Senin, 19 Oktober 2015

[Cerbung] Ruang Ketiga #1







Prolog


Adalah kau
Adalah aku
Adalah mereka
Berdiam di ruang pertama

Adalah sebuah masa
Termangu tergeletak
Menyimpan jalinan waktu lalu
Layaknya kotak pandora
Berdiam di ruang kedua

Dan ruang ketiga
Adalah kita
Di bawah atap yang sama
Di atas ranjang yang sama
Di dalam kehidupan yang sama
Dengan hati yang berbeda


* * *


Satu


Akhirnya semuanya selesai...

Dahlia terduduk letih di sebuah sudut ruang duduk.

Setidaknya untuk tujuh hari pertama...

Sebuah gelas berisi teh hangat terulur di depannya. Dahlia mendongak, tersenyum, dan mengucapkan terima kasih. Swandito mengangguk dan duduk di sebelahnya. Pelan, ia mulai meneguk teh hangat yang sama dari gelas lain yang dipegangnya.

“Capek?” tanya Swandito dengan suara rendah.

Dahlia mengangguk, tak mau berbohong.

“Terima kasih, Jeng,” bisik Swandito, “untuk semuanya.”

Suwargi1) Ibu itu ibuku juga, Mas,” tukas Dahlia halus. “Lagipula semuanya sudah berlalu.”

Swandito menghenyakkan punggungnya ke sandaran kursi. Baru sekarang terasa letihnya. Pada hari ketujuh sejak wafat dan dimakamkannya Raden Nganten Wulansari Rumekso.

Tak pelak semburat kesedihan itu masih tersisa banyak dalam hati Swandito. Bagaimanapun darahnya berasal dari darah perempuan itu. Ibunya. Ibu kandungnya. Walau perempuan itu pernah menorehkan garis hitam dalam nama agung keluarga mereka (baca : Garis Hitam Darah Biru – Lizz). Tapi semuanya sudah berakhir. Kotak sudah ditutup dengan berpulangnya Wulansari Rumekso.

Tapi di balik kesedihan itu terselip kelegaan luar biasa. Bahwa kepergian ibunya itu bisa berarti bahwa acara pernikahan pamungkas dalam keluarga mertuanya tak bakal terganggu. Setidaknya, kini ia bisa ikut mempersiapkannya tanpa pecah konsentrasi lagi, hingga acara itu berlangsung dua minggu yang akan datang.

Sudah tiga tahun berjalan...

Swandito menghela napas pelan sambil berdiri.

Sudah tiga tahun menapaki kehidupan bersamanya...

Diulurkannya tangan pada Dahlia.

“Ayo pulang, Jeng,” ucapnya, dengan kelembutan yang selalu sama.

Dahlia mendongak sekejap, kemudian meletakkan gelas tehnya yang sudah kosong ke meja terdekat.

“Belum selesai bersih-bersihnya, Mas,” ia mengingatkan.

Ndak apa-apa,” Swandito menggeleng. “Banyak orang di sini. Tadi Mbakyu sudah menyuruhku membawa panjenengan2) pulang.”

Dahlia akhirnya menyerah. Setelah pamit pada kakak tertua Swandito yang kini berperan sebagai nyonya rumah, ia pun mengikuti Swandito melangkah keluar.

Seperti biasa, Swandito membuka pintu kiri depan mobil untuk Dahlia, memastikan bahwa Dahlia sudah duduk nyaman, baru ia menutup pintu dan memutar ke sisi satunya. Selalu begitu. Sikap yang membuat setiap perempuan bisa jadi segera jatuh cinta pada Swandito.

Sayangnya...

Dahlia mencoba untuk tidak tersenyum pahit.

“Besok jadi aku yang menjemput Seruni?”

Dahlia sedikit tersentak sebelum menoleh ke samping kanan. Wajah Swandito tampak serius ketika sedang melajukan mobilnya seperti ini.

“Aku lupa bilang,” desah Dahlia. “Tadi pagi Romo3) meneleponku, minta tolong besok panjenengan jemput Romo dulu sebelum ke bandara. Romo mau ikut.”

“Oh...,” gumam Swandito. “Oke... Oh ya, aku tadi cuma makan sedikit. Sekarang lapar lagi. Mampir makan dulu ya?”

Dahlia tertawa ringan. Tanpa berpikir lagi, ia pun menyetujui ucapan Swandito.

* * *

Tanpa sadar Dahlia menatap wajah Swandito lekat-lekat. Laki-laki itu sedikit tertunduk karena asyik melihat-lihat buku menu. Dan seolah merasa ada sesuatu yang mengusiknya, tiba-tiba saja Swandito mengangkat wajahnya. Tatapan mereka bertemu, dan seketika Dahlia tersipu. Swandito tersenyum.

