Kamis, 01 Oktober 2015

[Cerpen] You Are Me, I Am You*







Addo menggeleng, dan Alin langsung menatap abang iparnya itu dengan putus asa. Addo kembali menekuni helai-helai kertas yang terbundel rapi dalam sebuah map.

“Hasil lab bagus, Lin,” ucap Addo. “Semuanya. Tanpa terkecuali.”

Alin menoleh ke arah Danet yang masih terbaring lemas di atas tempat periksa. Danet pun balas menatap Alin dengan sorot mata sayu.

“Terus Mas Danet kenapa dong, Mas?” airmata Alin hampir runtuh karenanya.

Kekhawatiran bertumpuk di hatinya. Sudah hampir dua minggu ini kesehatan Danet menurun drastis. Selalu pusing, mual, dan kehilangan nafsu makan. Bahkan semua makanan yang berhasil masuk tak akan bertahan lama berada dalam perut karena pasti keluar lagi. Yang bisa membuatnya bertahan hanyalah susu khusus bergizi lengkap yang terpaksa dicekokkan Alin pada Danet. Itu pun Danet setengah mati menahan diri agar tidak mengeluarkannya lagi.

Awalnya Alin menduga gangguan lambung Danet kambuh. Tapi ternyata berapapun obat maag yang diminum Danet tak membuat kondisinya membaik. Dua kali konsultasi dengan Addo, seorang dokter spesialis penyakit dalam, tak membawa hasil.

Addo tak menemukan hal aneh dalam tubuh Danet. Kalaupun ada yang kurang bagus, itu adalah tekanan darahnya yang sedikit di bawah normal dan kondisinya yang lemas. Itu jelas-jelas karena tubuhnya kurang asupan makanan bergizi. Hasil lab pun menunjukkan bahwa Danet baik-baik saja.

Seminggu pertama, Danet masih bisa berangkat ke kantor untuk bekerja. Tapi pada awal minggu kedua, ia menyerah. Hingga hari ini, sudah empat hari ia beristirahat di rumah. Dan sore ini, Alin kembali membawanya ke rumah sakit tempat Addo praktek.

“Lin, Danet dirawat saja ya?” ucap Addo halus. “Nanti aku observasi lagi. Kurang cairan, sudah pasti. Walaupun belum parah.”

Alin menyerah. Ia kembali menatap Danet yang sekarang memejamkan mata. Ia hanya bisa terdiam ketika Addo menyuruh asistennya mengambil kursi roda untuk Danet, agar Danet bisa segera dibawa ke IRD untuk dipasang infus dan menunggu pengurusan kamar rawat.

* * *

“Papa...”

Pelan Danet membuka matanya. Sorot sayunya sedikit tersibak ketika melihat Gysta, putri kecilnya, menepuk-nepuk hidungnya dengan ujung telunjuknya yang mungil.

“Hai, sayang...,” senyum Danet.

“Papa atit?” tanya si putri mungil yang baru beberapa bulan lalu genap berusia dua tahun itu.

“Iya, Nak, Papa sakit,” Danet meraih kepala Gysta dan mencium keningnya.

“Gysta, biar Papa bobok dulu ya?” ucap Alin lembut. “Biar Papa cepat sembuh. Kalau Gysta mau bobok di sini, temenin Papa, boleh...”

Gysta segera merebahkan tubuhnya dengan patuh di sebelah kanan tubuh Danet.

“Mimi tutu, Mama,” gumamnya kemudian.

“Mau yang putih atau coklat?” tanya Alin, sabar.

“Tutat.”

“Mama bikinin dulu. Gysta diam dulu ya? Nanti jatuh.”

Alin segera beranjak ke pantry kecil di sudut ruang perawatan VIP itu. Sambil membuatkan susu untuk Gysta, didengarnya Danet dan Gysta bercakap dengan suara lirih. Tapi telinga Alin jelas menangkap ada nada kerinduan yang sarat dari keduanya.

“Ayo puyang, Papa...”

“Iya... Nanti ya, Nak. Tunggu Papa sembuh dulu. Gysta jadi anak manis nggak di rumah?”

“Ita nais. Tayi Papa.”

“Ooo... Gysta nangis terus cari Papa? Kangen sama Papa ya?”

“E’eh... Ita nanen Papa.”

“Papa juga kangen sama Gysta.”

