Senin, 26 Oktober 2015

[Cerbung] Ruang Ketiga #3







Episode sebelumnya :  Ruang Ketiga #2


* * *


Tiga


Bukan!

Swandito menggeleng samar.

Bukan cemburu...

Swandito menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya pelan-pelan.

... tapi rasa takut kehilangan.

Mata Swandito lurus menatap langit-langit dalam temaram cahaya lampu kamar.

Bagaimana hidupku selanjutnya tanpa dia? Dari mana aku harus menyesap semangat untuk menjadi lebih baik daripada hari kemarin kalau dia meninggalkanku?

Pelan-pelan Swandito memperbaiki posisi tidurnya. Menghadap Dahlia yang juga menghadap ke arahnya. Dengan wajahnya yang bulat telur sempurna, terlihat sedikit letih, tapi tetap menampakkan kedamaian dalam tidur lelapnya.
                          
Tanpa disadari, tangan kirinya sudah terulur. Membersihkan kening Dahlia dari beberapa helai rambut yang terkulai. Cepat-cepat ia menarik tangannya ketika napas panjang Dahlia terhela. Tapi perempuan itu terlihat tetap lelap. Tak terganggu sedikit pun.

Swandito mengerjapkan matanya. Masih ditatapnya Dahlia.

Aku tak ingin kau pergi... Setelah tiga tahun bersama yang penuh kedamaian. Aku tak hendak melupakan mengapa kau mau menikah denganku yang hanya seperti ini. Aku sudah terlanjur tenggelam di dalamnya. Pernikahan kita. Pengabdian kita satu sama lain. Ketika kita bisa saling menerima apa adanya. Haruskah aku kehilangan semuanya? Tapi kau juga berhak atas cinta dan kebahagiaan itu...

Swandito mengatupkan kelopak matanya. Berusaha menenangkan hati yang bergejolak tak keruan. Berusaha menemukan rasa kantuk dalam gelap pikirannya.

* * *

Setelah bertahun-tahun kabut itu hilang, kini Seruni menemukannya lagi dalam mata Swandito. Tipis, tapi tetap terlihat nyata. Dan ia memberanikan diri untuk bertanya. Ketika mobil yang dikemudikan Swandito sudah meluncur meninggalkan rumah joglo besar itu.

“Mas, are you fine this morning?

Why?

“Seharusnya aku yang tanya, ada apa? Kenapa? Mas Swan ndak seperti biasanya.”

“Kelihatan memangnya, Dik?”

“Banget...”

Swandito mencoba untuk tersenyum.

Ndak keberatan mampir sebentar ke Timlo Sastro?”

“Memangnya tadi ndak dikasih sarapan sama Mbak Lia?”

Swandito terkekeh mendengar nada canda yang kental dalam suara Seruni.

“Ayolah!” Seruni pun menyetujui tanpa berpikir lebih panjang lagi.

* * *

Swandito tertawa melihat Seruni akhirnya memesan juga seporsi timlo tanpa nasi. Rupanya gadis itu ngiler juga melihat apa yang baru saja terhidang di depan Swandito.

Ndak takut gemuk?” goda Swandito. “Sudah kurang dari dua minggu lagi lho...”

“Haish... Ekstra seporsi timlo ya ndak ada pengaruhnya,” Seruni tersenyum lebar. “Monggo, duluan saja makannya, Mas.”

“Iya... gampang. Tunggu sliramu dulu...”

“Hm... Jadi... bagaimana?” Seruni menatap Swandito, serius.

Pelan Swandito meletakkan gelas teh manis hangat yang baru saja diteguknya. Ditatapnya Seruni.

“Rengga itu... seperti apa orangnya?”

Seketika Seruni ternganga. Sama sekali tak pernah membayangkan bahwa ia akan menjadi sumber informasi soal Rengga. Lebih tepatnya, diinterogasi secara ‘paksa’ oleh abang iparnya seperti ini.

“Kenapa tiba-tiba panjenengan bertanya soal Mas Rengga padaku?”

