Rabu, 07 Oktober 2015

[Cerbung] CUBICLE #19





Kisah sebelumnya : CUBICLE #18


* * *


Sembilan Belas


“Kenapa baru ngomong sekarang sih?” kutatap Bara yang duduk manis di sofaku.

Aku tak menemukan topik lain untuk dibahas. Kali ini aku hanya berdua saja dengannya di apartemenku. Fajar pamitan mau menjemput Mita. Driya dan Yussi baru saja ikutan pamit mau belanja bahan untuk makan siang. Mereka berdua yang ngotot mau memasak.

Bara balas menatapku sambil meringis. “Sebenernya udah dari kapan hari gue niatin mau nembak lu. Tapi keburu temen kecil lu yang sekarang badannya segede kingkong itu nongol. Dan gue liat dengan mata kepala gue sendiri gimana deketnya kalian. Belum lagi tau-tau gue nyadar lu deket juga sama Fajar. Lebih deket dari biasanya. Di saat yang sama Mita sering curhat sama gue soal Fajar dan elu. Udah gitu, Yussi laporan kalo mergokin Driya nginep di apartemen lu. Jujur, gue panas, Sas...”

Kuhela napas panjang. “Astagaaa... bisa rumit kayak gini...”

“Pas lu sakit itu, sebenernya Gerdy udah oke mau back up-in elu,” Bara melanjutkan dengan mimik serius. “Arlia emang udah ada tanda-tanda mau lahiran, tapi nggak apa-apa ditinggal Gerdy bentar karena ortunya udah dateng ke sini. Tapi gue maksa ambil job itu. Gue khawatir sama kondisi lu. Pas gue dateng, ternyata Driya udah urusin lu dengan baik.”

Aku hanya bisa menatapnya tanpa bisa berkata apapun.

“Belum lagi lu kayaknya enjoy banget wara-wiri berdua sama Fajar. Lagian gue juga tau lu kenal Fajar jauh lebih lama daripada kenal gue. Kayaknya harapan udah tipis aja buat gue. Gue juga takut lu nolak gue. Gue emang laki-laki, Sas. Harusnya bisa lebih nekad dan tegar. Tapi ditolak itu nyakitin banget. Suer!”

“Mm... Emang lu ada pengalaman ditolak, Bar?” tanyaku hati-hati.

Dia mengangguk. Tersenyum. Pahit.

“Hm... Gitu ya...,” gumamku. “Soal Binno, gue ceritain ke elu. Tapi lu nggak pernah mau ceritain soal diri lu sendiri.”

“Gue sebenernya udah nggak mau inget-inget itu lagi,” ucapnya sambil mengusap wajah dengan kedua belah telapak tangannya. “Lagian dia sekarang juga udah married, udah punya anak dua.”

“Hehehe... Ternyata sama ya, nasib kita?”

Bara tergelak ringan. “Bedanya, lu udah hampir married, sementara gue jadian aja belum sempat.”

“Hm...”

“Jujur, gue sempat stress belakangan ini,” gumamnya. “Kerjaan numpuk. Kondisi geng lagi rada nggak enak. Gue bingung mau jealous ke siapa. Driya atau Fajar.”

“Lu pikir gue nggak stress liat lu sering jalan sama Mita?” aku nyengir. “Belum lagi gue ngerasa dimusuhin Yussi sama geng. Cuma Fajar yang bisa ngertiin gue. Nggak enak banget ada di posisi kayak gitu. Apalagi gue ngeliat ada kemungkinan ruwet banget ceritanya geng sarap gara-gara gue pikir ada cinta silang-silangan yang nggak keruan."

“Tapi sekarang udah enggak lagi kan?” Bara tersenyum. Ganteng. Seperti biasanya. “Semuanya udah nemuin jalurnya sendiri-sendiri.”

“Tapi lu beneran nggak ada apa-apa sama Mita?” aku menyipitkan mata.
              
“Astaga... Beneran, Sas. Suer!” jari tengah dan telunjuk kanan Bara membentuk huruf V. “Udah niat gue cari temen hidup. Bukan sekadar pacar lagi. Lagian Mita bukan type gue. Imannya juga udah lain. Semales-malesnya gue ke gereja, teteplah gue patok nomor satu nyari calon istri yang imannya sama dengan gue.”

