Kamis, 10 September 2015

[Cerpen Stripping] Cinta Dua Masa #1





“Siang, Mbak... Bapak ada?”

Madri mengangkat wajah dari sebuah e-book di tabletnya. Seketika itu juga dadanya terasa bergemuruh. Matanya yang bulat bening menatap si penanya tanpa kedip. Si penanya pun balik menatapnya. Penuh tanya.

“Mas Reddy ya?” ucap Madri kemudian, ragu-ragu.

“Iya,” si penanya mengerutkan kening sejenak. Sedetik kemudian si penanya menepuk keningnya. “Astaga... Madri? Kamu sudah gede sekarang ya?”

Madri berdiri dari duduknya di belakang mesin kasir. Dipanggilnya salah seorang karyawan untuk menggantikan posisinya. Ia kemudian menggamit lengan Reddy.

“Papa ada di kantor. Sudah janjian?”

“Sudah,” Reddy mengangguk. “Dan aku disuruh ke sini. Kamu gimana kabarnya? Kresna?”

“Baik,” senyum Madri. “Mas Kresna juga baik.”

Madri kemudian membuka pintu kantor papanya tanpa mengetuk. Jatmiko menoleh.

“Ya, Dri?”

“Ada Mas Reddy, Pa,” lapornya.

“Oh, iya!” Jatmiko bangkit dari duduknya. “Mana?”

“Pak...,” Reddy muncul dari belakang Madri.

Diulurkannya tangan pada Jatmiko yang segera menyambutnya dengan hangat.

“Tolong bikin minum dan sekalian bawakan makanan ya, Dri?” Jatmiko menoleh pada Madri.

“Baik, Pa,” Madri menganggukkan kepala sambil menutup pintu kembali.

Ia pun segera beranjak ke pantry.

* * *

Dia datang lagi...

Madri mengaduk dua gelas ice mint tea sambil setengah melamun.

Masih tetap seperti dulu. Dan rasaku masih sama. Bahkan getarnya menguat. Bagaimana ini?

“Mbak...”

Madri tersentak.

“Itu mengaduknya lama amat?”

Madri menoleh. Yuni menatapnya dengan senyum menggoda.

“Ganteng banget ya, Mbak, tamunya Bapak?”

“Apa sih?” Madri mengalihkan tatapannya dengan wajah bersemu merah.

Yuni terkekeh sambil menyiapkan sebuah nampan besar. Dengan cekatan dipindahkannya beberapa klakat bambu dalam satu tumpukan, beberapa piring dan sumpit, dan mangkok-mangkok kecil berisi aneka saus ke atas nampan. Kemudian diambilnya nampan lain yang lebih. Dipindahkannya gelas-gelas yang baru saja ditangani Madri ke atas nampan itu dan dua piring berisi spring roll dan aneka dimsum goreng.

“Yuni bawa semuanya atau Mbak Madri satu?”

Tanpa menjawab, Madri mengangkat nampan berisi gelas minuman dan spring roll. Yuni mengikuti dari belakang. Pekerjaan yang sudah biasa dilakukannya itu kali ini membutuhkan konsentrasi lebih bagi Madri. Agar tidak tumpah. Agar tidak jatuh. Karena semua debar aneh dan liar yang masih saja memenuhi dadanya.

Yuni membuka pintu kantor Jatmiko setelah meletakkan nampan besarnya ke atas sebuah meja. Madri masuk tanpa suara. Dengan cekatan, walau tangannya agak gemetar, diletakkannya gelas minuman di depan Reddy dan Jatmiko. Yuni pun segera memindahkan semua isi nampan ke atas meja.

“Silakan, Mas Reddy,” ucap Madri manis setelah semuanya beres.

Madri pun bermaksud undur diri sesudahnya. Tapi suara Jatmiko menahannya.

“Mau ke mana?”

“Balik ke kasir, Pa.”

“Kan sudah ada Mas Yoga,” Jatmiko melirik sekilas, menembus partisi one way di belakang Madri. “Sini...”