Swandito menggeleng. “Entahlah. Hanya saja... aku ingin tahu.”

“Kenapa ndak bertanya saja pada Mbak Lia, Mas?”

“Aku ndak bisa, Dik. Dia hanya bercerita kalau kemarin bertemu Rengga. Dia kemudian menangis ketika kutanyakan apakah dia masih mencintai Rengga. Dan aku ndak mampu meneruskan pertanyaan lain soal Rengga itu padanya.”

Seporsi timlo tanpa nasi itu kini terhidang di depan Seruni. Melihat itu, Swandito pun mulai menikmati sarapan keduanya yang sudah terhidang sejak beberapa menit yang lalu. Dan dengan penuh perasaan, Seruni menyesap sesendok kuah timlo itu. Enak. Selalu enak. Sambil menikmatinya lebih lanjut, Seruni menatap Swandito.

“Aku pernah bertemu beberapa kali dengan Mas Rengga di Jakarta,” ucapnya dengan suara rendah. “Dia bekerja di sana. Suwargi istrinya dulu pelanggan butikku. Tapi setelah Mbak Rana ini meninggal, aku ndak pernah bertemu lagi dengannya. Semalam, aku dengar dari Eyang, Mbak Lia bertemu Mas Rengga dan putrinya kemarin pagi di salon.”

“Seperti apa orangnya?” ulang Swandito ketika menyadari bahwa ia tak menemukan informasi mengenai Rengga seperti yang diinginkannya dalam kalimat-kalimat Seruni.

Tatapan Seruni pada Swandito berubah menjadi agak ragu. Tapi begitu melihat bahwa kabut itu belum juga pudar dari mata Swandito, Seruni pun berusaha menjawab sesuai dengan yang diketahuinya.

“Mas Rengga dari kalangan biasa saja. Kalau ndak salah, keluarganya punya usaha tenunan lurik di Klaten plus juragan batik di Pasar Klewer. Dia orangnya baik, sabar, sopan. Sama seperti panjenengan. Perawakannya mirip Romo. Tinggi besar.”

“Hm...,” Swandito manggut-manggut.

Sampai di sini Seruni tersenyum.

“Aku jadi ingat dulu Mas Haryo sering meledek Mbak Lia. Katanya, Mas Rengga dan Mbak Lia itu seperti Hulk dan Liliput. Terkadang juga dibilang Mbak Lia itu ranselnya Mas Rengga karena lucu sekali kalau melihat Mbak Lia nemplok di boncengan skuter Mas Rengga. Kalau dilihat dari belakang seperti Mas Rengga sedang menyandang ransel. Sayangnya...,” Seruni kemudian mendesah panjang. “Panjenengan tahu apa yang terjadi berikutnya.”

Swandito tercenung.  Tapi desahan berikutnya dari Seruni menyadarkannya. Membuatnya seketika mengikuti arah pandang Seruni.

“Duh, Gusti...,” suara Seruni hampir menyerupai gumaman. “Orang ini kok panjang umur benar? Baru juga dirasani1) kok ya muncul...”

Seorang laki-laki tampan berperawakan tinggi besar berpenampilan rapi tampak masuk ke dalam rumah makan itu, dengan menggandeng seorang gadis kecil berpipi chubby yang sangat cantik. Dan tatapan yang beredar sejenak itu berhenti pada seraut wajah Seruni.

“Dik Runi?” gumamnya.

Bersama gadis kecil yang digandengnya, laki-laki itu melangkah mendatangi Seruni. Wajahnya tampak cerah.

“Mas Rengga...,” bisik Seruni, tanpa suara.

Dan Swandito tercekat tiba-tiba.

* * *

Mau tak mau Seruni menawari Rengga untuk duduk bersama di meja mereka. Tawaran yang diterima Rengga dengan senang hati.

“Apa kabar, Dik Runi?” Rengga mengguncang ringan tangan Seruni yang dijabatnya.

“Baik... Panjenengan?” Seruni tersenyum.

“Baik... baik...”

