Senin, 05 Oktober 2015

[Cerbung] CUBICLE #18





Kisah sebelumnya : CUBICLE #17


* * *


Delapan Belas


Yussi tengkurap di atas ranjangku. Kepalanya menyangkut di atas guling. Menoleh ke arahku.

“Baru sekarang-sekarang ini gue ngerasain kayak gini,” gumamnya.

“Ngerasain apa?” kuhempaskan punggungku ke atas ranjang.

“Kacaunya perasaan gue.”

Aku menaikkan alis. “Driya?”

Yussi mengangguk. Malu-malu. Aku tersenyum lebar.

“Gue sih udah lama,” akhirnya aku mengakui sesuatu. “Cuma gue ngumpet di balik profesionalisme.”

“Siapa?” Yussi mengangkat kepalanya.

“Lu taulah...”

“Bara?” Yussi menegaskan.

Aku mengangguk. Yussi menghela napas panjang.

“Bara tuh ya...,” desahnya. “Gue udah pernah ngomong sama dia. Soal elu. Dia bilang, masak sih, Sasi nggak ngerasa? Ya gue bilang lagi, perlu dinyatain pakai kata-kata. Gue pikir udah beres. Nggak taunya...,” Yussi mengangkat bahu. “Malah jadi deket sama Mita.”

“Ya baguslah kalo dia belum  ngomong apa-apa sama gue,” aku mencoba tersenyum, menutupi rasa kecewaku. “Kalo udah terlanjur ngomong, terus dia baru kenal Mita, terus gue ditinggalin gitu aja gara-gara Mita, kan karir gue bisa ikutan bubar jalan.”

“Seprofesional apapun elu, pasti kepengaruh,” gumam Yussi.

“Ya iyalah,” kuhembuskan napas panjang.

“Eh, Sas...”

“Hm...”

“Itu Driya beneran...,” Yussi menggantung kalimatnya, tapi aku tetap bisa memahami.

“Iya, dia pernah nanyain elu. Cuma dia pernah bilang juga kalo mau nunggu setaunan istrinya buat mulai lagi yang serius. Gue pikir, kalo emang kalian berdua bisa PDKT dulu, ya udah lakuin aja.”

“Lu tau istrinya dulu kayak apa?”

Aku menggeleng. “Gue tau dia udah married pas ketemu pertama itu. Belum juga kenal, udah keburu orangnya nggak ada. Tapi Driya pernah cerita kalo istrinya masih muda. Fresh graduate. Baru umur 23-24.”

“Hm...,” Yussi menggigit bibir bawahnya. “Susah kali ya, masuk ke bayang-bayang orang yang udah nggak ada?”

“Semoga aja enggak, Yus,” aku memeluk guling. “Dari caranya dulu waktu masih kecil dia selalu ngelindungin gue, gue tau dia orangnya dewasa. Semoga sedewasa itu juga dia memperlakukan lu dan masa depannya bersama lu.”

“Ouh...,” Yussi mengusap matanya. “Napa gue jadi terharu gini sih?”

Aku terkekeh ringan mendengar ucapannya.

“Soal lu sama Bara, gue turut prihatin ya, Sas...,” ucapan Yussi terdengar tulus di telingaku. “Tapi kalo lu jadi deket sama Fajar gara-gara itu, coba deh, lu pikir-pikir lagi.”

“Gue sih nggak ada apa-apa sama Fajar, Yus. Nggak pernah mau jadiin Fajar sebagai pelarian doang. Lagian imannya udah lain. Gue kan kudu mikir itu juga. Dia juga kayak gitu kok ke gue. Murni sohiban aja. Malah udah kayak sodara karena tinggalnya juga deketan.”

“Lega dengernya,” senyum Yussi. “Sebagai sohib, gue harap lu, Fajar, Bara, dapet yang terbaik.”

“Makasih banget...,” ucapku sambil menguap. “Tidur, Yus. Gue ngantuk. Tapi kalo lu masih mau ngelamunin Driya, silakaaan...”

Yussi tertawa mendengar ucapanku. Tapi dia segera memperbaiki posisi tidurnya. Siap untuk tenggelam dalam mimpi indah soal Driya.

* * *

Pagi ini kusingkap tirai pantry-ku. Dia sudah ada di sana. Menjalani rutinitas hari Sabtu pagi seperti biasanya.

“Pemandangan indah...”

Aku terjingkat mendengar suara itu di belakangku. Aku menoleh dan mendapati Yussi tengah melongokkan kepalanya ke arah yang sama.

“Yang mana yang indah?” aku nyengir. “Yang di tengah lapangan apa yang duduk-duduk di pinggiran itu?”

Yussi tergelak. “Yang di pinggirlah... Yang badannya tinggi gede ituuu...”

Aku terbahak. Sedetik kemudian Yussi menatapku.

“Lu mau bubur ayam, Sas?”

Aku melongok ke bawah. Saat itu kutemukan Pak Sarimin sudah mangkal di tepi lapangan.

