Kamis, 29 November 2018

[Cerbung] Sekeranjang Hujan #4-1









Sebelumnya



* * *


Empat


Pingkan mengikuti Sonia turun dari mobil. Ia belum pernah menginjakkan kaki di tempat itu. Rumah yang terlihat besar dengan halaman luas yang sangat asri itu seolah menyambut kedatangan mereka dengan hangat.

Semua itu berawal dari obrolan ‘terpaksa’-nya dengan sang mama akhir minggu lalu.



“Ujian akhir semestermu sudah selesai?”

Pingkan mendongak mendengar pertanyaan ibunya. Ia langsung mengangguk. Sonia duduk di sofa tunggal tak jauh darinya. Pingkan kemudian menunduk lagi, menatap layar ponselnya.

“Kamu mau liburan ke mana kali ini?” tanya Sonia dengan mata berbinar-binar.

Pingkan mengangkat lagi wajahnya. Kalau tadi ia mengangguk, kali ini ia menggeleng. Segunung rasa malas tengah melandanya saat ini. Ia sedang tak ingin ke mana-mana seperti libur-libur yang lalu. Hanya ingin menekuri hujan di awal tahun. Mencoba menemukan kembali rasa cintanya terhadap hujan.

Belakangan ini ia merasakan bahwa kehidupannya sudah melenceng makin jauh dari garis mimpi yang sudah digambarnya. Ada yang sudah membuat garis itu berantakan di tengah-tengah, tanpa ia mampu berpikir bagaimana harus menggambar ulang garis mimpi selanjutnya. Ia sudah lelah.

Betapa ia merasa bahwa Tuhan tidak adil. Ia selalu berusaha untuk hidup pada garis lurus. Melakukan semua hal baik yang sudah seharusnya dilakukan sepenuh hati, dan menghindari jalur melingkar-lingkar yang membawanya pada kesesatan.

Tapi lihatlah apa yang terjadi padaku!

Ia tersenyum getir. Teringat setiap gugatan yang diraungkannya dalam hening.

Di mana Tuhan ketika mimpi buruk itu menimpaku? Kenapa hal buruk itu harus menimpaku? Apa kesalahanku sehingga dihukum sedemikian rupa seperti ini?

Gugatan-gugatan yang tak pernah terjawab hingga detik ini. Bahkan terkadang ia berpikir bahwa sesungguhnya Tuhan itu tidak ada. Bahwa Tuhan hanyalah ilusi manusia yang mendambakan pelindung sekaligus kambing hitam.

“Mau ikut kegiatan Mama?”

Pingkan tersentak. Terpaksa menarik diri keluar dari dialog antara hati dan pikirannya.

“Di mana?” ia menanggapi. Lirih. Setengah hati.

“Rumah singgah.”

Entah rumah singgah yang mana, Pingkan tidak bisa menduga. Ibunya terlalu banyak kegiatan sosial ini-itu. Tak sampai mengabaikan keluarga, suami, dan putra-putrinya tentunya.

“Ngapain aja?”

“Kamu bisa bantu ngajar pengenalan bahasa Inggris. Atau dasar-dasar rias wajah dan potong rambut. Atau buat pola baju dan menjahit. Atau merajut juga oke, kan?”

Pingkan mengerucutkan bibir. Semua hal itulah yang pernah ia pelajari secara serius untuk mengisi hidupnya, saat terdampar dalam sumur gelap tak berdasar beberapa tahun lalu.

Ia berpikir sejenak, sebelum mengambil keputusan.

“Boleh, deh,” angguknya kemudian.



Keputusan itulah yang membawanya ke sini. Sebuah rumah singgah yang khusus diperuntukkan bagi perempuan-perempuan ‘ternoda’ sekaligus ‘terbuang’ karena ingin mempertahankan kehamilan dan kelahiran yang tak diinginkan.

Oh, ternyata ada juga tempat seperti ini.

“Oh! Ini yang namanya Keke?”

Seorang perempuan sepuh berusia menjelang akhir enam puluhan menyapanya dengan sangat hangat.

“Panggil saja Tante Amey,” lanjut perempuan itu, tetap dengan nada hangat dan renyah. “Atau panggil Oma juga boleh.”

“Tan, saya ke workshop dulu, ya,” sela Sonia.

Amey segera menyetujuinya, dan Sonia pun meninggalkan Pingkan bersama Amey. Perempuan sepuh yang terlihat masih enerjik itu kemudian mengajak Pingkan berkeliling, sambil menuturkan riwayat pendirian tempat itu. Pingkan menyimak baik-baik sambil sesekali melongokkan kepala ke ruang-ruang kecil tempat kursus pemberdayaan tengah dilangsungkan.

“Nah, kira-kira Keke bisa bantu apa, nih?” senyum Amey terlihat begitu lebar, hangat, dan tulus.

Semangat Amey pun sedikit demi sedikit menular pada Pingkan.

“Mm ...,” Pingkan berpikir-pikir sembari mengetuk-ngetukkan ujung telunjuk kanannya pada dagu. “Saya bisa ngajarin potong rambut sama rias wajah, Oma. Kalau menjahit, belum pede, cuma sekadar bisa. Pengenalan bahasa Inggris juga boleh,” bibir Pingkan menyunggingkan seulas senyum. “Dasar bahasa Jepang juga ayo. Merajut bisa, baik crochet[1] maupun knitting[2].”

“Wah!” Amey menepukkan kedua telapak tangannya. “Kamu hebat sekali!”

“Ah, cuma tahu sedikit dasarnya saja, kok, Oma,” Pingkan merendah.

“Ah, rasa-rasanya, kok, Oma nggak percaya, ya?” Amey terkekeh, membuat Pingkan tersenyum geli.

Rumah singgah itu ternyata menyambung dengan rumah pribadi keluarga Amey di sebelahnya. Amey membawa Pingkan ke sana. Duduk nyaman di teras belakang yang menghadap ke sebuah kolam penuh berisi ikan koi. Keduanya kemudian bicara soal niat Pingkan membantu di rumah singgah.

Tengah asyik mengobrol, ada suara yang mengusik mereka. Keduanya menoleh. Seketika Amey berdiri dan mengembangkan kedua lengannya. Seorang ABG tenggelam dalam pelukan Amey. Remaja putri itu cantik dengan mata besar, bening, dan penuh semangat. Wajahnya cantik dalam bingkai rambut lurus, lebat, dan hitam legam bermodel bob pendek.

“Ini cucu sulung Oma,” Amey tak lupa memperkenalkan ABG yang ternyata cucunya itu kepada Pingkan. “Sebentar lagi masuk SMP.”

ABG itu mengulurkan tangannya dengan wajah dan sikap seramah neneknya kepada Pingkan.

“Hai, Kak! Aku Qiqi,” senyum remaja itu terlihat begitu mencerahkan dunia.

“Pingkan. Panggil saja Keke,” Pingkan menyambut senyum dan uluran tangan gadis remaja itu.

Gadis remaja cantik itu hanya memiliki lengan kanan saja. Tidak lengan kiri. Hal yang membuat Pingkan seketika mendegut ludah.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)


Catatan :
[1] Crochet = merenda; merajut dengan menggunakan alat jarum berkait pada satu atau dua ujungnya, ukuran dan bahannya bermacam-macam.
[2] Knitting = merajut; merajut dengan menggunakan alat dua buah batang seperti sumpit  berujung lancip, dengan ukuran, bahan, dan bentuk bermacam-macam.