Sebelumnya
* * *
Tiga
Malam sudah hampir mencapai puncaknya, tapi matanya serasa sulit untuk dipejamkan. Dari dalam kegelapan kamar, Maxi menatap ke luar jendela kaca yang tirainya belum diturunkan. Sorot redup lampu jalan di depan rumah terbiaskan oleh tetes-tetes hujan yang terlihat bagai jutaan jarum berkilat menghunjam bumi. Dihelanya napas panjang. Sekadar melepaskan rasa sesak yang mengimpit dada.
Di antara jutaan tetes hujan itu, membayang wajah cantik Pingkan. Wajah yang menghanyutkan. Wajah yang semakin dipandang semakin menimbulkan debar dalam dada. Wajah yang lebih sering terlihat datar, nyaris tanpa ekspresi. Wajah yang membuat ia sering merasa tak ingin melakukan apa-apa selain membuatnya riang.
Kini, ia tahu alasan yang tersembunyi di balik penolakan Pingkan. Alasan yang membuat dadanya terasa makin sesak saat mengingatnya kembali. Alasan yang membuat Pingkan selama ini terkesan menarik diri dari pergaulan. Alasan yang membuat Pingkan vakum selama tiga tahun selepas SMA, tidak langsung lanjut kuliah. Alasan yang membuat Pingkan berubah dari pecinta menjadi pembenci hujan.
Ia terguncang mendengar cerita Donner senja tadi. Sangat. Cerita yang membuat wajah ceria Donner berubah menjadi sangat nelangsa saat menuturkannya. Cerita yang membuat ia ingin menenggelamkan Pingkan ke dalam pelukannya saat itu juga, seraya berbisik, “Tak apa-apa, aku akan menjagamu seumur hidupku.”
“Seandainya di antara Keke sama gue nggak ada hubungan darah sekental ini, gue bersedia menemaninya seumur hidup gue, Max. Menjaganya supaya dia nggak lagi mengalami kesakitan yang sama. Nggak semua orang bisa melihat secara objektif apa yang sudah terjadi padanya. Bahkan yang perempuan sekali pun. Dia sudah pernah menerima cap atas apa yang nggak pernah dia kehendaki untuk terjadi. Butuh waktu panjang buat dia untuk memulihkan diri. Tapi semuanya nggak lagi sama. Keke yang sekarang bukan lagi Keke yang dulu. Karakter aslinya sudah telanjur terbunuh. Dan, itu semua salah gue, Max. Salah gue....”
Maxi menggeleng samar ketika suara Donner terngiang kembali di telinganya. Ia mengerjapkan mata ketika hujan menderas di luar sana. Diliriknya sekilas jam digital di atas meja. Sudah hampir pukul dua belas. Mendadak saja ia merasa haus. Rasa yang membuatnya beranjak keluar kamar dan turun ke dapur.
Sampai di pertengahan tangga yang menghubungkan lantai atas dengan ruang keluarga, dilihatnya televisi masih menyala. Ketika ia menengok ke arah sofa, dilihatnya sang adik tengah asyik menonton film di televisi sambil bergelung nyaman di bawah selimut. Sejenak ia menghampiri adiknya.
“Belum bobok, Mel?” gumamnya. Duduk sejenak di sofa tunggal dekat Mela.
“Belumlah... Malam Sabtu begini. Filmnya bagus, nih, Mas,” Mela meringis sekilas.
“Tumben, berani nonton horor sendirian?” Maxi melebarkan matanya ketika menangkap adegan cukup mengerikan dalam film.
“Kan, sama Papa,” Mela terkekeh ringan. “Tuh, lagi bikin minum.”
Maxi menoleh ke arah dapur. Pintunya terbuka lebar dan lampu di dalamnya masih menyala.
Oh... Pantesan....
Ia kemudian teringat tujuannya turun. Maka, ia pun beranjak ke dapur setelah sebelumnya sempat menepuk lembut kepala Mela. Di ambang pintu ia berpapasan dengan ayahnya yang membawa dua buah mug.
