Senin, 26 November 2018

[Cerbung] Portal Triangulum #7-1









Sebelumnya



* * *



Tujuh


Asubasita hanya bisa mengumpat panjang pendek ketika Lurpmes – salah seorang anak buahnya –  sedang berjuang mempertahankan stabilnya pesawat kecil yang ia kemudikan. Keduanya memang terpental-pental tak keruan ketika pesawat itu oleng dan menabrak dinding di sepanjang lorong lubang cacing. Untung saja sabuk pengaman bisa mengikat mereka sedemikian rupa hingga tetap berada di jok. Untungnya lagi, perjalanan itu tak makan waktu lama. Hanya berkisar ratusan detik saja.

Seusai guncangan dahsyat yang terakhir, pesawat mereka keluar dari lorong dan terbang di langit remang di atas sebuah daratan tak terlalu luas dan terkesan tandus.

“Putari tempat ini,” perintah Asubasita.

Pesawat kecil itu pun terbang mengitari tempat itu, diikuti belasan pesawat kecil lainnya yang serupa. Daratan di bawah mereka terlihat seperti planet kecil yang didominasi warna abu-abu. Langit temaram karena bintang terdekat terlihat kecil dan redup. Tak tampak ada kehidupan di permukaan planet itu.

Pada sebuah titik, tampak gunung berapi yang mengalirkan lava pijar. Lurpmes mengikuti arah aliran lava itu. Muaranya adalah jurang dalam yang dasarnya terlihat membara. Bara itu membentuk garis berkelok yang ujungnya hilang di bawah sebuah gunung lain yang terlihat menjulang. Benar-benar suasana yang sunyi, kosong, gelap, sekaligus cukup mendirikan bulu kuduk.

“Mendarat saja di situ,” tunjuk Asubasita ke arah dataran yang cukup lapang, dikelilingi garis perbukitan batu yang sambung menyambung.

Sampai di atas dataran yang ditunjuk Asubasita, Lurpmes membuat manuver berputar sebagai tanda persiapan untuk mendarat. Beberapa belas detik kemudian, pesawat-pesawat kecil itu pun mendarat secara vertikal.

Debu kelabu beterbangan diembus sistem pendaratan pesawat. Mereka menunggu hingga debu itu menghilang, barulah keluar dari pesawat. Asubasita mengendus udara dengan penciumannya yang tajam.

“Hmm... Udara tipis,” gumamnya.

Tapi tak jadi masalah. Sistem pernapasan mereka mampu menyesuaikan diri dengan udara setipis apa pun. Bahkan kondisi hampa sekalipun.

“Di mana ini?” Asubasita melihat berkeliling.

“Bos, ada sumber energi di sekitar sini.” Bendrat melangkah mendekati Asubasita.

“Cari,” perintah Asubasita. Pendek.

Bendrat segera berjalan mengelilingi dataran itu. Kedua bahunya masing-masing menyandang sebuah kotak kecil penyimpan energi portabel, yang disebutnya kolektor. Disusurinya bukit-bukit, hingga sensor aktifnya menangkap gelombang energi yang makin kuat ketika ia melangkah mendekati sebuah bukit di arah pukul empat dari arah hadap moncong pesawat.

Ada sebuah lubang di tanah, di antara bebatuan. Berdiameter sekira tiga dekameter. Dengan sebuah alat berbentuk corong kecil, Bendrat mentransfer energi dari lubang itu hingga memenuhi kedua kolektor­-nya. Sejenak kemudian ia tersenyum puas, lalu kembali untuk melapor kepada sang bos.

“Kita ada di kuadran keempat sektor delapan Triangulum, Bos,” Lurpmes menatap layar monitor yang ada di tangannya yang berjari empat. “Tepatnya planet kerdil Stamos.”

Lurpmes mengangkat wajah, kemudian memutar badannya seratus delapan puluh derajat. Asubasita mengikuti gerakan anak buahnya itu. Lurpmes menunjuk ke satu arah, sekitar empat derajat di atas garis cakrawala.

“Itu Gerose, Bos,” ujar Lurpmes.

Dalam remang, Asubasita berhasil menangkap citra Gerose walaupun tidak terlalu jelas. Hanya setitik kecil bulatan yang memantulkan cahaya redup. Belum sempat lebih jauh mengamati langit, tiba-tiba ada sebuah meteorit berasap mendarat di kaki bukit, tak jauh dari tempat mereka berdiri. Satu meteorit diikuti puluhan meteorit lainnya. Asubasita segera tersadar bahwa mereka sedang diintai bahaya.

“Berlindung!” teriaknya. “Semua masuk ke pesawat!”

Serentak seluruh pasukan melompat masuk ke pesawat masing-masing. Bendrat segera melakukan tugasnya. Kedua tangannya segera bergerak. Membentuk gerakan melingkar di udara. Sedetik kemudian, sebuah kubah energi transparan sudah melingkupi seluruh area pendaratan pesawat.

Dari dalam pesawat masing-masing, seluruh pasukan bisa melihat bahwa ratusan, bahkan mungkin ribuan, meteorit yang seolah tercurah begitu saja dari langit terpental ketika menabrak kubah energi yang dibentuk Bendrat. Tabrakan itu menyebabkan letupan kecil yang meninggalkan cahaya warna-warni layaknya kembang api, disertai kepulan asap tipis.