Madri pun duduk manis di sebelah Jatmiko. Jatmiko mengelus kepala Madri dengan sayang.

“Madri libur kalau Sabtu?” wajah Reddy tampak serius.

“Iya,” jawab Madri singkat.

“Makanya selalu bantu-bantu di sini,” Jatmiko kembali mengelus kepala Madri.

“Sudah kelas 11 sekarang ya?” Reddy mengangkat gelas minumannya.

“Sudah mahasiswi, Dy,” senyum Jatmiko melebar. “Dua kali ikut akselerasi di SMP dan SMA.”

Reddy seketika terbengong menatap Madri. Yang ditatap hanya tertunduk dengan wajah bersemu dadu.

“Wah... Madri hebat banget!” Reddy menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tepat saat itu ponsel yang ada di saku celana Madri berbunyi. Gadis itu kemudian pamitan untuk menerima telepon. Reddy menatap punggung Madri yang makin menjauh, sebelum menghilang di balik pintu.

* * *

Galang menatap Madri yang duduk bersandar dengan wajah tak seceria biasanya. Bahkan sepertinya gadis itu sesekali terbawa alam lamunan. Galang meletakkan sumpitnya.

“Dri, kamu sakit? Nggak enak badan? Mau kuantar pulang?” tanya Galang, beruntun.

Tapi Madri menggeleng, “Aku nggak apa-apa kok, Mas.”

“Tapi kok kamu lesu gitu?”

Madri berusaha tersenyum dan mengubah wajahnya jadi lebih ceria. Tapi gagal. Masih jelas sekali bahwa pikirannya sedang tak ada di tempat. Galang masih menatap Madri. Yang ditatap menghindar dengan bergerak meraih gelas minumannya.

Galang baru mengalihkan tatapannya ketika pintu geser terbuka. Pada awalnya ia tidak begitu mengenali siapa yang keluar dari kantor papa Madri. Tapi ketika beberapa detik kemudian ia mulai mengenalinya, seketika itu juga ia paham.

“Sore, Om,” dianggukkannya kepala dengan sopan sambil berdiri dan menyalami Jatmiko, dan seorang laki-laki yang keluar bersama Jatmiko.

“Sore, Lang. Mau keluar sama Madri?” senyum Jatmiko.

Galang tak menjawab. Hanya menatap ragu-ragu ke arah Madri. Madri tak bereaksi.

“Ke rumah saja yuk, makan bareng.”

Madri menatap papanya.

Makan malam bersama?

Tapi tanpa menunggu persetujuan Madri, Galang sudah mengangguk. Menyetujui ajakan Jatmiko.

“Sekalian numpang mandi ya, Om?” Galang nyengir.

Jatmiko tertawa lebar. Galang sudah bukan orang lain lagi baginya. Sahabat si sulung Kresna itulah yang selama ini menjadi suporter utama Madri saat menjalani kelas-kelas akselerasinya. Karena ia memiliki pengalaman yang sama. Dan bisa jadi acuan Madri saat menjalani masa-masa sulit adaptasinya.

Ketika keduanya makin dekat, Jatmiko tak melihat ada hal yang bisa membuatnya khawatir. Galang bisa membimbing Madri pada banyak hal yang benar. Galang juga menjaga Madri sama baiknya dengan yang selama ini dilakukan Kresna.

“Kamu dari mana saja tadi? Bukannya semua urusan kuliahmu sudah selesai?” Jatmiko menepuk bahu Galang.

“Saya bantu teman-teman, Om. Kejar target terbitan buletin bulanan jurusan.  Dari semalam saya tidur di markas redaksi. Daripada saya ngeluyur ke mana-mana yang nggak jelas.”

“Hm...,” Jatmiko mengangguk-angguk. “Ya sudah, kamu mau ikut pulang sekarang atau bagaimana?”

“Gimana, Dri?” Galang menatap Madri.

Madri hanya mengangguk. Tanpa suara.