“Iyuk, Papa...”

“Ini sudah Papa peluk.”

Diam-diam Alin mengusap airmatanya.

Sejak Danet harus diopname tiga hari yang lalu, baru siang ini ia membawa Gysta untuk bertemu Danet. Itu pun karena Gysta luar biasa rewelnya di rumah. Setiap kali menanyakan papanya sampai menangis-nangis. Suatu hal yang jarang terjadi karena Gysta sama sekali bukanlah anak yang cengeng. Tapi sepertinya wajar karena selama ini Gysta adalah gadis kecil kesayangan papanya. Dan Danet pun kelihatan sudah tak dapat menahan lagi rindunya pada Gysta.

Untungnya Addo bisa memberi dispensasi sehingga Gysta bisa masuk ke ruang perawatan Danet walaupun usia Gysta masih jauh dibawah umur. Selain ada kemungkinan bisa memberi semangat lebih bagi Danet untuk sembuh, penyakit Danet - walaupun belum diketahui apa - diduga kuat bukan penyakit menular.

“Yuk, Gysta mimik susu, terus bobok ya?” Alin mengulurkan botol dot itu pada Gysta.

Seolah mengerti bahwa tak boleh ada huru-hara dalam ruangan itu, Gysta pun menyusu dari botol dotnya sambil berbaring dengan manis. Danet memeluknya sambil memejamkan mata lagi.

Alin menatap semuanya itu dengan mata terasa hangat. Pelan-pelan pandangannya mengabur. Ia segera bangkit dari duduknya dan pergi ke kamar mandi. Di dalam sana, ia mengusap lagi airmatanya.

Sakit apa sebenarnya kamu, Pa?

* * *

Hingga hari kelima perawatan, kondisi Danet tak juga menunjukkan kemajuan berarti. Addo sampai harus berkonsultasi dengan seniornya yang sudah profesor untuk mengatasi kondisi Danet. Rupanya Profesor Ananta pun sama pusingnya dengan Addo.

Sama sekali tak ada infeksi virus ataupun bakteri dalam tubuh Danet. Hasil pembacaan kapsul endoskopi yang harus ditelan Danet pun menunjukkan kondisi pencernaan yang bersih tanpa cela. Begitu juga dengan hasil scan kepala dan dada. Pun hasil pemeriksaan darah lengkap. Semuanya baik-baik saja.

Ketika hasil itu disampaikan pada Alin, perasaannya langsung dikuasai dua kutub yang berlawanan. Lega luar biasa karena itu berarti Danet baik-baik saja, sekaligus ketakutan yang demikian besar karena pada kenyataannya Danet sama sekali terlihat tidak sehat.

“Jadi boleh dibawa pulang?” tanya Alin.

Addo dan Profesor Ananta saling menatap. Mereka tak punya alasan untuk menahan Danet lebih lama. Tapi di sisi lain, kondisi Danet masih juga sangat mengkhawatirkan. Danet masih saja tidak bisa makan karena dilanda mual yang luar biasa, bahkan saat hidungnya membaui aroma makanan. Obat anti mual masih saja sama sekali tak berpengaruh padanya.

Addo menghela napas panjang. “Menurutmu bagaimana?”

“Aku bukan dokternya, Mas...,” Alin menatap Addo dengan memelas.

“Bu Alin,” Profesor Ananta mengambil alih keadaan dengan halus. “Secara medis Pak Danet baik-baik saja. Dalam artian, dalam tubuhnya tak ada penyakit. Tapi mengingat kondisi Pak Danet masih membutuhkan asupan makanan intra vena, sebaiknya Pak Danet dirawat lebih lanjut.”

Alin tak punya pilihan lain.

* * *

“Ma...”

Alin mengalihkan tatapan matanya dari layar laptop. “Ya?”

“Mama makan dulu. Sudah jam segini,” ujar Danet.

Alin melihat arlojinya sejenak. Sudah hampir jam setengah dua. Tatapannya kemudian berlabuh pada Gysta yang siang itu kembali terlelap di sebelah Danet.

“Sana,” ada nada tak terbantah dalam suara lemah Danet. “Gysta biar di sini, aku yang jaga.”

Alin ragu-ragu sejenak. Ia kemudian berdiri dan menaikkan side-rail. Antisipasi supaya Gysta tidak terjatuh. Dilangkahkannya kaki, memutar ke sisi lain ranjang untuk mencium pipi Danet sebelum beranjak ke kantin.

