Kisah sebelumnya : CUBICLE #18
* * *
Sembilan Belas
Sembilan Belas
“Kenapa
baru ngomong sekarang sih?” kutatap Bara yang duduk manis di sofaku.
Aku
tak menemukan topik lain untuk dibahas. Kali ini aku hanya berdua saja
dengannya di apartemenku. Fajar pamitan mau menjemput Mita. Driya dan Yussi
baru saja ikutan pamit mau belanja bahan untuk makan siang. Mereka berdua yang
ngotot mau memasak.
Bara
balas menatapku sambil meringis. “Sebenernya udah dari kapan hari gue niatin
mau nembak lu. Tapi keburu temen kecil lu yang sekarang badannya segede
kingkong itu nongol. Dan gue liat dengan mata kepala gue sendiri gimana
deketnya kalian. Belum lagi tau-tau gue nyadar lu deket juga sama Fajar. Lebih
deket dari biasanya. Di saat yang sama Mita sering curhat sama gue soal Fajar
dan elu. Udah gitu, Yussi laporan kalo mergokin Driya nginep di apartemen lu.
Jujur, gue panas, Sas...”
Kuhela
napas panjang. “Astagaaa... bisa rumit kayak gini...”
“Pas
lu sakit itu, sebenernya Gerdy udah oke mau back
up-in elu,” Bara melanjutkan dengan mimik serius. “Arlia emang udah ada
tanda-tanda mau lahiran, tapi nggak apa-apa ditinggal Gerdy bentar karena
ortunya udah dateng ke sini. Tapi gue maksa ambil job itu. Gue khawatir sama kondisi lu. Pas gue dateng, ternyata
Driya udah urusin lu dengan baik.”
Aku
hanya bisa menatapnya tanpa bisa berkata apapun.
“Belum
lagi lu kayaknya enjoy banget wara-wiri berdua sama Fajar. Lagian gue juga tau
lu kenal Fajar jauh lebih lama daripada kenal gue. Kayaknya harapan udah tipis
aja buat gue. Gue juga takut lu nolak gue. Gue emang laki-laki, Sas. Harusnya
bisa lebih nekad dan tegar. Tapi ditolak itu nyakitin banget. Suer!”
“Mm...
Emang lu ada pengalaman ditolak, Bar?” tanyaku hati-hati.
Dia
mengangguk. Tersenyum. Pahit.
“Hm...
Gitu ya...,” gumamku. “Soal Binno, gue ceritain ke elu. Tapi lu nggak pernah
mau ceritain soal diri lu sendiri.”
“Gue
sebenernya udah nggak mau inget-inget itu lagi,” ucapnya sambil mengusap wajah
dengan kedua belah telapak tangannya. “Lagian dia sekarang juga udah married, udah punya anak dua.”
“Hehehe...
Ternyata sama ya, nasib kita?”
Bara
tergelak ringan. “Bedanya, lu udah hampir married,
sementara gue jadian aja belum sempat.”
“Hm...”
“Jujur,
gue sempat stress belakangan ini,” gumamnya. “Kerjaan numpuk. Kondisi geng lagi
rada nggak enak. Gue bingung mau jealous
ke siapa. Driya atau Fajar.”
“Lu
pikir gue nggak stress liat lu sering jalan sama Mita?” aku nyengir. “Belum
lagi gue ngerasa dimusuhin Yussi sama geng. Cuma Fajar yang bisa ngertiin gue.
Nggak enak banget ada di posisi kayak gitu. Apalagi gue ngeliat ada kemungkinan
ruwet banget ceritanya geng sarap gara-gara gue pikir ada cinta silang-silangan
yang nggak keruan."
“Tapi
sekarang udah enggak lagi kan?” Bara tersenyum. Ganteng. Seperti biasanya. “Semuanya
udah nemuin jalurnya sendiri-sendiri.”
“Tapi
lu beneran nggak ada apa-apa sama Mita?” aku menyipitkan mata.
“Astaga...
Beneran, Sas. Suer!” jari tengah dan telunjuk kanan Bara membentuk huruf V.
“Udah niat gue cari temen hidup. Bukan sekadar pacar lagi. Lagian Mita bukan type gue. Imannya juga udah lain.
Semales-malesnya gue ke gereja, teteplah gue patok nomor satu nyari calon istri
yang imannya sama dengan gue.”
“Oh...
Jadi selama ini lu males ke gereja ya?” tiba-tiba saja aku menemukan bahan
untuk menggodanya walaupun terdengar garing.