* * *

Dia bukan lagi gadis kecil lincah yang hobi bercelana gemes...

Sesekali Reddy mencuri pandang ke arah Madri.

Dia sudah jauh lebih dewasa. Lebih tenang. Dan...

Reddy mencuri pandang lagi.

... cantik.

Reddy menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulutnya.

Sangat cantik!

“... ... ..., Dy?”

Reddy tersentak ketika ada suara yang menggemakan namanya. Ditatapnya Swandini.

“Maaf, Bu?”

“Rencanamu selepas pulang Jerman apa, Dy?” ulang Swandini dengan sabar.

“Oh,” Reddy tersipu sejenak karena ketahuan tidak konsentrasi. Ditatapnya Jatmiko sekilas. “Bapak meminta saya untuk masuk ke kantor tempat Bapak bekerja. Sedangkan Pak Jo meminta saya kembali ke kampus.”

“Oh... Terus?”

“Saya belum memikirkannya lagi, Bu. Tapi...,” tatapan Reddy menyapu wajah Madri sekilas, “rasanya saya lebih cenderung menerima tawaran Bapak. Hanya saja saya belum memutuskannya.”

“Pikirkan saja dulu baik-baik, Dy,” ucap Jatmiko. “Supaya kamu nggak salah ambil keputusan. Di mana pun tempatmu, lebih baik kalau nanti bekerja dengan hati.”

“Ya, Pak,” Reddy mengangguk hormat.

Ketika tangannya meraih gelas minuman, tanpa sengaja tatapan Reddy bertemu dengan tatapan Galang di seberang meja. Tatapan yang tajam.

Sangat tajam!

* * *

Cinta seorang ABG...

Reddy tak terlalu buta untuk bisa merasakannya. Dari cara Madri menatapnya. Memintanya membantu mengerjakan PR yang sebenarnya bisa dikerjakan sendiri tanpa kesulitan. Memberinya oleh-oleh dimsum sepulang dari kedai. Membawakan sendiri teh hangat yang sudah dibuatkan oleh Bik Tunik. Dan masih banyak lagi hal lain.

Tapi apa yang akan terjadi bila ia memberikan harapan untuk seorang ABG seperti Madri? Di saat usianya sudah 22 tahun dan memperoleh gelar sarjana? Nekad memacari seorang gadis kecil kelas 7 SMP yang kebetulan putri dari seseorang yang sangat dihormatinya?

Reddy menggelengkan kepala. Ia tak bisa melakukannya.

Dulu. Saat itu. Tapi sekarang?

Setelah empat tahun semuanya tak lagi sama. Madri berubah total. Menjadi seorang gadis muda sangat cantik serupa kembang mawar baru mekar yang pasti dikerubungi banyak kumbang.

Dan salah satu kumbang itu jelas-jelas sudah mengirimkan sinyal permusuhan padanya lewat tatapannya yang tajam. Membuat hati Reddy tergelitik.

Mosok harus kalah dari anak kemarin sore?

Apalagi ia masih menemukan cahaya itu dalam mata Madri yang bening menghanyutkan.

Kerinduan yang tersamar.

Cinta yang terpendam.

Keinginan yang pernah terabaikan.

Semuanya menimbulkan getar yang sisanya saat ini masih terasa dari ujung rambut ke ujung kaki.

* * *


Bersambung ke : Cinta Dua Masa #2


4 komentar:

  1. jadikan novel berseri mbak, pokoknya good post

    BalasHapus
  2. Duuh......gemes! Untungnya bukan aku yang nggarap. Kalau jadi tak garap pasti nggak asik kayak yang ini. Yowislah........sabar nunggu sabtu

    BalasHapus
  3. Seneng banget... Gak nyangka ada sambungannya kedai angsa...
    Jempol ku maju kabeh mbak lis...

    BalasHapus
  4. Ini lanjutan cerbung arsitek yg stroke itu ya Mba Lis?

    BalasHapus