“Oh ya, ini Mas Swandito,” tangan Seruni mengarah pada Swandito. Begitu juga tatapannya. “Mas Swan, ini Mas Rengga.”

Kedua laki-laki itu saling berjabat tangan. Tersenyum. Sambil menyebutkan nama masing-masing.

Seruni ganti menjabat tangan Dahlia kecil yang tersenyum malu-malu. “Lili... kamu sudah gede sekarang ya? Tambah cantik...”

“Lili lupa sama Tante Seruni?” Rengga menatap putri kecilnya dengan lembut. “Teman Ibu?”

“Yang punya toko baju?” mata Dahlia kecil mendadak berbinar.

“Ah! Kamu ingat, sayang...,” Seruni mengelus kepala Dahlia kecil. Sejenak kemudian tatapannya beralih pada Rengga. “Mas, ndherek belasungkawa2) tentang Mbakyu Rana.”

“Terima kasih, Dik,” Rengga mengangguk, tersenyum tipis.

Sisa-sisa kesedihan masih tampak melekat. Seruni dengan jelas dapat menangkapnya.

“Lagi liburan, Mas? Atau bagaimana?” dengan antusias, Seruni menatap Rengga.

Ndak, Dik,” Rengga menggeleng. “Aku kembali ke sini. Meneruskan usaha Bapak dan Ibu. Sekaligus memberi Lili suasana lain,” tangan Rengga merengkuh bahu Dahlia kecil. “Dan sliramu sendiri? Mudik liburan apa malah sekalian bisnis?”

“Mm...,” Seruni tampak sedikit tersipu. “Sebetulnya aku... akan menikah dua minggu lagi. Sekarang lagi pingitan.”

Rengga terbengong sesaat. “Pingitan? Lho kok?” Tatapannya menyapu Seruni dan Swandito bergantian.

“Keluyuran?” Seruni tergelak.

Swandito segera memahami keheranan Rengga. “Saya cuma sopirnya kok, Mas. Tukang antar jemput dari rumah ke salon,” Swandito berusaha untuk santai.

“Oh...,” Rengga tersenyum lebar.

“Nikahnya masih tetap sama yang itu,” ujar Seruni kemudian. ”Kan Mas Rengga sudah kenal.”

“Pak Dosen itu?”

Seruni mengangguk. “Dan Kangmas Swandito ini garwane3) Mbak Dahlia.”

Tiba-tiba saja ada hening yang begitu panjang.

* * *

“Jadi sliramu ndak pernah cerita apapun soal Jeng Dahlia pada Rengga, begitu pula sebaliknya, Dik?” tanya Swandito sambil kembali melajukan mobilnya.

Seruni menggeleng. “Mas Rengga ndak pernah tanya. Aku ya diam saja. Tapi istrinya tahu soal Mbak Lia dan suwargi Mas Dipta. Sepertinya Mas Rengga tahu juga. Hanya saja, dia ndak pernah bertanya apa-apa. Dan aku sendiri memang sengaja ndak pernah cerita pada Mbak Lia soal pertemuan-pertemuanku dengan Mas Rengga dan Mbakyu Rana. Aku ndak tega, Mas...”

Swandito mengangguk-angguk. Sepenuhnya memahami penjelasan Seruni. Tak lama kemudian mereka sudah masuk ke jalan tempat salon Dahlia berdiri.

“Kalau Mbak Lia tanya kenapa kita lama datangnya, jawabnya apa?”

“Jujur saja bilang mampir dulu ke Timlo Sastro,” senyum Swandito. “Tapi sliramu yang ingin, bukan aku.”

“Hahaha...,” Seruni tergelak. “Oke... oke...”

Dan omelan Dahlia menyambut keduanya begitu sampai di salon.

“Dari mana saja jam segini baru datang?” tanya Dahlia, galak.

“Mampir ke Timlo Sastro dulu, Jeng,” jawab Swandito sabar.

“Aku yang ingin, bukan Mas Swan,” sahut Seruni, tersenyum simpul.