“Ini si Mela bukannya buatin minum Papa, malah kebalik,” gerutu Maxi. “Durhaka banget.”
Prima, sang ayah, tertawa ringan.
“Dia memang nggak mau, kok,” Prima menanggapi sambil berlalu. “Biar saja Papa tetap buatin.”
Maxi menggeleng dengan rupa geli. Ketika meneruskan langkahnya, barulah ia melihat bahwa di dapur ada kakaknya tengah duduk menghadap island. Asyik dengan laptopnya.
“Lembur, Mbak?” Maxi melangkah ke sudut untuk mengambil gelas di rak.
“Enggak, cuma iseng aja rampungin novel.”
Maxi membuat segelas coklelat hangat, kemudian berbalik dan duduk di dekat Livi. Kakaknya itu menoleh sekilas.
“Icip,” ujarnya sambil meminta mug yang dipegang Maxi.
“Mau? Aku bikinin?”
Tapi Livi menggeleng, menjawab dengan jenaka, “Kenikmatan yang hakiki itu adalah sekedar gangguin adik dengan icip-icip minumannya.”
Maxi tersenyum lebar. Sambil mengembalikan gelas, Livi menatap sang adik.
“Ada apa?” tanyanya langsung.
“Apanya yang ada apa?” Maxi melengak.
“Kamu ada masalah apa?”
“Enggak,” Maxi menggeleng. “Nggak ada.”
“Hmm...,” Livi menyipitkan mata, sambil tetap menatap sang adik. “Mulutmu bilang ‘nggak ada apa-apa’, tapi mata dan wajahmu menyiratkan sebaliknya.”
Maxi kembali tersenyum. Sekadar menyembunyikan resah. Sejenak kemudian ia balik menatap kakaknya.
“Iya, ada sesuatu,” gumanya, akhirnya. “Tapi aku belum bisa cerita sama Mbak.”
“Kenapa?” ada nada sedikit menuntut dalam suara Livi.
Maxi tertegun sejenak. Tapi secepatnya ia menguasai diri.
“Ya..., karena memang belum bisa diceritakan sekarang,” jawabnya kemudian.
Livi manggut-manggut. Kembali menatap layar laptop. Maxi menyesap isi mugnya sembari diam-diam menatap wajah ayu kakaknya.
Kalau ‘hal itu’ terjadi pada Mbak Livi atau Mela? Maxi buru-buru menggeleng. Amit-amit! Jangan sampai!
Ia tersentak ketika Livi sedikit terlonjak kaget. Baru saja ada petir yang menggelegar.
“Duh, bikin kaget saja,” gerutu Livi.
“Hujannya nggak kira-kira belakangan ini,” gumam Maxi.
“Memang sudah musimnya, Max,” Livi menanggapi dengan nada santai. “Kamu kalau keluar pinjam saja mobil Mama. Hujan-hujan begini. Daripada tepar lagi kayak kapan hari.”
“Hmm....”
Keduanya menoleh ketika ada orang ketiga yang masuk ke dapur. Ibu mereka muncul dengan wajah mengantuk.
“Kaget petir, ya, Ma?” Livi tersenyum.
“Iya,” jawab Arlena. “Mana Mama sendirian lagi di kamar. Nggak tahunya pada kumpul di bawah.”
Perempuan berusia pertengahan empat puluhan itu mengambil cangkir dan membuat kopi. Sejenak kemudian ia duduk di sebelah Maxi. Meletakkan cangkir di island dan meraih lapis talas di dalam kotak plastik.
“Besok jadi kontrol, kan?” tanyanya seraya mengambil sepotong lapis talas yang tadi dibawa Maxi dari Bogor.
Maxi mengangguk.
“Sekalian sama Papa,” gumam Arlena lagi, sembari menyesap isi cangkirnya. “Ngomong-ngomong, kok, kayaknya Keke sudah lama nggak main ke sini, Max?”
Mendengar pertanyaan yang terkesan sambil lalu itu, ingin rasanya Maxi menciutkan diri dan lenyap dari dapur saat itu juga.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)