Jumat, 02 Oktober 2015

[Cerbung] CUBICLE #17





Kisah sebelumnya : CUBICLE #16


* * *


Tujuh Belas


Kupikir aku memang harus secepatnya ‘menyelesaikan’ urusanku dengan Yussi. Sahabat yang saling menghindar satu sama lain itu bukan kejadian yang menyenangkan. Ada ganjalan tertentu di hati.

Saat itu tiba ketika sekembalinya dari maksi, aku mendapati Yussi tengah duduk di cubicle-nya. Sendirian. Tampaknya geng sarap selain Yussi dan aku tengah menyebar entah ke mana. Kesempatan bagus!

“Hola!” aku bergeser posisi, duduk di cubicle Bara.

“Yup!” dia menoleh sekilas.

“Sibuk banget nggak?”

Yussi menggeleng, tapi jemarinya masih menari di atas keyboard.

“Hm... Gue mau ngomongin sesuatu. Soal Driya.”

Seketika gerakan jemari Yussi terhenti. Wajahnya memang masih menatap laptop, tapi sepertinya aku berhasil menggoyahkan fokusnya. Aku pun tak mau lagi buang waktu untuk ‘menyerangnya’.

“Pertama, gue nggak ada apa-apa sama Driya. Murni sohiban. Kedua, dia sama sekali nggak ada rasa sama gue. Begitu juga gue ke dia. Ketiga, kalo ada apa-apa yang menyangkut gue, sebaiknya lu ngomong langsung secara pribadi ke gue, nggak langsung bawa-bawa geng buat ngeroyokin gue. Udah, gitu aja.”

Dia menatapku sekarang. Kusambut dengan senyum paling manis yang kupunya. Dihelanya napas panjang.

“Terus apa urusannya lu ngomongin soal Driya ke gue?”

Kuangkat bahu. “Hati lu tau jawabannya.”

Segera kutinggalkan Yussi. Tepat saat itu Boss Lenny memanggilku ke kantornya. Aku pun segera ‘meluncur’ ke sana.

Ternyata Boss Lenny cuma sekadar mengajakku mengobrol ringan. Terutama soal grafik job iklan yang naik tajam ke MemoLineAd setelah Bara memenangkan salah satu award di Wara-Wiri. Ujung-ujungnya merembet ke masalah lain. Ada yang menginginkan aku jadi model iklan produknya.

“Waduh... Saya nggak mau lagi, Cik...” jawabku, meringis.

“Lho, kenapa? Gue nggak ngebatesin lu lho, Sas.”

“Bukan masalah saya khawatir Cik Lenny membatasi atau enggak, tapi saya memang ogah aja. Aslinya saya lebih senang ada di belakang layar.”

“Hm... Gitu ya? Walaupun kita sendiri yang garap iklannya?” senyum Boss Lenny.

Tapi aku tetap menggeleng. Boss Lenny pun menyerah. Tak hendak memaksaku lebih lanjut.

Ketika aku keluar dari ruangan Boss Lenny, ada sebatang coklat dengan merk kesukaanku tergeletak di mejaku. Hanya ada Bara di cubicle-nya. Sedang mengetik sesuatu. Kuraih coklat itu sambil duduk di kursiku.

“Ini lu yang ngasih?”

Bara menoleh dengan tatapan bertanya. Kuacungkan coklat itu. Tapi dia menggeleng.

“Yussi tadi yang naruh di situ,” jawabnya kemudian.

Wuuuh... Aku ke-GR-an rupanya! Kukira Bara yang melakukannya.

“Oh...,” kubuka coklat itu, kemudian kusodorkan padanya. “Mau?”

Bara menggeleng.

“Yussi ke mana?” akhirnya kunikmati saja coklat itu sendirian.

“Ada janji sama klien.”

“Oh...”

Kuraih ponselku, bermaksud mengirim Whatsapp message ke Yussi, sekadar mengucapkan terima kasih. Tapi rupanya sudah ada pesan masuk darinya.

‘Sas, gue minta maaf soal semuanya. Kalo ada waktu, gue mau cerita banyak ke elu. Boleh?’
                   
Kubalas : ‘Sure! Kapan aja lu mau. Makasih coklatnya yaaa...’

Ketika kuletakkan kembali ponselku, Fajar sudah ada di cubicle-nya.

“Tar pulang, kita ke apartemen lu yak?” tembaknya langsung.

“Ngapain?” aku mengerutkan kening. “Kita? Siapa?”

“Bara sama gue. Yussi mau nyusul juga kayaknya. Stuck di sekuel iklan Multi Papan.”

“Oh... Ya udah, dateng aja.”

“Tar gue beliin makanan,” Fajar mengedipkan sebelah mata.

Aku tertawa renyah. Asal depot chinese food di lantai dasar blok apartemenku masih buka saja, maka urusan perut akan aman.

* * *

Aku buru-buru meloncat ke kamar mandi begitu sampai di apartemen. Tak lucu kalau mau ada tamu dua orang cowok ganteng tapi aku kondisinya asal-asalan. Selesai mandi, baru saja mau duduk manis sambil menyetel TV, bel berbunyi. Ketika pintu kubuka, Yussi tersenyum lebar di depanku.

“Hai!” sapanya dengan wajah ceria.

“Hai!” sambutku, tak kalah cerah, sambil membuka pintu lebar-lebar.

Yussi masuk sambil menenteng dua kantong plastik berisi kotak-kotak makanan. Langsung diletakkannya kantong-kantong itu di atas meja pantry-ku.

“Whoaaa...,” aku merem melek mencium aroma lezat yang menguar. “Marrtabaaak...”

“Hehehe...,” Yussi terkekeh sambil melepas sepatunya. “Tadi gue meeting sama klien di deket Alim. Gue sekalian aja mampir sono. Martabak manisnya gue beliin yang mini, biar dapet isian macem-macem. Eh, Sas, gue numpang mandi yak?”

“Ya udah, sono...”

Sambil menunggu Yussi selesai mandi, kuteruskan niatku menyetel TV. Tapi baru saja duduk lagi, bel pintuku kembali berbunyi. Mau tak mau aku kembali membuka pintu.

Ha! Betul juga! Kali ini dua cowok itu yang muncul. Terlihat segar dan sudah kembali wangi seperti tadi pagi.

“Gue udah pesen makanan,” Fajar melangkah masuk, diikuti Bara. “Tar dianter jam tujuh.”

“Kebeneran,” senyumku. “Yussi bawain martabak tadi.”

“Yussi udah dateng?”

Aku mengangguk. “Lagi mandi. Mau minum apa nih?”

“Udah...,” Fajar mengibaskan tangannya. “Nggak usah repot. Tar kita bisa ambil sendiri.”

“Oke deh!”

* * *

Setelah mengobrol lagi berempat sambil mengikmati martabak telur dan martabak manis, barulah terbuka bahwa ternyata Boss Multi Papan minta aku untuk jadi bintang iklan sekuel dari yang sudah jadi beberapa waktu lalu. Hadeeeh... Itu anak memang minta digetok kepalanya pakai ulekan batu. Bisa-bisanya tuh lho...

“Pokoknya gue ogah,” ucapku keras kepala.

Fajar menghembuskan napas panjang. Ditatapnya aku dengan putus asa. Sementara Bara memilih untuk duduk bersandar di sofa sambil memejamkan mata.

“Iya, tadi sebelum pulang Cik Lenny emang udah ngomong sama gue kalo lu udah nggak mau lagi jadi model iklan.”

“Tar deh, gue sendiri yang ngomong sama Driya.”

“Maksud kita juga gitu...,” Fajar meringis. “Kalo lu yang ngomong langsung sama dia kan enak. Secara lu sohib banget sama dia. Sekalian lu omongin alternatifnya.”

Segera saja aku meraih ponsel, mencoba menghubungi Driya. Pada nada sambung kedua, suaranya menyapaku.

“Ada apa, Yik? Kangen lu sama gue?”

“Kangen... kangen... Pala lu peyang,” gerutuku. “Lu tuh ya, bisa-bisanya minta gue jadi iklan buat perusahaan lu.”

Terdengar tawa menggelegar dari ujung sana.

“Pokoknya kagak aja! Gue nggak mau.”

“Ayolah, Yik... Dalam bayangan gue tuh, yang cocok bintangin iklan buat perusahaan gue cuma elu atau Luma Yan-ya.”

“Ya udah pake Luma Yan-ya aja. Tar gue hubungin dia. Kantor kita ada channel sama dia kok! Kalo Bang Togi yang urus bisa nego tarif.”

“Gitu ya? Eh, ngomong-ngomong, bukain gue pintu dong! Gue udah mau masuk lift apartemen lu nih!”

“Hah?” aku membelalakkan mata. “Lu udah di bawah?”

“Yoi. Ada makanan nggak? Laper gue...”

Alamaaak... Hilang sudah harapan untuk menikmati awal weekend yang tenang kali ini. Bisa dipastikan apartemenku akan meriah sampai malam.

Tak lama setelah Driya ikutan muncul dan selesai numpang mandi, makanan yang dipesan Fajar dari depot di lantai bawah datang. Untung Fajar pesan lumayan banyak. Cukuplah buat kami berlima.

“Sayang ya, Nina sama Gerdy nggak bisa ikutan ngumpul?” ucap Fajar dengan mulut penuh.

“Nah, sekarang mumpung kita masih jomblo, nikmatin aja acara ngumpul-ngumpul gini,” Yussi menimpali dengan wajah sumringah.

“Lho, Yussi masih jomblo ya?” Driya mencoba menggoda.

“Ng...,” wajah Yussi bersemu merah.

Fajar dan aku bertatapan sejenak, saling mengedipkan sebelah mata. Dalam obrolan selanjutnya, Driya akhirnya benar-benar setuju untuk memakai artis Luma Yan-ya untuk iklannya.

“Yah...,” Yussi mendesah kecewa. “Padahal gue sengaja beli martabak buat nyuap Sasi biar mau jadi bintang iklan kita...”

Semua terbahak.

“Tar gue bantuin klaim ke keuangan deh, biar dapet ganti,” celetuk Fajar.

“Hehehe...,” Yussi terkekeh. “Nggak usah diganti, nggak apa-apa, asal gue boleh nginep di sini malem ini.”

Aku tertawa sambil mengiyakan.

Buatku, suasana cair seperti ini sudah sangat menghiburku. Kembali menikmati suasana hangat persahabatan membuatku tak memikirkan hal yang lebih. Hanya satu yang agak mengganggu pikiranku.

Bara.

Walaupun berusaha untuk ikut larut dalam canda tapi kelihatan sekali kalau dia saat ini jauh lebih pendiam daripada biasanya. Ingin aku bertanya, tapi berkali-kali aku harus menahan ucapan yang sudah ada di ujung lidahku. Entah kenapa.

Maka diam-diam aku menyisih ke dapur sambil membawa piring dan sendok kotor. Seperti biasa, Driya dengan sigap membersihkan meja. Kemudian kubuat semug teh blackcurrant untuk diriku sendiri. Lalu kubuka pintu yang menghubungkan pantry dengan balkon. Hembusan udara menerpaku sesaat.

Kunikmati sedikit-sedikit tehku, sambil berusaha membebaskan diriku dari segala rasa sesak. Entah sesak karena apa. Kuhela napas panjang.

“Sas, kenapa?”

Aku menoleh. Fajar menatapku sambil meletakkan gelas-gelas bekas pakai di tempat cuci piring. Aku menggeleng. Fajar kemudian mendekatiku. Diraihnya mug dari tanganku. Tanpa segan dia kemudian meneguk isinya.

“Bara mau nginep di tempat gue malem ini,” ucap Fajar. “Kemaleman kalo harus pulang ke kostnya. Masalah lu sama Yussi udah beres. Tinggal soal gue sama Bara.”

Aku mengangguk.

“Kalo emang lu merasa kalah, lu inget kalo masih punya temen senasib di sini,” aku mencoba tersenyum.

Fajar tertawa.

Malam sudah agak larut ketika kami berencana membubarkan diri. Driya memutuskan untuk sekalian saja menginap di apartemen Fajar. Hampir tengah malam, baru aku bisa merebahkan diri di atas ranjang. Bersama Yussi.

Dan kami bicara banyak malam ini.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : CUBICLE #18

8 komentar:

  1. Menunggu itu melelahkan Mbak. Mbok ditayangin minggu aja to, jangan senin#mekso

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya emang menunggu itu melelahkan #eh *apa sih nih* =D

      Hapus
    2. Lho... sambungannya udah tayang ini... Langsung tubruk aja... Hihihi...
      Makasih mampirnya, Mbak-Mbak cantik...

      Hapus
  2. Menurut Dale Carnagie kita bisa tahu apakah seorang pengarang menyukai hubungan dengan orang lain melalui karangannya. Karangan Mbak lis selalu mencerminkan persahabatan dan hubungan yang manis, tentunya dalam dunia nyata Mbak Lis adalah sosok yang bersahabat dan mudah bergaul. Gak sabar menunggu lanjutannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jiaaah... ada analisanyaaa... Hehehe... jadi maluuu...
      Makasih mampirnya, Bu Fabina. Episode terbaru sudah tayang, selamat menikmati. Semoga tidak mengecewakan.

      Hapus
  3. Hiks Bara, kenapa kamu diam saja?

    BalasHapus