* * *

Kantin rumah sakit cukup sepi. Sudah lewat jam makan siang seperti ini. Hanya ada beberapa orang yang ada di sana, baik yang berjas dokter maupun berpakaian biasa layaknya keluarga pasien seperti Alin.

Pelan-pelan Alin menyantap makanannya, dengan pikiran mengembara ke mana-mana. Tapi hulunya tetap sama. Danet.

Buat Alin, Danet adalah segalanya. Bahkan satu-satunya tempat bersandar ketika ia melewati masa-masa sulit (baca : Nogosari Lik Ngat – Lizz). Seseorang yang bisa menerima segala kekurangan dan kelebihannya tanpa syarat. Yang mencintainya tanpa banyak pernik. Danet yang pada akhirnya bisa membuatnya mencintai dengan sederhana dan tak perlu alasan.

Lalu apakah aku dan Gysta akan kehilanganmu, Pa? Karena penyakit yang sampai sekarang tak juga kunjung terdeteksi?

Alin menghela napas panjang. Ia sebetulnya sama sekali tak mau pikiran buruk itu menguasainya, tapi bagaimana tidak? Dalam kondisi seperti ini?

“Bu Alin?”

Alin tersentak mendengar panggilan itu. Ia menoleh ke kiri dan mendapati seseorang yang sangat dikenalnya memberinya seulas senyum.

“Dokter Maya,” Alin membalas senyum itu.

Dokter Maya pun meletakkan baki yang dibawanya pada meja tempat Alin menikmati makan siangnya. Mereka kemudian duduk berhadapan.

Perempuan cantik berusia enam puluhan itu bukan orang asing lagi buat Alin. Beberapa tahun lalu ia pernah menjalani terapi kesuburan. Yang menanganinya dengan sabar adalah Dokter Maya. Dan orang ketiga, setelah ia dan Danet, yang merasa bahagia ketika ia akhirnya mengandung Gysta adalah Dokter Maya.

“Siapa yang sakit? Dirawat?” Dokter Maya menatap Alin, penuh perhatian.

“Suami saya, Dok,” jawab Alin, setengah mendesah. “Ini sudah hari keenam. Hasil pemeriksaan dan lab menunjukkan dia baik-baik saja, tapi kondisinya benar-benar mengkhawatirkan.”

”Seperti apa?” Dokter Maya mengerutkan kening.

“Sudah hampir tiga minggu ini mual, muntah, lemas karena nggak nafsu makan,” Alin mengangkat bahu. ”Orang ngidam saja kalah, Dok.”

Seketika Dokter Maya menghentikan makannya. Ditatapnya Alin. Alin balas menatap. Tak mengerti arti sorot mata Dokter Maya.

“Kalau boleh tahu,” ujar Dokter Maya, hati-hati. “Bu Alin sudah hamil berapa minggu?”

“Hah?” Alin ternganga. “Saya nggak lagi hamil kok, Dok.”

Dokter Maya menatap Alin, setengah tak percaya.

“Yakin?” wajah Dokter Maya terlihat sangat serius.

Alin mengerutkan kening.

Yakin?

Ingatannya terpaksa berputar ke belakang sambil menghitung-hitung. Kalau tidak salah, ia sudah hampir tiga bulan ini telat datang bulan. Selama ini memang datang bulannya tak pernah datang teratur. Tapi kalau sampai terlambat hingga hampir tiga bulan, baru kali ini ia mengalaminya.

Hah?

Alin terjingkat seketika.

“Sudah pernah tes urine?” nada suara Dokter Maya terdengar mendesak.

Alin menatap Dokter Maya. Sebuah pikiran berkelebat dalam benaknya.

Mungkinkah?

“Bu Alin, kita segera habiskan makanan kita, kemudian Ibu ikut saya ke ruang praktek. Jangan menolak. Saya nggak akan suruh Ibu bayar. Ibu sudah bukan orang lain lagi buat saya. Oke?”

Alin tertegun mendengar nada tak terbantah dalam suara Dokter Maya.

* * *

Dan di sana, di dalam ruang praktek Dokter Maya, Alin tertawa dan menangis sekaligus. Jelas-jelas layar USG menunjukkan gambaran seorang janin mungil yang tengah bertumbuh dalam rahimnya. Mulai kelihatan bentuknya. Menurut perkiraan sudah berusia lima belas minggu.