“Ada apa?”

Dahlia buru-buru menggeleng dan mengalihkan tatapannya ke arah lain. Hanya saja ia merasa bahwa Swandito masih menatapnya. Sebetulnya apa yang aneh? Bukankah mereka suami-istri? Tapi...

Hubungan di atas kertas yang salah...

Mata Dahlia mengerjap. Berusaha menyingkirkan ribuan kalimat yang dimulai dengan kata ‘seandainya’ dari dalam kepalanya. Ribuan kalimat yang terkadang membuatnya kelelahan.

Tapi semuanya adalah pilihanmu sendiri, bukan?

Dahlia hanya sanggup mengangguk semu ketika nuraninya berbisik.

Pilihan..., ia membenarkan, ... yang sama sekali tak patut untuk disesali.

Terdengar dengungan di telinga Dahlia. Ia tersentak dan menatap Swandito. Sepertinya laki-laki itu baru mengucapkan sesuatu.

“Ya?” ada nada bersalah yang pekat dalam suara Dahlia. “Mas baru saja bicara apa?”

Swandito menghela napas sebelum mengulangi kalimatnya dengan nada sabar, “Apakah aku salah kalau merasa ada beban yang terangkat dari hidupku setelah kepergian Ibu?”

Dahlia tercenung. Dan waktu seolah berpihak padanya karena terulur sejenak dengan kedatangan pramusaji yang membawakan minuman dan makanan pesanan mereka.

“Silakan, Pak, Bu,” ucap pramusaji itu sopan setelah tugasnya selesai.

Dahlia dan Swandito pun mengucapkan terima kasih bersamaan. Sejenak kemudian Dahlia kembali ke dunianya semula. Ditatapnya Swandito.

“Kalau aku jawab tidak, apakah ada artinya?” Dahlia mengulas senyum tipis.

Swandito tertegun sejenak. Dan ia seolah terseret masuk ke dalam bening mata Dahlia.

“Banyak,” gumamnya kemudian, setengah sadar. “Besar sekali artinya buatku.”

Dahlia dengan halus lebih mendekatkan lagi piring berisi nasi goreng kambing pedas itu ke depan Swandito. “Makan dulu... Kalau sudah kenyang, kita bisa berpikir lebih enak.”

Mau tak mau Swandito tersenyum. Dahlia betul. Selalu betul.

* * *

Dahlia menyusupkan tubuhnya di bawah selimut. Sedikit demi sedikit penat yang dirasakannya seharian tadi menguap dan hilang. Yang tertinggal hanya kenyamanan yang terasa hangat di punggungnya. Swandito bergeser sedikit di sebelahnya. Menjauh. Memberi Dahlia ruang yang lebih luas.

“Sudah mengantuk?” Swandito meletakkan ponselnya di atas nakas.

Dahlia menggeleng. “Tadi ngobrolnya belum selesai.”

“Hm...,” Swandito berpikir sejenak. “Jadi ndak salah ya?”

Ndak... Ndak salah,” Dahlia kembali menggeleng. “Hanya saja alasannya apa dulu? Kenapa bisa ada beban itu?”

“Entahlah,” gumam Swandito. “Aku hanya merasa banyak keinginan suwargi Ibu yang membebaniku.”

“Termasuk tentang kita?”

Swandito menoleh seketika. Dahlia tengah menatapnya. Dalam. Seketika Swandito tersadar.

“Bukan!” bantahnya. “Bukan itu. Bukan tentang kita. Entahlah,” Swandito menggeleng. “Hanya saja ada perasaan lega karena Ibu sudah ndak ada lagi. Sepertinya aku benar-benar bebas sekarang. Ndak terbebani lagi dengan banyak keinginan yang mungkin aku ndak bisa memenuhinya sesuai keinginan Ibu. Hanya ada perasaan lega. Lepas.”

Dahlia berusaha untuk memahaminya. Sedikit banyak, sebetulnya ia pun merasakan hal yang sama.

“Apa itu bentuk sikap durhaka?”

“Sepertinya bukan,” jawab Dahlia cepat. “Mekanisme durhaka sepertinya ndak sesederhana itu. Aku tahu panjenengan masih tetap ngajeni4) Ibu, menyayangi Ibu.”

“Jadi memang aku harus menikmati rasa lega itu begitu saja?”

“Sebaiknya begitu,” senyum Dahlia. “Supaya ndak menambah beban baru yang ndak perlu.”

“Baiklah...,” Swandito akhirnya menyerah, balas tersenyum.

“Menikmati hidup,” gumam Dahlia sambil menguap dan mulai memejamkan mata. “Seperti biasanya.”

Menikmati hidup, seperti biasanya...

