* * *
HANANTO
Entah kenapa hari ini cuaca berbanding lurus dengan suasana di kantor. Di luar hujan turun tanpa jeda sejak hari masih gelap. Di dalam kantor pun tak kalah muramnya.
Dini hari tadi kedua anak bengal itu, Miko dan Harry, kecelakaan. Mobil yang dikemudikan Miko terbalik di jalan tol dalam kota. Penyebabnya, dia ngebut dalam keadaan mabuk setelah clubbing bersama Harry. Luka keduanya cukup parah. Sampai harus masuk ICU.
Sejak pagi Winny dan aku sudah kalang kabut. Kepalaku serasa mau meledak. Hari Senin depan akan ada auditor yang akan datang. Dan hari ini sudah hari Kamis. Sedangkan pekerjaan Harry yang bersangkutan langsung dengan audit itu malah nol besar. Winny menatapku dengan putus asa.
“Kita bisa buyar kalau caranya seperti ini, Han,” keluhnya.
Aku terduduk letih. Waktu merambat dengan cepat. Tahu-tahu sudah menjelang senja. Dean, asisten Harry, sudah gelisah dari siang. Entah sudah beberapa kali Winny dan aku menyemprotnya. Tak becus sama sekali. Akhirnya Winny menatap Dean dengan putus asa.
“Sudahlah, daripada kamu cuma jadi obat nyamuk tanpa guna di sini, kamu pulang saja,” ucap Winny getas.
Dean langsung angkat kaki begitu mengucapkan kata ‘permisi’. Winny menatap kepergian Dean dengan lega. Diam-diam aku pun merasakan kelegaan yang sama. Emosiku perlahan surut.
Aku menoleh ke arah Tiara, asisten Winny, dan Trifena. “Tolong kalian tinggal dulu ya?”
Mereka mengangguk serempak tanpa banyak kata. Berempat kami berusaha untuk mengurai kekacauan yang ditinggalkan Harry. Pada satu titik aku sebenarnya merasa sudah kehabisan tenaga. Aku lelah dan mengantuk sekali. Dengan bertumpu pada kedua tanganku, kucoba untuk sejenak menelungkupkan kepalaku di atas meja.
Semalam aku tidak bisa tidur. Entah kenapa dalam setiap milimeter bentang otakku hanya ada wajah dan tatapan Fena. Wajah yang penuh senyum di hadapan Adrian di kafe kemarin menjelang malam. Juga tatapan terkejutnya ketika melihatku di sana. Tatapan yang menghentikan sejenak laju duniaku.
Sudahkah rasa itu kembali? Dan mengkhianati Kinanti? Aku menggeleng.
“Pak...”
Sebuah sentuhan lembut sekilas menyapu punggung tanganku. Aku tersentak dan mengangkat kepala. Aku mendongak sedikit. Fena sedang menatapku.
“Maaf, Pak, saya mengganggu, tapi kalau Bapak capek, Bapak pulang saja. Biar saya yang membereskan ini,” ucapnya halus.
Aku menggeleng. “Tidak apa-apa, Mbak Fena.”
Dia masih menatapku, dengan sorot iba yang menguat. Dalam wajahnya juga ada garis kelelahan. Aku menghela napas panjang, dan mulai bekerja lagi. Hingga hampir jam delapan malam ketika Winny dan aku memutuskan untuk sementara mengakhiri keruwetan itu. Winny memijit-mijit pelipisnya.
“Mau ke rumah sakit, Han?” tanya Winny.
Aku menggeleng. “Capek aku, Win. Lagipula arah rumah sakit berlawanan begitu. Kamu?”
“Iyalah, aku saja yang mampir. Ya sudah kamu pulang saja. Titip Fena. Tolong antar dia pulang. Kan kalian searah.”
Aku tertegun sedetik. Mengantar Fena pulang?
“Bu, Fena biar sama-sama saya saja,” ucap Tiara.
“Lho! Arah pulang kalian kan berlawanan. Tidak praktis. Sudah, biar Fena diantar Pak Han.”
“Maaf, Bu, Pak, saya naik taksi saja,” ada yang menyahut cepat.
Kutatap Fena. “Mobil Mbak Fena ke mana?”
“Masuk bengkel, Pak.”
“Adrian?”
Fena menatapku dengan kening sedikit berkerut. “Adrian? Sudah pulang, Pak.”
“Lho, kok bisa-bisanya dia tidak menunggu?” aku sendiri terkejut dengan kalimat kerasku.
Fena masih menatapku, ada luapan rasa terkejut di dalam matanya, tapi kemudian dia menjawab halus, “Dia sudah punya acara sendiri, Pak.”
Aku menekan alarm mobilku. Ketika aku hendak masuk ke balik kemudi, suara Fena menahanku. Aku menoleh.
“Maaf, Pak, Bapak yakin bisa menyetir dalam kondisi terlalu letih begini?”
Aku tertegun. Tapi kesadaranku cepat kembali begitu melihat sorot khawatir dalam mata Fena. Kurasa ada sebuah semangat baru yang masuk ke dalam aliran darahku. Membuatku sedikit lupa pada pening dan letih yang kurasakan.