Dokter Maya tersenyum menatap Alin. “Sudah jelas kan penyebabnya?”

“Tapi bagaimana...,” Alin mengangkat kedua tangannya dengan sikap nyaris tak percaya.

“Bu Alin,” Dokter Maya mulai menjelaskan dengan sabar. “Hubungan batin antara sepasang suami-istri itu seringkali nyaris tak bisa dijelaskan secara ilmiah. Tapi kalau mau ditelusuri, pasti ada dasar logikanya. Sederhananya begini, chemistry yang terbangun karena ikatan itu pasti melibatkan banyak sekali kerja hormon dalam tubuh kita. Bisa memicu hal-hal yang sukar diduga dan terkadang kelihatan tak masuk akal. Percayalah, Pak Danet baik-baik saja. Hanya sedang menggantikan Ibu mengalami sickness karena positif hamil.

“Bagaimana Dokter bisa seyakin itu?” Maya mulai membenahi lagi bajunya.

“Anak saya tiga, Bu Alin,” Dokter Maya tertawa lebar. “Dan tiga kali juga suami saya mengalami hal yang sama dengan Pak Danet. Bahkan saat kehamilan kedua, dia sampai sebulan opname karena sama sekali nggak bisa masuk makanan.”

“Astaga...,” Alin meluruhkan segala resah hatinya dengan tertawa.

See?” Dokter Maya mengedipkan sebelah matanya.

“Tapi waktu saya hamil Gysta, tak ada kejadian seperti ini,” Alin mengerutkan kening.

Dokter Maya kembali tertawa. “Jangan lupa apa yang terjadi saat kelahiran Gysta.”

Alin langsung menepuk keningnya.

Kelahiran Gysta adalah hal yang sangat menghebohkan dalam keluarga besarnya dan Danet. Pada hari kelahiran Gysta, Alin hanya menanggung rasa sakit yang sekadarnya. Justru Danetlah yang seharian berulang kali diserang rasa mulas pada level hebat tanpa tahu penyebabnya.

Dan rasa mulas itu tak lagi dirasakan Danet begitu Alin pecah ketuban, tanpa Alin menyadari bahwa mulas-mulas sedikit yang juga dirasakannya bukanlah karena stress melihat Danet tiap kali terlihat kesakitan. Ia langsung diangkut ke rumah sakit, sudah bukaan delapan ketika di-check, dan Gysta hadir dengan tangisnya yang kencang tak sampai tiga jam kemudian, diterima oleh tangan Dokter Maya sendiri.

Astaga...

“Siapa dokter yang merawat Pak Danet?”

Suara lembut Dokter Maya menyeret Alin keluar dari lamunannya.

“Dokter Addo, Dok,” jawab Alin. “Kebetulan Dokter Addo itu abang ipar saya. Suami kakaknya Mas Danet. Malah melibatkan Profesor Ananta segala.”

“Astaga... Si Papa...,” gumam Dokter Maya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Dia lupa apa ya, pernah mengalami hal yang sama?”

“Hah?” Alin terbelalak.  “Profesor Ananta itu suami Dokter Maya?”

Absolutely correct!” Dokter Maya nyaris terbahak.

* * *

Ada rona ceria tergambar dalam wajah Danet. Sudah tak lagi sepucat sebelumnya. Diakui atau tidak, ketakutan terhadap tak terdeteksinya penyakit yang gejalanya sungguh terasa menyiksa itu tentu saja mempengaruhi mentalnya. Dan kini, saat penyebabnya sudah mulai teraba, tentu saja hatinya dipenuhi kelegaan yang luar biasa. Apalagi ia pun tahu ada anugerah besar yang lain sedang menunggu waktu untuk hadir secara nyata. Entah bagaimana mekanismenya, ia merasa sejuta kali lebih baik sekarang.

Alin tak akan melupakan ekspresi wajah Addo ketika bertemu Dokter Maya dan menerima penjelasan dari Dokter Maya. Mimik Addo sungguh menunjukkan pernyataan ‘are you kidding me?’. Tapi laki-laki itu tak berani bereaksi lebih jauh ketika Dokter Maya menyeret nama Profesor Ananta dengan wajah seolah tanpa dosa.