Swandito mengulang kalimat itu dalam hati sembari menatap wajah Dahlia. Terlihat ada gurat kelelahan, tapi tetap menyisakan damai. Damai yang selalu menyejukkan hati dan membuat Swandito nyaman.

Tapi belum bisa lebih.

Mendadak ada kesedihan yang meyakitkan hati Swandito. Rasa sakit yang muncul karena ada keinginan yang tak juga bisa terwujud. Keinginan untuk membuat Dahlia lebih bahagia lagi. Terkadang membuatnya frustrasi. Tapi semua resah itu selalu menghilang setiap kali menatap wajah Dahlia. Lalu semua rasa berputar lagi, berputar terus, dan ia seolah makin terperangkap dalam lingkaran setan itu.

Dan satu-satunya tempat untuk melepaskan diri sejenak dari kekisruhan hati itu hanyalah saat-saat seperti ini. Berada di samping Dahlia yang mulai terlelap. Kedamaian yang selalu menulari hatinya. Hingga ia pun mulai memejamkan mata.

* * *

“Aku berangkat dulu ya?” dengan ringan Swandito mencium kepala Dahlia, sekaligus menghirup aroma wangi yang selalu membuatnya seolah mendapat semangat lebih setiap harinya.

“Jangan lupa jemput Romo ya, Mas...”

“Iya. Sampai ketemu di rumah Romo!”

Dahlia membalas lambaian tangan Swandito. Mengantar kepergian Swandito dengan senyum teduhnya.

Sepeninggal Swandito, Dahlia segera bersiap diri untuk berangkat ke tempat usahanya. Hari ini ada janji dengan seorang pelanggan setia salonnya, seorang kerabat dekat keraton, yang ingin hanya Dahlia yang menanganinya langsung.

Ketika Dahlia sudah duduk dengan manis di dalam mobil, Karsiman – sopir pribadinya yang setia – segera melajukan mobil itu meninggalkan rumah. Rumah yang dibeli Swandito sebagai hadiah pernikahan mereka tiga tahun yang lalu. Rumah yang selalu nyaman dan hangat...

... walaupun belum bisa lebih...

Dahlia melemparkan tatapannya ke luar jendela. Sinar mentari pagi terasa sedikit hangat menyapa kulit wajahnya. Menimbulkan sensasi nyaman yang menenangkan. Membuatnya selalu bersyukur bahwa ia masih boleh menikmati hangatnya sinar mentari itu hingga detik ini.

Tak lama kemudian Karsiman sudah membelokkan mobil ke halaman luas sebuah salon. Sudah ada beberapa motor yang terparkir di samping salon, dan Karsiman pun mengarahkan mobilnya ke dekat parkir khusus pegawai itu setelah menurunkan Dahlia tepat di depan lobi salon.

Sambil melangkah cepat, Dahlia membalas semua sapaan para pegawainya yang sudah siap bekerja. Dan senyumnya mengembang lebar ketika menemukan vas besar di meja kerjanya telah penuh terisi puluhan batang mawar merah segar.

“Tadi Bapak ke sini sebelum buru-buru pergi,” celetuk Santini sambil meletakkan segelas besar air putih di atas meja kerja Dahlia. Tatapannya diarahkan pada batang-bantang mawar itu.

Ah, Mas Swan...

Dahlia berusaha meredakan debar dalam dadanya.

“Oh ya, Bu...”

Dahlia mengalihkan tatapannya pada Santini.

“Tadi Jeng Dian telepon, baru bisa ke sini jam sepuluh.”

“Aduh...,” Dahlia mendesah. “Padahal Seruni datang hari ini.”

“Oh...,” alis Santini terangkat. “Mbak Runi sudah mau dipingit?”

Dahlia tergelak seketika. “Itu juga kita merayunya ndak kurang-kurang.”

Santini ikut tertawa. “Mbak Runi memang pemberontak.”

“Ya,” tawa Dahlia meredup, berganti dengan senyum tipis. “Tapi dia tetap ngajeni adat. Itu yang aku salut darinya.”

Santini kemudian pamit keluar. Dahlia masih memanjakan mata dengan menatap mawar-mawar merah itu dan memenuhi dada dengan keharuman lembut yang ditebarkannya. Semuanya terasa sudah pas pada tempatnya. Dengan mengabaikan hal-hal yang memang belum bisa diubah.

Tapi semua itu tak berlangsung lama. Pintu kantornya terketuk dari luar. Kepala Maya kemudian tersembul.

“Bu, ada customer yang sepertinya harus ditangani sendiri sama Ibu.”

“Kenapa?” Dahlia mengerutkan keningnya sambil berdiri.

“Masih anak-anak. Biasanya kan Ibu sendiri yang menangani customer anak-anak.”

“Oh... Oke!” Dahlia melangkah keluar dari kantornya.