“Oh... Jadi selama ini lu males ke gereja ya?” tiba-tiba saja aku menemukan bahan untuk menggodanya walaupun terdengar garing.

“Nggak bakalan lagi,” Bara tergelak. “Gue kan harus jaga nama baik lu sebagai adik seorang pastor.”

“Jiaaah... Mas Riksa dibawa-bawa,” aku tergelak.

Bara ikut tertawa. Beberapa saat kemudian dia menguap.

“Lu biasanya ngapain gini hari di kostan?” senyumku.

“Tidur,” bibir Bara pun melebar. “Kesempatan istirahat, Sas. Hari Minggu bubaran gereja juga kadang-kadang gue ngeluyur, cari stok ide buat job. Makanya hari Sabtu gue puas-puasin molor.”

“Ya udah deh, lu tidur aja. Gue mau urusin baju kotor gue. Udah mau jamnya orang laundry dateng.”

Bara menguap lagi.

“Sono gih, ke kamar sebelah!”

Tapi dia menggeleng sambil merebahkan tubuhnya di sofaku. Sejenak kemudian dia benar-benar memejamkan mata. Aku pun meninggalkannya.

* * *

Ketika aku keluar dari kamar setelah mengemas baju-baju kotorku ke dalam dua kantong besar, kulihat Bara sudah terlelap. Membuatku jadi bebas berlama-lama menatapnya. Bebas bermain dengan berbagai debar dan rasa tak percaya yang masih berlarian dan berlompatan di dadaku. Bebas me-rewind berkali-kali pernyataan cintanya padaku. Pernyataan cinta yang sama sekali tak romantis, tapi entah kenapa aku suka sekali mendengarnya. Pernyataan cinta yang harus mengorbankan sebuah mangkok modal dagangnya Pak Sarimin.

Aku jadi seolah punya kesempatan untuk melongok kembali perasaan yang selama ini seolah terbagi dalam sekian cubicle dalam hatiku. Perasaanku sebagai seorang perempuan biasa bernama Sasi. Perasaanku sebagai seorang pekerja profesional. Perasaanku sebagai seorang sahabat. Perasaanku sebagai seorang gadis yang mendambakan pendamping hidup. Perasaanku yang menyentuh soal cinta pada seorang laki-laki bernama Bara.

Semuanya seolah lebur jadi satu saat ini. Tanpa ada satu cubicle pun yang menyekatnya. Semua karena satu pernyataan cinta yang tepat pada waktunya. Terucap ketika aku sudah hendak menyerah. Dari seseorang yang sangat kuharapkan. Dari Bara. Tempatku ingin melabuhkan seluruh hati dan kehidupanku.

Dan lihatlah betapa damainya wajah Bara! Tak lagi menyisakan keletihan seperti yang terlihat beberapa waktu belakangan ini. Aku pun memuaskan diri menatapnya. Membiarkan dahaga kerinduanku padanya terpuaskan hanya dengan memandangi wajahnya yang tengah terlelap.

Bahkan bunyi bel yang dipencet orang laundry tak berhasil membangunkannya. Setelah selesai urusan laundry, aku pun kembali duduk sambil menumpukan kakiku pada sebuah ottoman. Lama-lama mataku terasa berat. Ketika aku hampir ‘hilang’ kudengar bel pintu berbunyi sayup-sayup.

Aku bangun tergeragap. Ketika pintu kubuka, Fajar berdiri sambil menggandeng tangan Mita, yang tersenyum malu-malu.

“Eh,” senyumku. “Masuk yuk!”

“Sepi...,” gumam Fajar. “Pada ke mana?”

“Driya sama Yussi keluar ke supermarket. Belanja. Mau masak buat maksi kita katanya. Bara ada tuh. Tidur.”

“Kok nggak di kamar?” bisik Fajar begitu melihat Bara berbaring di atas sofa.

“Nggak mau dia,” jawabku.

Maka Fajar dan Mita pun duduk dengan tenang. Tak hendak mengganggu Bara. Aku beranjak ke pantry. Ketika sedang kuaduk dua mug teh blackcurrant, Mita muncul.

“Mbak...,” ucapnya halus.

“Ya?” aku menoleh.

“Aku minta maaf soal yang kemarin-kemarin ya? Sikapku...”

“Udaaah...,” senyumku. “Yang kemarin ya udah, ditinggal aja jauh-jauh. Yang penting sekarang udah ketauan gimana kejadian sebenernya.”

