Sebelumnya
* * *
Sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Bogor, hanya ada percakapan dua arah antara Donner dan Maxi. Bila ada orang ketiga yang menanggapi, itu pun hanya satu atau dua patah kata singkat saja. Donner bukannya tak menyadari hal itu. Tapi ia tak bisa berbuat lebih.
Di satu sisi, ia tahu betul bagaimana sesungguhnya perasaan Pingkan terhadap Maxi. Pada sisi yang sama, ia pun tahu bahwa Pingkan sama sekali tak bertepuk sebelah tangan. Maxi punya perasaan yang sama. Tapi di sisi sebaliknya, ia pun tahu kenapa Pingkan masih belum berani mengatakan ‘ya’. Sebabnya bukanlah hal yang ringan. Dan, ia tak tahu apakah perlu campur tangan ataukah tidak.
Membiarkan Pingkan membisu, itu sama kelirunya dengan bermulut ‘ember’ kepada Maxi. Walau maksudnya baik sekalipun. Ia jadi merasa serba salah.
Di sebuah SPBU sebelum masuk jalan tol, ketika Donner bermaksud mengisi penuh tangki BBM mobil Arlena, Maxi pamit untuk sejenak ke minimarket yang ada di kompleks SPBU. Selesai membayar dan menunggu Maxi, barulah Pingkan mengungkapkan kejengkelannya kepada Donner.
“Kenapa lu nggak bilang kalau ajak dia, sih?” sembur Pingkan dengan kemarahan sedikit tertahan.
“Lha, biasanya juga kita pergi bertiga atau berempat sama Tisha juga lu nggak kenapa-napa,” Donner melengak. Sok polos.
Pingkan mengembuskan napas keras-keras. Kesal sekali.
“Lagian ini gue pinjam mobil nyokapnya,” lanjut Donner dengan suara rendah.
“Iya, tapi, kan...,” Pingkan menggantung kalimatnya. Tak menemukan alasan yang tepat. Diembuskannya napas keras-keras sekali lagi.
“Ke, dia butuh penjelasan kenapa lu nolak dia,” gumam Donner, halus. “Kalau alasan lu nggak suka sama dia, nggak sayang, udah pasti dia tahu kalau lu bohong besar. Kalau...”
“Kalau gue jujur sama dia, gue juga bakal kehilangan dia,” sambar Pingkan, tandas. “Udah kehilangan dia, tambah lagi orang yang tahu sesampah apa gue.”
“Ke!” Donner mulai hilang kesabarannya. “Berapa kali, sih, kudu gue tekanin? Lu bukan sampah, Ke! LU BUKAN SAMPAH! Gue bener-bener minta maaf atas apa yang terjadi. Gue bener-bener nyesel kenapa itu terjadi sama kita. Dan, seandainya bisa, gue bersedia seumur hidup jagain lu, Ke. Tapi lu tahu sendiri kita ini sepupu. Hubungan darah kita segini dekatnya. Gue nggak bisa berbuat lebih jauh.”
Pingkan diam. Airmatanya merebak. Ia kemudian menyambar sehelai tisu dari kotaknya di dashboard, dan menyusut airmata itu dengan gerakan sedikit kasar. Pada saat yang sama, dilihatnya dari pantulan kaca spion, Maxi melangkah keluar dari dalam minimarket dengan menenteng sebuah kantung plastik yang cukup sarat isi, di bawah lindungan payung yang tadi dipakainya bersama Donner
Beberapa detik kemudian, Maxi menyelinap masuk ke dalam mobil. Diulurkannya kantung itu ke arah depan.
“Nih, gue beli minuman sama cemilan,” ujar Maxi. “Siapa tahu kena macet di tol.”
Sambil mengucapkan terima kasih, Donner mengambil masing-masing dua botol air mineral dan teh berperisa buah, dan sebungkus kacang telur. Dikembalikannya kantung itu kepada Maxi.
“Keke sudah?” tanya Maxi.
“Udah, udah gue ambilin,” jawab Donner sambil menyalakan kembali mesin mobil.
Sejenak kemudian, city car putih berpenumpang tiga orang itu sudah kembali meluncur membelah jalan basah di bawah siraman tetes-tetes hujan yang cukup deras.