Diam-diam, Bendrat khawatir. Bila hujan meteorit itu berlangsung lama, energi yang tadi berhasil disedotnya akan habis. Padahal hingga bermenit-menit lamanya, hujan meteorit itu tak menunjukkan tanda-tanda reda.

Ia melihat ke luar jendela pesawat. Dari sela-sela kepulan asap tipis di luar kubah energi yang tepinya menyentuh tanah, ia bisa melihat bahwa sumber energi yang ditemukannya tadi tidaklah terlalu jauh. Sayangnya, berada di luar kubah. Ia menatap layar indikasi kolektor-nya. Titik hijau masih ada di sudut kanan atas layar. Angka di sebelah titik itu menunjukkan angka 60%.

Ia pun memutuskan untuk mengisi dua buah kolektor cadangan yang selalu dibawanya.

Tapi...

Ia ragu-ragu sejenak.

Minta perlindungan kepada Bos?

Sekilas ia meringis.

Bisa dipenggalnya kepalaku!

Tapi, kali ini ia tak punya pilihan lain. Sambil menenteng dua kolektor cadangannya, ia pun meloncat keluar dari pesawat, dan berlari menghampiri pesawat Asubasita.

* * *

Sverlin terguncang-guncang hebat di dalam pesawatnya. Lorong yang dimasukinya ternyata benar penuh dengan energi yang tidak stabil. Terkadang ia merasa pesawatnya seolah tersedot, kemudian terlempar, terasa menghantam sesuatu, tersedot lagi, terlempar lagi, sejenak terasa mengapung sebelum tersedot atau terlempar lagi. Begitu seterusnya. Umpatannya penuh mewarnai udara dalam kokpit pesawat kecil itu.

Pada sebuah detik, ia benar-benar merasa menyesal sudah menuruti dorongan hatinya tanpa berpikir panjang lagi. Tapi pada detik berikutnya, tekadnya kembali bulat. Sedetik kemudian, tekad itu anjlok hingga sampai ke titik minus, bahkan menyentuh dasar garis pesimis. Penyesalan muncul lagi. Berganti dengan perasaan marah yang ia sendiri tak paham ujung pangkalnya. Begitu seterusnya. Berubah-ubah. Sama labilnya dengan energi di luar pesawat.

Lalu, pada saat yang sama sekali tidak ia duga, pesawatnya terlempar keluar begitu saja dari lorong lubang cacing. Oleng hebat. Nyaris tak terkendali. Ketika ujung hidung pesawat hampir saja menghunjam daratan, untungnya Sverlin bisa secepatnya menguasai kembali kemudi pesawat, dan membuatnya kembali terangkat ke udara.

Hampir saja!

Sambil berusaha menstabilkan laju dan posisi pesawat, Sverlin melihat ke luar jendela kokpit. Langit di sekitarnya tampak redup. Tak tampak ada bintang utama yang dekat dan menerangi. Dalam remang, ia membuat manuver memutar sambil melihat ke arah bawah.

Diaktifkannya kamera sirkuit yang terpasang di bagian bawah pesawatnya. Sedetik kemudian, citra daratan yang ada di bawahnya terlihat lebih jelas. Kosong. Tandus. Kelabu. Seperti layaknya planet mati.

Radar kemudian memberi informasi bahwa ada dataran dan gua yang bisa dipakainya untuk berlindung. Posisinya ada pada pukul lima. Sverlin pun memutar arah pesawatnya sesuai petunjuk radar.

Benar. Ada dataran sempit yang ada di tengah gundukan batuan berukuran raksasa. Ia pun mendaratkan pesawatnya pada dataran itu. Benar juga, bahwa ada ceruk serupa gua cukup besar di tengah bebatuan itu. Perlahan, ia meluncurkan pesawatnya mundur ke sana. Cukup sulit karena dataran sempit itu sama sekali tidak mulus kondisinya. Maka, ketika sudah berhasil parkir di dalam ceruk, Sverlin segera mengembuskan napas lega.

Saat mematikan mesin dan hendak meraih perangkat respirasinya, telinganya mendengar derum halus dari arah atas. Ia mendongak, dan melihat ada belasan pesawat kecil terbang melintasi dataran sempit itu.

Oh, aku tidak sendiri rupanya, gumamnya dalam hati.

Ia memutuskan untuk menunda niatnya keluar dari pesawat. Ia ingin memastikan bahwa kondisi benar-benar aman sebelum mulai menjelajah.

Setelah beberapa saat hening dan tak ada tanda-tanda rombongan pesawat itu melintas lagi, Sverlin pun mengenakan perangkat respirasinya. Bersiap untuk keluar dari pesawat.

Tapi, baru saja hendak membuka pintu kokpit, dari langit berjatuhanlah puluhan, bahkan mungkin ratusan meteorit serupa batuan bara yang berasap. Ia menatap dengan ngeri, sekaligus meringis kecut.

Moses sudah pasti tersasar sampai ke Gerose. Sedangkan aku?

Sverlin mendegut ludah. Tampaknya, ialah yang kini justru tersasar ke sebuah dunia antah berantah. Dunia yang terlihat suram, muram, dan tampaknya tanpa kehidupan.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)