“Puyang, Papa?” kedua telapak tangan mungil Gysta menempel di kedua pipi Danet.

Danet memeluknya sambil tersenyum. “Iya, sayang, Papa sudah boleh pulang. Kita pulang sebentar lagi ya?”

Alin memberesi semua barang bawaan dalam kamar perawatan itu dibantu oleh Nunil. Ia hanya bisa tertawa ketika mendengar Nunil menggerutui Danet.

Mbok yao sakit itu yang lebih elit sedikit gitu lho, Net. Sakit, sampai opname sekian hari, lha kok malah diagnosanya ngidam. Malu-maluin...”

“Halah... padune Mbak Nunil kepingin, kalau lagi hamil yang ngidam Mas Addo saja,” tukas Danet, telak. “Wong yang sudah profesor saja pernah mengalami hal yang sama kok!”

Nunil kehilangan kata. Ditatapnya Alin. Ada sinar kegembiraan dalam matanya.

“Aku bersyukur kalian bisa seperti itu,” bisiknya.

“Aku lebih bersyukur lagi, Mbak, karena Mas Danet mencintaiku dengan cara tak terduga seperti ini,” Alin balas berbisik.

Nunil tertawa lebar karenanya.

* * * * *


You Are Me, I Am You* = nyolong judul lagunya Dave Koz




26 komentar:

  1. Wah. Bisaaaa yaaaa? Keren bingits mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Makasih mampirnya ya, Mbak MM... Gimana kabar asapnya?

      Hapus
  2. Maaauuu bingiiitz seperti alin.....hehehehe
    Pembuka pagi yg manis mba Liz ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi... Kayaknya asyiiik ya? Makasih mampirnya, Mbak Tri Wahyuni...

      Hapus
  3. ha ha ha...enak ya...bila semua perempuan yg ngidam sakitnya dibawa suaminya.....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wakakak... ho'oh, Mbaaak...
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  4. Hi hi , emang ada yg ngidam malah si misua? Ceritane apik tenan mbak, suerr pake bingits. Salim, n salam buat keluarga juga.......

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi... Adaaa... Makasih mampirnya ya...

      Hapus
    2. Holeee...papa puyang....
      Pas aku lahiran anak ke dua malah kakak iparku yang mules2 sampe ga bisa kerja,begitu dedeknya lahir..eh sembuh gitu aja qiqiqi

      Hapus
    3. Wakakak... kisahnya seru juga tuh, Mbak...
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  5. saya punya 4 jagoan dan 1 bidadari , nggak seperti mas Danet,tetapi tambah berat badan karena menghabiskan makan istri yang nggak habis, karena eman he he , good post mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, berarti mirip sama ilustrasinya ya, Pak? Solidaritas melarrr, hahaha...
      Makasih mampirnya, Pak...

      Hapus
  6. Inget tulisanku Kembang Keris.kasusnya sama cuma ini lebih cantik dan yang itu super koplak...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... aku ngeroll baca lagi. Kalau yang 'itu' hamilnya udah diketahui, yang 'ini' kan belakangan taunya. Jadi kunci 'kenapa'-nya ;)
      Makasih mampirnya, Mbak Boss...

      Hapus
  7. Cerita temanku persiss spt ini. Istriny.a hamil, dia yg ngidam... ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wakakak... seru tuh, Bang!
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  8. Hihihihihiii..lucu, asik kali yah kalo begitu *sementara ngayal dulu tan* :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wakakak... Kalo bisa buruan dijabanin... HIhihi...

      Hapus
  9. Hahhaha keren2... Gak kepikir loh aku mah bikin yg kayak ginian...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wohoho... Masak siiih?
      Makasih mampirnya, Mbak...

      Hapus
  10. hehehe keren ini cerpennya buu..
    aku jg hamil 3x gak ada ngidam, tp yg gila belanja malah suami.
    pas mo lahiran jg 3x hamil gak rasa mules2 tanda mo lahiran, tau2 pecah ketuban & segera caesar krn aku takut lahiran normal. tp emang iya siih waktu mo SC yg mukanya grogi senewen malah papanya anak2. hahaha makanya aku suka hamil, terlihat gemuk & gak alami sakitnya ibu hamil :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduuuh... kisahnya Mbak Indah juga keren, hehehe...
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus