Sebelumnya
* * *
Kana terduduk diam di sebelah Aldebaran yang sibuk dengan kode-kode untuk mengunci semua portal tak stabil yang menghubungkan Bhumi dengan jalur galaksi Triangulum. Aldebaran pun tak lupa memeriksa kembali keamanan jalur dari Bhumi ke galaksi Andromeda. Sejauh ini, ia bisa bernapas lega karena jalur yang selalu dibersihkannya dari semua gangguan itu tetap dalam kondisi aman.
“Rasa-rasanya kita harus menghubungi Ibu Salindri,” gumam Kana, pada satu detik. “Aku mengkhawatirkan keselamatan Moses dan timnya.”
Aldebaran menoleh sekilas dalam hening. Ia menekan tombol-tombol tertentu pada panel besar yang terbentang di hadapannya. Tapi sejenak kemudian ia menggeleng.
“Sepertinya Ibu Salindri sudah berangkat ke Gerose,” suara Aldebaran terkesan muram. Ia mendapati bahwa jalur komunikasi mereka dengan Salindri sudah berada di luar jangkauan. “Aku sudah telanjur menutup semua jalur komunikasi dan portal lubang cacing yang mengarah ke Triangulum.”
Kana menghenyakkan punggungnya ke sandaran kursi. Tapi sedetik kemudian ia menegakkan punggungnya lagi.
Apakah mungkin ....
Ia menyipitkan mata.
“Ada apa?” Aldebaran kini menatapnya. Tadi sempat ikut tersentak karena ekor matanya menangkap gerakan cepat Kana.
“Apakah ... kira-kira bisa ... aku menghubungi Ibu Salindri ... dengan telepati?” suara Kana terdengar penuh keraguan.
“Secara teori bisa,” Aldebaran mengangguk.
Sebuah jawaban positif yang membuat semangat Kana timbul kembali.
“Coba saja,” dukung Aldebaran. “Tapi ....”
“Apa?” Kana menoleh cepat.
“Kamu butuh banyak energi untuk melakukannya. Triangulum terlalu jauh.”
Bahu Kana turun seketika. Ia kembali menghenyakkan punggungnya.
Sejenak hening, sebelum Aldebaran memecahkan sunyi itu dengan suara beratnya, “Kamu bisa pakai energiku, Na.”
Sebelum Kana paham dan menanggapi, Aldebaran sudah memutar arah duduknya, menghadap ke arah Kana. Dengan gerakan halus, ia menjangkau kursi yang diduduki Kana dan memutarnya. Kini, mereka tepat berhadapan. Aldebaran mengulurkan kedua tangan dengan posisi telapak menengadah.
“Ayo, letakkan kedua telapak tanganmu di sini,” ujar Aldebaran, menyerupai bisikan.
Dengan ragu-ragu, Kana pun mengulurkan kedua tangannya, dengan posisi telapak menelungkup. Ditempelkannya kedua telapak itu pada telapak Aldebaran. Pertama, yang ia rasakan adalah kehangatan yang luar biasa. Tapi beberapa detik kemudian ia menarik kedua tangannya dengan rupa kaget. Aldebaran melipat bibir dengan sedikit ekspresi geli bermain di wajahnya.
“Pelajaranmu dengan Ibu Salindri belum sampai di sinikah?” Aldebaran mengangkat alis.
“Soal transfer energi begini?” Kana menengadah sembari menggeleng. “Belum.”
“Pantas...,” gumam Aldebaran.
“Apakah memang menimbulkan sensasi seperti kena setrum?” wajah dan nada suara Kana sangatlah polos.
“Ya.” Aldebaran mengangguk tegas. “Itu tandanya energi kita sudah selaras. Tidak akan menyakitimu. Tapi kalau setrumnya terasa mulai melemah, kita harus berhenti.”
“Kenapa?” Kana masih menatap dengan sorot mata polos layaknya kanak-kanak.
“Karena,” jawab Aldebaran dengan nada sangat sabar, “kalau kita memaksa meneruskannya, aku tidak bisa lagi mengendalikan transfer energi ini. Akibatnya, aku bisa menyedot balik energimu. Akibat lanjutannya, kamu bisa kehilangan energi dan ...,” Aldebaran menyilangkan tangan di depan dada dengan telapak terkepal.
Kana langsung bergidik melihatnya. Tanda X. Simbol semesta atas kata yang berhubungan dengan ‘kematian’. Ditatapnya Aldebaran dengan mata bulatnya.
“Ayolah,” senyum Aldebaran kemudian. “Ini aman, kok. Aku sudah bisa memperkirakan seberapa besar energiku yang bisa ditransfer. Kalau harus berhenti, aku tinggal menarik tanganku saja. Kita terlepas, dan... beres!” Aldebaran menjentikkan jari. “Mudah saja.”
Mudah? Kana mendegut ludah. Dialah yang bisa memperkirakan dan dialah yang bisa memutuskan untuk menarik tangan. Jadi ... nasibku tergantung pada kemurahan hatinya? Oh, nooo ....
Seketika Aldebaran menyipitkan mata. Menatap Kana dengan sorot mata ‘terhina’.
“Aku tidak sejahat itu sampai menginginkan kematianmu, Kanaka Kamala.”
Kana tersentak. Suara Aldebaran terdengar seperti berasal dari tempat yang sangat jauh. Dikerjapkannya mata.
Demi Moses ....
Dan, ia pun memutuskan untuk mengulangi proses itu dari awal. Kali ini, ialah yang mengulurkan kedua tangannya lebih dulu, dengan posisi telapak tertelungkup. Aldebaran pun mengulurkan kedua tangannya pula.
Kehangatan itu mulai terasa menjalari kedua telapak tangan Kana, lalu tersebar ke seluruh tubuh dengan sangat cepat. Ia kembali merasakan sensasi setrum itu. Tapi kali ini ia sudah siap. Apalagi ternyata setrum itu konstan saja. Tidak terlalu kuat ataupun menyakitnya, tapi sangat terasa seolah-olah mencubit-cubit kedua telapak tangannya.
Lalu, begitu saja ia tahu harus berbuat apa. Ia pun memejamkan mata dan mulai mencari frekuensi Salindri di antara jutaan frekuensi yang terserak begitu saja di sekitarnya.
* * *
Dalam perjalanan menuju ke Gerose, Salindri dan Ratu Amarilya bertukar pikiran tentang strategi yang bisa dipakai untuk menghadapi keganasan kaum Maleus. Dalam hati, Salindri mengagumi ratu berusia muda itu. Sangat-sangat cerdas dan juga terlihat sangat tangguh, walaupun tertutupi dengan sempurna dengan segala kelembutannya.
Tapi, pada satu detik, ia tersentak dan menghentikan bicaranya. Ia menegakkan punggung dengan sikap waspada. Ada yang sedang mencoba menembus frekuensi pribadinya. Ia mengerutkan kening.
“Mohon maaf, sebentar, Ratu Amarilya,” ucapnya dengan wajah sedikit tegang.
Ia kemudian duduk tegak, memejamkan mata, dan menundukkan kepala. Tapi ketegangannya segera memudar. Kini, ia tahu siapa yang sedang mencoba ‘mengganggu’-nya.
‘Kana, kamukah itu?’
’Ah ...,’ suara yang mengganggu benak Salindri itu terdengar bernada lega. ‘Akhinya saya bisa menghubungi Ibu.’
‘Pelajaran kita belum sampai di sini. Bagaimana kamu bisa?’
‘Entahlah, Bu. Aldebaran yang meminta saya memakai energinya.’
‘Oh, kalau begitu, kita tak bisa berlama-lama. Jarak kita terlampau jauh. Aku sudah berada di lorong lubang cacing menuju ke Gerose.’
‘Baiklah. Bu, Profesor Sverlin menghilang dari Tandan. Ada jejak dia pergi ke Gerose. Tujuannya membunuh Moses.’
‘Ah! Dasar orang gila! Jangan khawatir, Na. Akan kubereskan dia dengan tanganku sendiri.’
‘Terima kasih, Bu. Oh, ya, satu hal lagi. Yang Mulia Gematri tampaknya akan menyusul ke Gerose.’
‘Sudah kuduga ...,’ suara Salindri lebih menyerupai gumaman. Seperti paham akan suatu hal.
Di seberang sana, ketika Kana hendak menanyakan tentang hal itu, dirasakannya cubitan-cubitan di telapak tangannya mulai berkurang kekuatannya. Ia pun buru-buru mengakhiri hubungan telepatinya dengan Salindri.
‘Bu, saya akhiri, ya.’
Sebelum Salindri sempat menanggapi, hubungan telepati itu terputus begitu saja.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)