Sebelumnya
* * *
Enam
Penjelasan singkat Xavier membuat Moses dan timnya terhenyak. Ada penyusup dari segala arah yang masuk ke planet Gerose. Rupanya kaum Maleus yang diisolasi di satelit Lostrex tidak tinggal diam. Dan, rupanya mereka berhasil menjalin komunikasi dengan para Maleus yang tersebar di seluruh galaksi Triangulum. Di samping itu, mereka mengacaukan gelombang energi di Gerose dan berhasil menjebol kode portal lubang cacing yang menghubungkan Triangulum dengan berbagai tempat.
“Kalian aman di bunker ini,” sekilas Xavier melihat ke sekelilingnya.
Bunker raksasa di bawah permukaan tanah itu dibuat nyaris sama dengan sistem pemukiman penduduk sipil di atas. Seluruh lantai, dinding, dan langit-langitnya berlapiskan batu granit. Ditunjang oleh sumber energi terlindung, dan pasokan makanan berlimpah. Ada kompartemen khusus bagi para tamu yang dilindungi pasukan keamanan berjumlah delapan belas orang. Dalam kompartemen itulah Moses dan timnya berlindung untuk sementara waktu.
“Apakah ada kemungkinan kami bisa menghubungi Andromeda dari sini?” tanya Moses tiba-tiba.
“Secara teori bisa,” Xavier mengangguk. “Coba saja. Nanti saya kirimkan alat komunikasi yang kompatibel dengan frekuensi energi di sini.”
Moses mengangguk. Sejenak kemudian Xavier berpamitan. Ia harus kembali ke tempat seharusnya sebagai kepala pusat keamanan planet Gerose. Nasib Gerose tergantung pada kelihaian otak dan kecepatan berpikirnya untuk mengatur strategi.
Sepeninggal Xavier, Moses mengeluarkan alat komunikasi dari dalam ranselnya. Beberapa saat ia termangu. Tak tahu apa yang harus dilakukannya dengan alat itu. Frekuensi Gerose dan alat komunikasi Kana tentu sangat berbeda. Entah bagaimana membuatnya selaras.
“Bos,” gumam Dodge tiba-tiba.
“Ya?” Moses menoleh sekilas.
“Sudah pernah coba pakai kode jingga?”
Moses tersentak. Kode jingga? Ah! Kenapa tidak terpikir olehku sejak kemarin-kemarin?
Kode jingga adalah jalur khusus yang menghubungkan secara langsung setiap alat komunikasi para ilmuwan dan peneliti di Observatorium Tandan dengan alat komunikasi Aldebaran sebagai kepala keamanan. Sangat berguna saat mereka didesak kondisi darurat yang mengancam keselamatan jiwa.
Tapi dari sini? Moses mengerutkan kening. Apakah tetap bisa?
Selama ini Moses belum pernah menghadapi kondisi darurat yang membuat ia merasa harus menggunakan kode jingga itu. Sehingga, ia pun melupakannya begitu saja. Maka, dengan ragu-ragu, ditekannya tombol kecil berwarna jingga di sudut kanan atas alat komunikasinya.
Sejenak tak terjadi apa-apa, hingga akhirnya....
* * *
Salah satu ruang pertemuan di istana Catana menjadi tujuan berikutnya. Seusai menikmati jamuan makan siang, Ratu Amarilya membawa para tamunya ke sana. Sebuah ruangan yang ditata sedemikian rupa hingga menjadi tempat yang nyaman untuk bertukar cerita.
Kana terkesan sekali melihat isi ruangan itu. Tidak terlalu luas. Hanya berisi dua perangkat sofa empuk yang disusun jadi satu rangkaian dan aneka lukisan indah terpajang secara apik pada tiga sisi dinding. Tak ada perabot lain. Sisi dinding yang tersisa ditutup kaca bening dari sudut ke sudut. Menampakkan pemandangan taman luar ruangan yang tertata sangat indah dengan air mancur yang bersemburat warna pelangi.