“Nggak
bakalan lagi,” Bara tergelak. “Gue kan harus jaga nama baik lu sebagai adik
seorang pastor.”
“Jiaaah...
Mas Riksa dibawa-bawa,” aku tergelak.
Bara
ikut tertawa. Beberapa saat kemudian dia menguap.
“Lu
biasanya ngapain gini hari di kostan?” senyumku.
“Tidur,”
bibir Bara pun melebar. “Kesempatan istirahat, Sas. Hari Minggu bubaran gereja
juga kadang-kadang gue ngeluyur, cari stok ide buat job. Makanya hari Sabtu gue puas-puasin molor.”
“Ya
udah deh, lu tidur aja. Gue mau urusin baju kotor gue. Udah mau jamnya orang laundry dateng.”
Bara
menguap lagi.
“Sono
gih, ke kamar sebelah!”
Tapi
dia menggeleng sambil merebahkan tubuhnya di sofaku. Sejenak kemudian dia
benar-benar memejamkan mata. Aku pun meninggalkannya.
* * *
Ketika
aku keluar dari kamar setelah mengemas baju-baju kotorku ke dalam dua kantong besar,
kulihat Bara sudah terlelap. Membuatku jadi bebas berlama-lama menatapnya. Bebas
bermain dengan berbagai debar dan rasa tak percaya yang masih berlarian dan
berlompatan di dadaku. Bebas me-rewind
berkali-kali pernyataan cintanya padaku. Pernyataan cinta yang sama sekali tak
romantis, tapi entah kenapa aku suka sekali mendengarnya. Pernyataan cinta yang
harus mengorbankan sebuah mangkok modal dagangnya Pak Sarimin.
Aku
jadi seolah punya kesempatan untuk melongok kembali perasaan yang selama ini
seolah terbagi dalam sekian cubicle
dalam hatiku. Perasaanku sebagai seorang perempuan biasa bernama Sasi.
Perasaanku sebagai seorang pekerja profesional. Perasaanku sebagai seorang
sahabat. Perasaanku sebagai seorang gadis yang mendambakan pendamping
hidup. Perasaanku yang menyentuh soal cinta pada seorang laki-laki bernama
Bara.
Semuanya
seolah lebur jadi satu saat ini. Tanpa ada satu cubicle pun yang menyekatnya. Semua karena satu pernyataan cinta
yang tepat pada waktunya. Terucap ketika aku sudah hendak menyerah. Dari
seseorang yang sangat kuharapkan. Dari Bara. Tempatku ingin melabuhkan seluruh
hati dan kehidupanku.
Dan
lihatlah betapa damainya wajah Bara! Tak lagi menyisakan keletihan seperti yang
terlihat beberapa waktu belakangan ini. Aku pun memuaskan diri menatapnya.
Membiarkan dahaga kerinduanku padanya terpuaskan hanya dengan memandangi wajahnya
yang tengah terlelap.
Bahkan
bunyi bel yang dipencet orang laundry
tak berhasil membangunkannya. Setelah selesai urusan laundry, aku pun kembali duduk sambil menumpukan kakiku pada sebuah
ottoman. Lama-lama mataku terasa
berat. Ketika aku hampir ‘hilang’ kudengar bel pintu berbunyi sayup-sayup.
Aku
bangun tergeragap. Ketika pintu kubuka, Fajar berdiri sambil menggandeng tangan
Mita, yang tersenyum malu-malu.
“Eh,”
senyumku. “Masuk yuk!”
“Sepi...,”
gumam Fajar. “Pada ke mana?”
“Driya
sama Yussi keluar ke supermarket. Belanja. Mau masak buat maksi kita katanya.
Bara ada tuh. Tidur.”
“Kok
nggak di kamar?” bisik Fajar begitu melihat Bara berbaring di atas sofa.
“Nggak
mau dia,” jawabku.
Maka
Fajar dan Mita pun duduk dengan tenang. Tak hendak mengganggu Bara. Aku
beranjak ke pantry. Ketika sedang
kuaduk dua mug teh blackcurrant, Mita
muncul.
“Mbak...,”
ucapnya halus.
“Ya?”
aku menoleh.
“Aku
minta maaf soal yang kemarin-kemarin ya? Sikapku...”
“Udaaah...,”
senyumku. “Yang kemarin ya udah, ditinggal aja jauh-jauh. Yang penting sekarang
udah ketauan gimana kejadian sebenernya.”
“Iya,”
Mita mengangguk.
“Tolong
jagain Fajar yak?” kukedipkan sebelah mata. “Dia salah satu sohib gue yang
paling baik.”