Ia mengembangkan senyum hangat ketika melihat seorang gadis kecil sudah duduk manis di atas kursi di depan sebuah cermin besar.

“Halo, cantik!” sapanya hangat.

Gadis kecil itu menatap Dahlia dengan mata bulatnya melalui cermin. Tak ada mimik wajah penolakan. Hanya... Dahlia kembali tersenyum.

“Namanya siapa?”

“Dahlia.”

Seketika mata Dahlia melebar, dipenuhi antusiasme. “Lho! Kok nama kita sama?”

“Oh ya?” perlahan mata bulat itu dipenuhi binar.

“Iya,” suara Dahlia terdengar meyakinkan. “Hm... Dahlia mau dikeramas dulu? Biar Tante nanti gampang potong rambutnya Dahlia.”

Seketika kepala kecil itu mengangguk. Dahlia pun menggiring Dahlia kecil ke area cuci rambut. Dahlia menangani customer muda yang mendadak terasa istimewa itu dengan telaten. Dilayaninya obrolan ringan yang menggelitik telinganya. Dan Dahlia kecil itu sungguh gadis yang cerdas di usianya yang baru enam tahun.

“Aku mau kalau nanti sudah besar cantik kayak Tante,” celetuk Dahlia kecil.

“Oh ya?” Dahlia terlihat antusias. “Dahlia cantik kok! Mamanya pasti cantik ya?”

“Ibu?” wajah Dahlia kecil mendadak murung. “Iya, Ibu cantik. Hanya saja Ibu sudah nggak ada.”

“Oh...,” Dahlia sempat kehilangan kata. Dengan lembut dibungkusnya rambut panjang Dahlia kecil yang sudah selesai dikeramas dengan sehelai handuk yang harum. “Dahlia ke sini sama siapa?”

“Ayah.”

Dahlia kecil kembali duduk dengan manis di atas kursi yang tadi. Dahlia menatapnya melalui cermin.

“Sekarang, Dahlia mau dipotong model apa rambutnya?”

“Mm...,” gadis kecil itu ragu sejenak sebelum suaranya nyaring bergema. “Ayah! Rambut Lili mau diapain nih?”

Dan ketika laki-laki yang dipanggil ‘ayah’ itu mendekat, jantung Dahlia seolah berhenti berdetak. Ia hanya bisa menatap melalui cermin tanpa mampu bersuara.

“Pendek saja, biar enak merawatnya.”

Suara itu masih tetap sama. Terdengar lembut bergulung masuk ke dalam telinga Dahlia. Membuatnya hampir lupa bernapas. Tanpa permisi, sosok laki-laki itu langsung memenuhi otak dan seluruh aliran darah dalam tubuh Dahlia. Menimbulkan denyar-denyar yang terus meliar dan nyaris tak terkendali.

“Dahlia?”

Sosok itu menatap Dahlia dengan kening berkerut. Lalu mata mereka bertemu seolah menembus cermin. Saling menatap lekat.

“Apa kabar...,” susah payah Dahlia membisikkan kata-kata itu, “..., Mas Rengga?”

* * *

Bersambung ke episode berikutnya :  Ruang Ketiga #2


Catatan :

1. Suwargi = almarhumah / almarhum
2. Panjenengan = anda (untuk orang yang lebih tua, lebih dihormati)
3. Romo = ayah ; bapak
4. Ngajeni = menghargai ; menghormati

16 komentar:

  1. Kadang kalau merasa lega karena ortu berpulang itu kayak salah ya mbak? Tapi, yah.... Ngga sabar nunggu kamis. Salamin mbak cantik dulu. I love you.

    BalasHapus
  2. Ehhhh, mas rengga? siapa ya mas rengga? hehehe
    Nunggu kamis yah tan? yasud, sabar menunggu :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ka ada ceritanya di link... ;)
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  3. Lagi ngebayangin...betapa tersiksanya tinggal serumah dengan orang yg tidak kita cintai

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benarkah tersiksa? *teka-teki*
      Makasih kunjungannya, Bu...

      Hapus
  4. Wah bosone alus ki buu.. :-P untung sitik2 aku isik ngudeng :-P
    Rengga mantan Dahliayo buu? hahaha.. eikee sotoy deeh ahhh :-D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada terjemahan untuk kata-kata yang 'nggak umum', Mbak... Soal Rengga, silakan klik link cerita terdahulu.
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  5. waah ..terasa banget..klo yang nulis....sungguh-sungguh luar biasa...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduuuh... apa iya sih, Mbak??? *krukupan anduk*
      Makasih mampirnya ya, Mbak...

      Hapus
  6. ...sudah lama nggak mampir ke rumahnya Mbak Lis, semoga belum terlambat ngikutin cerita ini :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih, Mas... Belum terlambat, masih episode ketiga tayang hari ini.

      Hapus