* * *
Michelle menyambut kedatangan ketiganya dengan wajah cerah. Berbanding terbalik dengan muramnya cuaca di luar. Ketika Maxi hendak membantu menurunkan karung-karung dari dalam bagasi, Donner buru-buru mencegah. Apalagi sudah ada salah seorang karyawan ibunya yang datang membantu.
“Gue bisa dikampak bokap-nyokap lu kalau pinggang lu sakit lagi,” ujarnya.
Maxi tergelak ringan. Ketika ia berbalik, sudah tak dilihatnya lagi sosok Pingkan. Entah ke mana gadis itu. Tapi rupanya Michelle paham apa yang ada dalam benak sahabat putra bungsunya itu.
“Keke pasti langsung ke workshop,” ucap Michelle, tersenyum lebar. “Gimana, kamu sudah pulih benar?”
“Sudah hampir seratus persen, Tante,” jawab Maxi dengan sangat sopan.
Michelle menepuk-nepuk bahu Maxi sebelum mengajaknya masuk ke dalam rumah. Rumah keluarga Donner cukup besar. Terdiri dari dua kaveling yang saling memunggungi dan menghadap ke dua jalan yang berbeda. Bagian yang menghadap ke Blok H-5 adalah bagian muka rumah, sedangkan yang menghadap ke Blok H-7 adalah bengkel kerja, ruang pamer, sekaligus ruang kursus patchwork yang sudah beberapa tahun ditekuni Michelle.
“Kamu pesan makanan lewat Great-jek saja, Don,” celetuk Michelle. “Terserah mau makan apa. Sambil tunggu, tuh, ada lapis talas kesukaan kalian.”
Donner dan Maxi langsung menyerbu kotak berisi lapis talas yang ada di ruang makan. Di sanalah keduanya duduk sambil mengobrol setelah memesan makanan. Sedangkan Michelle kembali ke tempat usahanya.
“Kayaknya lu nggak bilang dia kalau gue ikut,” ujar Maxi.
Donner langsung paham arah bicara sahabatnya itu. Ditatapnya Maxi. Donner meringis sekilas.
“Ya, kalau gue bilang, pasti dia nggak mau ikut,” jawab Donner dengan suara rendah.
“Kasihan, Don, dia berasanya pasti kayak dijebak,” Maxi menggeleng samar.
Donner menghela napas panjang. Tapi sebelum napasnya terembus sempurna, suara Maxi serasa menohok dadanya.
“Sebenarnya, Keke kenapa, sih, Don?” gumam Maxi, untuk kesekian kalinya mempertanyakan topik yang sama. “Kok, kayaknya ogah banget jadian sama gue. Memangnya dia udah ada cowok?”
“Enggak,” seketika Donner menggeleng. “Nggak ada. Belum ada.”
“Lha, lantas?”
Donner menatap Maxi. Lama. Hingga kemudian keluar juga gumamannya.
“Dia... takut kehilangan lu, Max.”
Seketika Maxi ternganga. Tapi sejurus kemudian ia menggeleng.
“Nggak logis,” gerutunya.
“Justru logis,” sergah Donner. “Kalau lu tahu latar belakangnya, lu pasti paham kenapa dia bisa berpikiran seperti itu.”
Maxi melengak. “Gimana gue bisa tahu latar belakangnya kalau nggak ada yang mau jelasin ke gue?”
“Gue nggak bisa,” Donner menggeleng, menghindari tatapan Maxi. “Sorry, gue belum bisa, Max.”
Maxi mendesah. Kenapa bisa jadi rumit begini? Sebetulnya kamu itu kenapa, Ke? Kenapa??? Ditatapnya Donner.
“Sedikit saja, masa nggak bisa jelasin ke gue?”
Donner terlihat ragu sejenak. Dihelanya napas panjang beberapa kali.
“Keke...,” ucapnya kemudian, nyaris tanpa suara.
Tapi ucapannya terhenti sampai di situ. Jauh melampaui belakang kepala Maxi, tampak Pingkan tengah melangkah melintasi halaman belakang bersama Michelle. Langkah kedua orang itu sudah hampir sampai di selasar yang membatasi ruang makan tanpa sekat dengan halaman belakang yang berbentuk taman.
“Sudah pesan makanan, Don?” seru Michelle.
“Sudah, Ma!” Donner balas berseru.
Diam-diam, bersyukur atas kemunculan ibu dan sepupunya. Sementara itu, Maxi menatap dengan putus asa.
Ah! Kepotong lagi!
Ia hanya bisa mendesah dalam hati.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)