“Whoaaa... Pak Min udah dagang lagi!” seruku antusias. “Beberapa minggu ini dia libur. Mudik. Enak tuh bubur ayamnya. Ala Bangka gitu...”

“Oh... itu yang pernah dibilang Fajar yak?”

“He eh. Yuk, turun!”

“Nggak mandi dulu?” Yussi beranjak dari depan jendela. “Gue baru cuci muka sama sikat gigi doang.”

“Sama...,” aku menggamit lengannya. “Keburu abis buburnya kalo kita mandi dulu.”

Yussi pun menuruti ucapanku. Tak berapa lama kami sudah turun melalui lift. Aku pun sempat say hello dengan beberapa tetangga yang kukenal dan hendak turun juga.

* * *

Senyum lebar Fajar dan Driya segera menyambut begitu Yussi dan aku muncul di tepi lapangan. Kudorong pelan bahu Yussi sehingga dia terduduk tepat di sebelah Driya. Aku sendiri segera menarik tangan Fajar.

“Temenin pesen buryam, Jar,” ucapku.

“Kebeneran, gue juga belum sarapan,” Fajar nyengir lebar.

Dengan sabar Fajar dan aku kemudian mengantri bubur ayam Pak Sarimin. Fajar menyuruhku duduk di sebuah kursi bakso yang masih kosong, sementara dia sendiri berdiri di sebelahku.

“Berapa, Mbak Sasi?” tanya Pak Min.

“Lima, Pak. Yang lengkap ya?”

Ternyata pesananku masuk ke kloter racikan berikutnya. Aku mendongak ke arah Fajar.

“Gimana semalem?”

Fajar menggeleng sambil mengangkat bahu. “Malah Driya asyik ngomongin masa lalunya sama elu.”

Hadeeeh... Anak itu...

“Harusnya lu setop aja omongannya,” gerutuku.

“Hehehe...,” Fajar terkekeh. “Ngapain disetop? Asyik aja dengerinnya. Apalagi pas dia cerita kejadian lu naik pohon jambu, lu nggak sengaja pegang ulat gede, terus dia ketiban lu yang jatuh gara-gara kaget.”

Astagaaa... Itu juga diceritain? Memalukan!

“Abis itu gue udah nggak ngikutin lagi,” lanjut Fajar. “Keburu molor duluan.”

Aku menatap ke tengah lapangan. Matahari yang mulai tinggi tak menyurutkan semangat Bara untuk melatih regu satpam itu. Dia selalu serius saat melatih karate seperti ini. Perhatiannya jarang beralih ke mana-mana. Pun kepadaku. Langsung saja kutepis pikiran itu. Memangnya siapa elu, Sas?

Gara-gara menatap Bara sambil melamun, aku jadi terlambat membuka dompetku. Fajar sudah menyelesaikan pembayaran ketika akhirnya dia menyenggolku.

“Yah, jadi elu yang bayarin,” ucapku sambil mengekor langkahnya.

“Nyantai aja,” Fajar melangkah hati-hati sambil membawa nampan berisi lima mangkok bubur ayam. “Tar lu aja yang beli minumannya.”

“Ya udah, gue beli minuman dulu,” aku langsung melangkah ke sudut lain lapangan, tempat sebuah kedai minuman berdiri.

Sebentar kemudian aku sudah kembali dengan membawa sekantong plastik berisi lima teh madu-lemon dalam kemasan botol plastik, dan tiga botol air mineral. Bara sudah bergabung bersama rombongan penikmat bubur ayam ketika aku kembali. Wajahnya tampak dibasahi keringat.

“Keliatannya enak juga ya, tinggal di apartemen sini?” Bara melap keringatnya dengan sehelai handuk kecil sambil meneguk air mineral yang kusodorkan padanya.

“Lu sih, dulu gue tawarin nggak mau,” ujar Fajar.

“Lha waktu itu keduluan gue nyicil mobil, Jar. Lu sih enak, mobil dapet lorotan dari abang lu.”

“Hehehe... Iya sih... Eh, lu nginep lagi aja tar malem, Bar,” celetuk Fajar. “Besok ke gerejanya sekalian bareng Sasi. Terus kita berangkat ke ultahnya Rira bareng-bareng.”

“Wooo... Takut ada perang tar, Jar,” sahutku cepat.

“Perang apaan?” Bara menoleh sekilas.

“Perang sama cewek lu,” aku meringis. “Gue nggak ngapa-ngapain aja cewek lu udah kayak mau nelen gue gitu kalo ketemu.”

“Cewek gue yang mana?” Bara mengangkat alisnya.

“Mita.”

Bara seketika menghentikan suapan demi suapan bubur ayam ke mulutnya. Ditatapnya aku. Lurus. Tajam. Dalam.

“Soalnya dia cemburu sama lu,” ucapnya lugas.

“Lha, makanya... Apalagi...”

“Karena lu belakangan ini makin deket sama Fajar,” Bara memotong ucapanku.

Seketika suasana hening. Aku dan Bara bertatapan. Jujur, aku kaget mendengar ucapannya. Ketika aku tersadar, segera kubuka mulutku.