Mita
kembali mengangguk. Tersenyum lebar.
* * *
Acara
memasak buat makan siang itu ternyata gombal besar. Driya dan Yussi muncul
tanpa membawa bahan makanan mentah, tapi sudah dalam bentuk matang. Dan
keduanya nongol sambil tertawa-tawa, seolah tanpa dosa.
“Lha,
udah siang ini...,” Yussi berkilah. “Lagian gue nyadar nggak gape masak. Driya
juga. Daripada kalian keracunan semuanya, ya udah dibeliin matengan aja.”
Bara
rupanya terganggu juga dengan suasana meriah yang dibawa Yussi dan Driya. Dia
bangun sambil menggerutu, “Berisik banget, apaan sih?”
“Wooo...,”
Fajar menonjok lengan Bara. “Molor aja lu!”
“Lha,
calon bini gue aja ngasih lampu ijo buat molor, napa elu malah ribut?” Bara
mengucek matanya.
“Jiaaah!
Calon biniii...,” Fajar terbahak.
“Terus
Mita apa dunk?” ledekku.
“Calon
bini juga,” Fajar meringis. “Calon bini gue...”
Kami
terbahak bersama, sementara wajah Mita tampak lucu tersipu-sipu.
Acara
makan siang kami berjalan dengan menyenangkan. Entah Driya dan Yussi beli
makanan di mana, yang jelas ayam dan bebek bakarnya sungguh empuk dan yummy, nasi merahnya juara, sambalnya
memanjakan lidah (tapi memusuhi perut). Belum lagi kerupuk pasir dan tempe
gorengnya yang gurih. Tahu crispy-nya
juga berhasil menimbulkan kriuk yang sensasional di dalam mulut.
Semuanya
sempurna. Sampai aku menyadari bahwa aku melupakan sesuatu.
“Airnya
nggak keluar?” Driya berseru dari arah pantry.
Astagaaa...
“Wah,
iya,” gumamku. “Kemarin udah ada pengumuman kalo siang ini mau ada maintenance instalasi air sampe jam tiga
sore. Waduh... gue nggak ada stok air bersih lagi!”
“Terus,
ini bekas sambel di tangan gimana ini?” Driya kembali dari pantry dengan wajah bingung. “Dijilatin doang?”
“Emang
di kamar mandi nggak ada air?” Fajar mengangkat alisnya.
“Kamar
mandi gue kan sistemnya bath up, shower, sama tank dan bidet di toiletnya,”
jawabku.
“Hadeeeh...,”
Fajar menggeleng-gelengkan kepalanya. “Segeblek-gebleknya gue masih nyetok air
bersih minimal seember gede di kamar mandi kalo nggak sempat menuhin bath up, Sas...”
“Emang
di apartemen lu nggak lagi maintenance?”
tanyaku pada Fajar.
“Udah,
Sabtu lalu,” Fajar menggeleng-gelengkan kepala. “Lu tuh ya...”
Aku
hanya bisa meringis mendengar gerutuan Fajar. Berikutnya, aku terpaksa
merelakan persediaan air minum dalam galon untuk mencuci tangan. Kubiarkan Bara
menepuk-nepuk kepalaku dengan wajah geli bercampur prihatin setelahnya. Kuhela
napas panjang.
Iya,
Bar... Calon bini lu ini kadang-kadang memang bodoh...
“Udah,
abis ini pindah dulu ke apartemen gue,” ucap Fajar. “Daripada lari-lari nggak
keruan kalo pada pingin ke toilet.”
Semuanya
langsung akur.
* * *
Bersambung ke episode terakhir : CUBICLE #20
Akhirnya, hepi ending juga.. Makasih mbak, apik buanget, cantik ceritane secantik yg bikin...
BalasHapusSudah hepi, tapi endingnya belum tayang, hehehe...
HapusMakasih mampirnya ya...
akhirnya happy ending semuanya yaa buu :-)
BalasHapusHahaha... endingnya baru tayang besok, Mbaaak...
HapusMakasih dah mampir...
Ciihuiiiiiii :D
BalasHapusYippiiie!!! Makasih mampirnya, Mbak...
Hapusplong rasanya....
BalasHapusWuakakak... abis ngapain, Mbaaak?
HapusMakasih mampirnya ya...
eh kirain episode terakhir :)
BalasHapusBesok pagi terakhirnya, Fris. Makasih dah mampir...
HapusKerennnnnnn
BalasHapusMakasih mampirnya ya, Mbak...
Hapus