“Kamu ini lho, wong lagi pingitan kok malah keluyuran ke mana-mana,” Dahlia menyemprot Seruni. “Panjenengan juga,” tatapannya beralih pada Swandito. “Mbok ndak usah semua-semua keinginan Seruni dituruti. Kalau sampai ada apa-apa, apa ya ndak aku to, yang didukani4) Romo dan Ibu?”

Seruni dan Swandito sama-sama terdiam sambil mengulum senyum. Sejenak kemudian, ketika Dahlia berbalik dan berjalan dengan cepat ke arah ruang dalam salon, Seruni segera mendorong bahu Swandito dengan lembut.

“Sudah sana, Mas. Terima kasih aku sudah dijemput dan diantar dengan selamat sampai ke sini. Terima kasih juga traktirannya. Ndak usah dengarkan omelan Mbak Lia. Nanti aku yang menghadapi.”

“Ya sudah,” Swandito mengangguk. “Aku jalan dulu ya, Dik. Minta maaf nanti ndak bisa jemput. Aku ada kerjaan banyak hari ini.”

Seruni mengacungkan jempolnya.

“Runiii! Ayo, cepat sini!”

Seruni pun tak membuang waktu lagi dan segera melesat ke ruang dalam salon. Dahlia sudah menunggunya untuk melakukan perawatan berupa luluran.

* * *

Seruni meraih ponselnya begitu ada nada PING! lirih yang berasal dari akun BBM-nya. Matanya membulat seketika, mengetahui siapa yang mengiriminya BBM malam-malam begini.

Rengga : ‘Dik Seruni, selamat malam... Maaf mengganggu. Sampun sare punapa dereng?5)

PING!

Seruni buru-buru membalasnya : ‘Dereng6), Mas. Sugeng dalu7)... Bagaimana? Ada kabar apa?’

Rengga : ‘Ndak ada apa-apa, Dik. Cuma ingin mengobrol sebentar. Tapi seandainya mengganggu, ndak apa-apa, kapan-kapan saja.’

Seruni : ‘Ndak mengganggu kok, Mas. Monggo, dilanjut saja.’

Rengga : ‘Aku bertemu Jeng Dahlia kemarin pagi. Di salon. Ndak sempat ngobrol banyak.’

Seruni : ‘Mm... ya, Mas Swan sudah cerita padaku. Mas Swan tahu karena Mbak Lia bercerita sendiri padanya.’

Rengga : ‘Kok Dik Runi ndak pernah cerita kalau Jeng Dahlia sudah menikah lagi?’

Seruni : ‘Apa yang harus aku ceritakan, Mas? Panjenengan kan juga ndak pernah bertanya. Lagipula, saya ndak enak sama suwargi Mbakyu Rana.’

Rengga : ‘Sudah lama menikahnya?’

Seruni : ‘Sekitar tiga tahun yang lalu.’

Rengga : ‘Dia bahagia?’

Seruni tercenung sejenak. Tampaknya ia harus lebih berhati-hati dalam menerjemahkan kehidupan Dahlia sekarang.

Seruni : ‘Yang jelas, perlakuan Mas Swandito terhadap Mbak Dahlia bagai langit dan bumi kalau dibandingkan dengan perlakuan suwargi Mas Dipta.’

Rengga : ‘Apa betul dia yang sebenarnya hendak dijodohkan dengan sliramu?’

Seruni meringis dalam hati. Entah kenapa, hingga detik ini, masalah itu masih juga menimbulkan sensasi nyeri di hatinya ketika disingkap kembali. Dan ia tak punya pilihan lain kecuali mengetikkan kata : ‘Ya.’

Pembicaraan dalam diam itu berhenti sesaat. Sesuatu kemudian berkelebat dalam benak Seruni. Tapi ia belum bisa menerjemahkannya sekarang. Bagaimanapun, ia harus memperoleh persetujuan seseorang terlebih dahulu sebelum melakukan ‘hal nakal’ itu.

Rengga : ‘Ya sudah, Dik. Malam sudah agak larut. Selamat istirahat. Besok-besok kalau ada kesempatan, kita ngobrol lagi. Pareng8)...’