Aku mencoba untuk tersenyum. “Bisa, Mbak. Masuklah.”
Dan dia menuruti kata-kataku. Kubawa mobilku meluncur membelah jalanan yang masih ramai walau hujan rintik masih turun. Kulirik sekilas dia. Tangannya asyik memainkan smartphone-nya. Entah menulis pesan pada siapa. Mungkin pada Adrian.
Huh! Kenapa akhir-akhir ini sulit sekali untuk tidak mengaitkan Fena dengan Adrian? Apa yang ditangkap mataku adalah kedekatan yang lebih. Lebih dari wajar. Lebih dari hanya sekedar rekan sekantor. Tak pernah kulihat Fena tersenyum begitu lebar, tertawa, bahkan berbicara panjang lebar pada semua rekannya di kantor. Tapi semuanya itu dilakukannya di depan Adrian, pada Adrian. Tanpa sadar kuhela napas panjang.
“Pak, Bapak belum makan sejak tadi siang?”
Suara halus itu memecahkan keheningan.
“Eh, ya? “aku menoleh sekilas. “Belum, Mbak.”
“Bapak makan di rumah saya saja ya? Daripada terlalu lambat makan. Nanti Bapak sakit.”
Sungguh, aku tak tahu harus menjawab apa. Lihatlah! Dia begitu dekat, tapi mengapa sekaligus terasa jauh bagiku? Entah apakah aku masih bisa meraihnya untuk mendekat.
“Oh ya, Bapak panggil saya Fena saja ya, tanpa Mbak.”
Aku menghentikan mobilku. Lampu merah masih 118 detik lagi baru akan menyala hijau.
“Kenapa?” aku menatapnya dari samping.
“Ya... Sepertinya lebih enak kalau Bapak memanggil saya Fena.”
“Oh, begitu? Okelah!”
“Terima kasih, Pak. Oh ya, Bapak bersedia makan di rumah saya? Sebagai ganti tiga hari lalu saya tidak bisa memenuhi permintaan Bapak untuk makan siang bersama.”
Ada yang berdegup kencang dalam dadaku. Begitu kencang. Aku sampai khawatir dia akan bisa mendengarnya. Dan pesonanya yang memenuhi kabin mobilku membuatku mengangguk seketika.
Begitu saja.
Oh, God! Apa yang sudah kulakukan?
“Pak, bagaimana keadaan Pak Miko dan Pak Harry?”
“Oh... Yang kudengar sih Pak Miko gegar otak parah, kaki patah, luka dalam. Pak Harry tangan kirinya patah, tulang hidungnya juga, gegar otak juga kurasa. Dan entah apa lagi. Mungkin untuk beberapa minggu ke depan kita masih harus kerja keras lagi untuk membereskan kerjaan mereka.”
Kulajukan lagi mobilku. Agak tersendat karena ada genangan air di sana-sini. Jam digital di dashboard menunjukkan angka 08.34 PM. Pantas perutku sudah perih. Tiba-tiba ada sebungkus crackers disodorkan padaku.
“Silahkan, Pak.”
Aku mengambil dua keping. Ah! Kenapa dia tahu saja apa yang kubutuhkan saat ini? Makan malam. Snack pengganjal perut.
“Saya kaget, Bapak ternyata bisa marah juga, pada Dean,” ada nada tawa yang menggantung di ujung kalimatnya.
Mau tak mau aku tertawa. “Mau bagaimana lagi? Kalau aku tidak marah nanti malah bisa jadi bisul.”
Dia juga tertawa. Tawa paling merdu yang pernah kudengar. Sama merdunya dengan tawa Kinanti, tapi dalam tone yang sama sekali lain. Aku menikmatinya. Kenapa juga aku begitu bodoh tidak terlalu sering mengajaknya bicara?
“Rumah saya yang pagarnya krem itu, Pak,” tunjuknya.
Aku pun menghentikan mobilku di depan rumah mungil yang apik itu. Dalam temaram cahaya lampu taman, bisa kulihat ada tatanan rapi berbagai tanaman anggrek. Kelihatannya semua tanaman terawat dengan baik.
“Mari masuk, Pak.”
Aku mengangguk. Baru kutahu Fena tinggal di rumah ini hanya berdua dengan pembantunya. Ruang tamunya tak banyak pernik, tapi kelihatan begitu elegan. Ada foto besar yang tergantung di dinding. Seorang laki-laki dengan seragam pilotnya yang gagah. Foto yang sama dengan foto di sudut meja kerja Fena. Juga foto Fena berdua dengan laki-laki itu. Dalam ekspresi yang begitu hangat dan akrab.
Aku tak melihat foto keluarga yang utuh. Ah! Ternyata ada. Kecil, dia atas meja di sudut. Seorang perempuan cantik, Fena dalam balutan toga wisuda, dan seorang laki-laki. Tapi laki-laki dalam foto wisuda itu bukan laki-laki yang berseragam pilot. Dan di sebelah foto itu ada foto Fena dalam tawanya yang kelihatan lepas. Bersama Adrian.
Entah mengapa mendadak semangatku lenyap. Hilang menguap entah ke mana.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : Candlelight Dinner #8
Lagu latar : Until The Last Moment – Yanni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar