliahmu sudah selesai?” Jatmiko menepuk bahu Galang.
“Saya bantu teman-teman, Om. Kejar target terbitan
buletin bulanan jurusan. Dari semalam
saya tidur di markas redaksi. Daripada saya ngeluyur ke mana-mana yang nggak
jelas.”
“Hm...,” Jatmiko mengangguk-angguk. “Ya
sudah, kamu mau ikut pulang sekarang atau bagaimana?”
“Gimana, Dri?” Galang menatap Madri.
Madri hanya mengangguk. Tanpa suara.
* * *
Dia
bukan lagi gadis kecil lincah yang hobi bercelana gemes...
Sesekali Reddy mencuri pandang ke arah Madri.
Dia
sudah jauh lebih dewasa. Lebih tenang. Dan...
Reddy mencuri pandang lagi.
... cantik.
Reddy menyuapkan sesendok makanan ke dalam
mulutnya.
Sangat
cantik!
“... ... ..., Dy?”
Reddy tersentak ketika ada suara yang
menggemakan namanya. Ditatapnya Swandini.
“Maaf, Bu?”
“Rencanamu selepas pulang Jerman apa, Dy?”
ulang Swandini dengan sabar.
“Oh,” Reddy tersipu sejenak karena ketahuan
tidak konsentrasi. Ditatapnya Jatmiko sekilas. “Bapak meminta saya untuk masuk
ke kantor tempat Bapak bekerja. Sedangkan Pak Jo meminta saya kembali ke
kampus.”
“Oh... Terus?”
“Saya belum memikirkannya lagi, Bu. Tapi...,”
tatapan Reddy menyapu wajah Madri sekilas, “rasanya saya lebih cenderung
menerima tawaran Bapak. Hanya saja saya belum memutuskannya.”
“Pikirkan saja dulu baik-baik, Dy,” ucap
Jatmiko. “Supaya kamu nggak salah ambil keputusan. Di mana pun tempatmu, lebih
baik kalau nanti bekerja dengan hati.”
“Ya, Pak,” Reddy mengangguk hormat.
Ketika tangannya meraih gelas minuman, tanpa
sengaja tatapan Reddy bertemu dengan tatapan Galang di seberang meja. Tatapan
yang tajam.
Sangat tajam!
* * *
Cinta
seorang ABG...
Reddy tak terlalu buta untuk bisa
merasakannya. Dari cara Madri menatapnya. Memintanya membantu mengerjakan PR
yang sebenarnya bisa dikerjakan sendiri tanpa kesulitan. Memberinya oleh-oleh
dimsum sepulang dari kedai. Membawakan sendiri teh hangat yang sudah dibuatkan
oleh Bik Tunik. Dan masih banyak lagi hal lain.
Tapi apa yang akan terjadi bila ia memberikan
harapan untuk seorang ABG seperti Madri? Di saat usianya sudah 22 tahun dan
memperoleh gelar sarjana? Nekad memacari seorang gadis kecil kelas 7 SMP yang
kebetulan putri dari seseorang yang sangat dihormatinya?
Reddy menggelengkan kepala. Ia tak bisa
melakukannya.
Dulu.
Saat itu. Tapi sekarang?
Setelah empat tahun semuanya tak lagi sama. Madri
berubah total. Menjadi seorang gadis muda sangat cantik serupa kembang mawar
baru mekar yang pasti dikerubungi banyak kumbang.
Dan salah satu kumbang itu jelas-jelas sudah
mengirimkan sinyal permusuhan padanya lewat tatapannya yang tajam. Membuat hati
Reddy tergelitik.
Mosok
harus kalah dari anak kemarin sore?
Apalagi ia masih menemukan cahaya itu dalam
mata Madri yang bening menghanyutkan.
Kerinduan
yang tersamar.
Cinta
yang terpendam.
Keinginan
yang pernah terabaikan.
Semuanya menimbulkan getar yang sisanya saat
ini masih terasa dari ujung rambut ke ujung kaki.
* * *
Bersambung ke : Cinta Dua Masa #2
jadikan novel berseri mbak, pokoknya good post
BalasHapusDuuh......gemes! Untungnya bukan aku yang nggarap. Kalau jadi tak garap pasti nggak asik kayak yang ini. Yowislah........sabar nunggu sabtu
BalasHapusSeneng banget... Gak nyangka ada sambungannya kedai angsa...
BalasHapusJempol ku maju kabeh mbak lis...
Ini lanjutan cerbung arsitek yg stroke itu ya Mba Lis?
BalasHapus