Seruni : ‘Monggo, Mas. Selamat istirahat. Sun sayang buat Lili.’

* * *

“Bagaimana menurut panjenengan, Mas?”

Swandito merasakan kepalanya bertambah pening. Beberapa tahun mengenal Seruni membuatnya secara utuh memahami bahwa adik iparnya yang hanya satu ini memang benar-benar ajaib. Selanjutnya ia berusaha keras untuk tetap berkonsentrasi pada setir mobilnya.

“Ya terserah sliramu to, Dik,” ucapnya kemudian.

“Masalahnya, aku ndak enak kalau ndak mengundangnya,” gumam Seruni, seolah bicara pada dirinya sendiri. “Wong kami kenal baik. Dia juga kenal dengan Mas Hazel.”

“Ya makanya...,” ucap Swandito sabar, “kalau memang dipandang perlu ya diundang saja. Mumpung harinya masih agak jauh.”

“Tadi pagi aku sudah konsultasi sama Eyang, Romo, dan Ibu. Semuanya setuju. Tapi panjenengan ndak apa-apa, Mas?”

“Kok lantas dihubungkan dengan aku?” Swandito balik bertanya.

Seruni termangu sejenak.

“Ya jelas berhubungan,” jawabnya kemudian. “Mas Rengga itu mantannya Mbak Lia. Sementara Mbak Lia kan garwane panjenengan to, Mas...”

“Sudahlah, ndak apa-apa,” senyum Swandito. “Kalau perlu nanti aku sendiri yang mengantarkan undangan padanya.”

“Hah?” Seruni ternganga.

“Dan seandainya memang mbakyumu menghendaki, biarlah dia kembali pada Rengga.”

Makin Seruni berpikir, usul Swandito itu terdengar makin ‘mengerikan’ di telinganya.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya :  Ruang Ketiga #4


Catatan :

1. Dirasani = dibicarakan.
2. Ndherek belasungkawa (baca : belosungkowo) = turut berduka cita.
3. Garwane = suaminya / istrinya (dari kata garwa – dibaca : garwo – yang artinya suami atau istri, tanpa memandang gender).
4. Didukani = dimarahi.
5. Sampun sare punapa (baca : menopo)  dereng? = Sudah tidur atau belum? (versi kromo inggil, bahasa Jawa dengan tingkatan paling halus).
6. Dereng = belum.
7. Sugeng dalu = selamat malam.
8. Pareng (dalam konteks pembicaraan ini) = permisi (hendak pergi / meninggalkan) ; arti lain = boleh.

18 komentar:

  1. Balasan
    1. Hehehe... iya, Bang...
      Makasih singgahnya ya...

      Hapus
  2. Nyiapin sapu tangan atau tisu ah..

    BalasHapus
  3. Lah kok saya malah ngiler liatin ilustrasi gambarnya tan, eh *salah pokus* :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduuuh... itu bener-bener meleset jauh fokusnya, hahaha...
      Makasih mampirnya ya, Mbak...

      Hapus
  4. Part ransel kambek skuter iku ko' rasane familiar yo mba. Aq tau dicritani sopo ngono wakwakwakwak
    *desiuuuuung ngilang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jiaaah... Ngilaaang... Muncul-muncul baby-ne wes lair! Selamat ya, Nit...
      Ih lucu bangeeettt! *gemeeesss*

      Hapus
  5. Penisiriiiiiin......sama lanjutannya
    Komen oot ya mbak...aku belum pernah makan timlo...kesian banget ya hihihi...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi... aku malah nggak suka, Mbak, kan berdaging ;)
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  6. nada terakhirnya..itu sudah kelihatan klo Swanditomulai jengkel ya...

    BalasHapus
  7. Lah kok Dahlia disuruh balik ke Rengga?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hayooo gimana nih? Hehehe...
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  8. Suasana Jawa-nya berasa banget :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... semoga nggak membosankan. Makasih mampirnya, Mas...

      Hapus