Di situ, Ratu Amarilya menuturkan sejarah bangsanya. Bagaimana mereka bisa bersatu di bawah satu panji koloni kerajaan planet Catana, tentang upacara khusus Mitessaron yang berlangsung 28 tahun sekali di bawah empat bulan purnama penuh yang dimiliki planet Catana, dan dan juga pemberontakan kaum Maleus. Pemberontakan panjang yang sudah ditumpas berkali-kali, tapi masih juga meradang lagi. Bahkan kian parah.
‘Kalau aku yang jadi ratu, sudah lama yang namanya kaum Maleus itu cuma tinggal sejarah....’
Kana nyaris tak bisa menahan kuluman senyumnya mendengar kalimat itu bergema begitu saja dalam benaknya.
‘Ups! Kamu dengar rupanya, Na?’
Kana terkekeh dalam hati menerima kerlingan mata Salindri. Perempuan ayu itu juga kelihatan susah menahan senyumnya.
“Koloni Catana sudah berkorban terlalu banyak,’ lanjut Salindri. ‘Seharusnya itu jadi pertimbangan kepala negaranya untuk mengambil tindakan tegas. Tak perlu toleransi lagi supaya tak jatuh korban lebih banyak.’
‘Ya, Ibu benar. Tapi susahnya, kalau kita memaksakan kehendak seperti ini, bisa dianggap mencampuri urusan negara lain. Padahal kita lihatnya saja sudah gemas sekali.’
‘Iya. Lagipula Maleus itu mengacaunya di mana-mana. Kan, parah.’
Belum sempat Kana menanggapi lebih lanjut, ia sudah dikagetkan dengan gerakan tiba-tiba dari sebelah kirinya. Aldebaran mendadak saja berdiri. Dengan sangat sopan, laki-laki tinggi tegap itu minta izin sejenak untuk keluar ruangan. Tak hanya itu, ia pun menyeret Kana ikut serta.
“Ada apa?” bisik Kana ketika keduanya melangkah pergi.
Tapi Aldebaran menggeleng dengan wajah tegang.
* * *
Di tengah usahanya menyimak penuturan Ratu Amarilya, mau tak mau Aldebaran tersenyum dalam hati mendengar dua perempuan yang bergosip sendiri dalam hening di dekatnya. Tapi belum terlalu dalam menyimak lagi, ada gemerisik samar yang menggema dari earphone yang terpasang di telinga kirinya. Ia menunduk sedikit, menatap arlojinya. Seketika jantungnya berdebar keras.
Doktor Moses???
Seketika ia berdiri.
“Mohon maaf, alat komunikasi saya menangkap sinyal penting. Mohon izin keluar.”
Baik Gematri maupun Ratu Amarilya menganggukkan kepala. Aldebaran segera menarik tangan Kana. Gadis itu sempat ternganga sebelum menurut dengan sedikit segan.
“Ada apa?” bisik Kana sebelum keduanya mencapai pintu.
Aldebaran menggeleng. Kana mencebikkan bibirnya. Tak puas.
Keduanya kini sudah berada di luar ruangan. Sepasang penjaga yang berdiri di samping pintu menatap dengan sorot mata bertanya.
“Maaf, adakah tempat yang aman untuk menerima sinyal komunikasi antar galaksi?” tanya Aldebaran dengan nada sopan.
Salah seorang penjaga segera membawa mereka ke ujung lorong. Dibukanya sebuah pintu.
“Anda bisa memakai ruangan ini,” ucapnya.
Setelah mengucapkan terima kasih, Aldebaran kembali menarik tangan Kana.
Ruangan itu tidak terlalu besar. Dindingnya dilapis granit hitam dengan pendar pecahan batu bintang Irconid sebagai sumber penerangannya. Ada sebuah meja pualam bundar dengan enam kursi mengelilinginya.
“Doktor Moses mencoba membuka komunikasi lewat kode jingga,” bisik Aldebaran sambil membuka arlojinya.
Seketika Kana ternganga. Jantungnya berdebar liar. Moses? Kode jingga? Astaga....
Di salah satu dinding ruangan, proyeksi yang berasal dari arloji Aldebaran memantul sempurna. Begitu pula wajah Moses dan ketiga orang lain yang ada di sekitarnya. Terlihat baik-baik saja. Tapi....
Kode jingga?
Kana masih tak habis pikir.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)