“Iya,” Mita mengangguk.

“Tolong jagain Fajar yak?” kukedipkan sebelah mata. “Dia salah satu sohib gue yang paling baik.”

Mita kembali mengangguk. Tersenyum lebar.

* * *

Acara memasak buat makan siang itu ternyata gombal besar. Driya dan Yussi muncul tanpa membawa bahan makanan mentah, tapi sudah dalam bentuk matang. Dan keduanya nongol sambil tertawa-tawa, seolah tanpa dosa.

“Lha, udah siang ini...,” Yussi berkilah. “Lagian gue nyadar nggak gape masak. Driya juga. Daripada kalian keracunan semuanya, ya udah dibeliin matengan aja.”

Bara rupanya terganggu juga dengan suasana meriah yang dibawa Yussi dan Driya. Dia bangun sambil menggerutu, “Berisik banget, apaan sih?”

“Wooo...,” Fajar menonjok lengan Bara. “Molor aja lu!”

“Lha, calon bini gue aja ngasih lampu ijo buat molor, napa elu malah ribut?” Bara mengucek matanya.

“Jiaaah! Calon biniii...,” Fajar terbahak.

“Terus Mita apa dunk?” ledekku.

“Calon bini juga,” Fajar meringis. “Calon bini gue...”

Kami terbahak bersama, sementara wajah Mita tampak lucu tersipu-sipu.

Acara makan siang kami berjalan dengan menyenangkan. Entah Driya dan Yussi beli makanan di mana, yang jelas ayam dan bebek bakarnya sungguh empuk dan yummy, nasi merahnya juara, sambalnya memanjakan lidah (tapi memusuhi perut). Belum lagi kerupuk pasir dan tempe gorengnya yang gurih. Tahu crispy-nya juga berhasil menimbulkan kriuk yang sensasional di dalam mulut.

Semuanya sempurna. Sampai aku menyadari bahwa aku melupakan sesuatu.

“Airnya nggak keluar?” Driya berseru dari arah pantry.

Astagaaa...

“Wah, iya,” gumamku. “Kemarin udah ada pengumuman kalo siang ini mau ada maintenance instalasi air sampe jam tiga sore. Waduh... gue nggak ada stok air bersih lagi!”

“Terus, ini bekas sambel di tangan gimana ini?” Driya kembali dari pantry dengan wajah bingung. “Dijilatin doang?”

“Emang di kamar mandi nggak ada air?” Fajar mengangkat alisnya.

“Kamar mandi gue kan sistemnya bath up, shower, sama tank dan bidet di toiletnya,” jawabku.

“Hadeeeh...,” Fajar menggeleng-gelengkan kepalanya. “Segeblek-gebleknya gue masih nyetok air bersih minimal seember gede di kamar mandi kalo nggak sempat menuhin bath up, Sas...”

“Emang di apartemen lu nggak lagi maintenance?” tanyaku pada Fajar.

“Udah, Sabtu lalu,” Fajar menggeleng-gelengkan kepala. “Lu tuh ya...”

Aku hanya bisa meringis mendengar gerutuan Fajar. Berikutnya, aku terpaksa merelakan persediaan air minum dalam galon untuk mencuci tangan. Kubiarkan Bara menepuk-nepuk kepalaku dengan wajah geli bercampur prihatin setelahnya. Kuhela napas panjang.

Iya, Bar... Calon bini lu ini kadang-kadang memang bodoh...

“Udah, abis ini pindah dulu ke apartemen gue,” ucap Fajar. “Daripada lari-lari nggak keruan kalo pada pingin ke toilet.”

Semuanya langsung akur.

* * *

Bersambung ke episode terakhir : CUBICLE #20

12 komentar:

  1. Akhirnya, hepi ending juga.. Makasih mbak, apik buanget, cantik ceritane secantik yg bikin...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudah hepi, tapi endingnya belum tayang, hehehe...
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  2. akhirnya happy ending semuanya yaa buu :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... endingnya baru tayang besok, Mbaaak...
      Makasih dah mampir...

      Hapus
  3. Balasan
    1. Wuakakak... abis ngapain, Mbaaak?
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  4. eh kirain episode terakhir :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Besok pagi terakhirnya, Fris. Makasih dah mampir...

      Hapus