“Kok jadi nyerempet gue sama Fajar? Dari dulu juga gue udah deket sama Fajar,” terdengar nada bantahan dari mulutku.

“Tapi nggak sedeket belakangan ini,” ucapan Bara masih terdengar lugas.

“Nggak sedeket belakangan ini gimana?” suaraku mulai naik. “Dari jaman kuliah juga gue udah sohiban sama Fajar. Satu kampus. Satu jurusan. Satu angkatan. Ngekost juga tetanggaan. Sekarang juga apartemennya sebelahan blok.”

“Lu ngomongin orang kayak orangnya nggak ada aja di deket lu,” terdengar suara Fajar, menyeletuk kemudian.

Aku mengikuti arah tatapan Bara, berpindah pada Fajar. Fajar tampak menatap Bara.

“Gue belakangan ini emang lebih banyak curhat sama Sasi,” ucap Fajar serius. “Karena gue anggep dia lebih ngerti apa yang ada di pikiran gue. Lebih ngerti apa yang gue rasain. Dan satu hal yang perlu lu tau, Bar, gue masih ngehormatin persahabatan kita. Gue segen kompetisi sama lu, sohib gue sendiri.”

“Kompetisi apaan?” Bara mengerutkan keningnya.

“Mita.”

Bara meletakkan mangkoknya yang masih berisi separuh.

“Gue sama Mita?” Bara menyipitkan matanya. “Gue nggak ada apa-apa sama Mita.”

Fajar masih menatap Bara. Terlihat tak percaya.

“Selama ini Mita banyak curhat ke gue. Dia merasa sulit masuk ke keakraban di geng sarap. Kita kayak punya lingkaran sendiri yang nggak bisa ditembus. Dia segen mau curhat sama bossnya,” Bara menatap Driya sekilas, “karena si Boss sikapnya terlalu formal dan profesional. Dan Mita sebenernya tertarik sama lu, Jar. Tapi lu anteng-anteng aja. Dia jadi bingung gimana harus bersikap.”

Aku tercenung mendengar ucapan panjang-lebar Bara. Ada perasaan ingin membantah mengingat bagaimana sikap Mita sendiri padaku dan mungkin pada teman-temanku yang lain. Tapi rupanya aku tidak sendirian.

“Gini deh, ya...,” ucap Yussi. “Gue sebenernya nggak tertarik soal siapa naksir siapa, siapa cemburu ke siapa. Tapi gue sendiri liat, Mita itu nggak ramah sama kita. Gue pernah ketemu di basement Daha. Udah gue senyumin, tapi dia manyun aja. Selanjutnya, ya ogah dong, gue senyumin dia lagi.”

Pengalaman yang sama persis! Hanya saja lokasinya berbeda. Tapi aku sedang tidak ingin memperuncing suasana.

“Oke,” Bara mengangguk. “Tar gue bilangin dia soal perbaikan sikap. Atau mungkin sebaiknya lu aja, Jar.”

Fajar terlihat hendak membantah, tapi ucapan Bara membungkamnya, “Yussi pernah bilang, cinta itu perlu dinyatakan. Lu ngomong sama Mita. Biar semuanya clear.”

Aku nyaris saja mendengus mendengar ucapan Bara. Gampang ya, nasehatin orang lain? Sendirinya? Huh!

“Dan Sasi,” Bara mengalihkan tatapannya padaku. “Gue mau minta maaf sama elu. Selama ini gue bodoh udah gantungin perasaan gue sendiri. Perasaan gue ke elu. Gue cinta elu, Sas. Udah lama. Dan bakal kayak gitu selamanya.”

Aku terbengong. Apa dia bilang? APA DIA BILANG???

PRANG!

Aku tersentak kaget. Kulihat ke bawah kakiku. Mangkok bubur ayam Pak Min pecah satu. Terlepas begitu saja dari tanganku.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Cubicle #19

13 komentar:

  1. good post mba, mantap dan seru nih !

    BalasHapus
  2. Nyatain rasa ga as a romantic nya su bara hufft

    BalasHapus
  3. hahaha cinta segi enam di tempat yg tepat...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Ya gitu dweh, Fris Makasih singgahnya ya...

      Hapus
  4. asyiiiiiikkkk, nyatainnya di depan temen temeennyaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Butuh keberanian lebih tuh! Hehehe...
      Makasih mampirnya, Mbak Dilla...

      Hapus
  5. ganti mangkok satu gak apa apa...yang penting udah tahu perasan Bara...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wakakak... Pak Min kan baik hati sama pelanggan setia...
      Makasih mampirnya, Mbak Bekti...

      Hapus
  6. Prang....!!!!
    Lha aku kaget, kok udah selesai sih? Kelamaaaan nunggu rabu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wakakak... Besok udah Rabu, Mbak Muti... Hari ini tak'kasih bonus cerpen.
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  7. Waaaah kok jadinya Sasi suka Bara yaaa..? aduuuh Driya beneran suka Yussi.

    BalasHapus