Dua
Episode sebelumnya : Candlelight Dinner #1
* * *
TRIFENA, Empat Tahun Yang Lalu
Sejak pagi aku sudah bersemangat tinggi. Semalam kubaca berulang kali SMS dari Ayah.
Fena sayang, besok kita ketemuan di kafe ya? Seperti biasa. Love, Ayah.
Betapa aku merindukan Ayah! Sudah empat Jumat aku tak bertemu Ayah. Ayah sibuk. Jadwal terbangnya penuh sekali.
Aku selalu menantikan pertemuanku dengan Ayah. Di sudut sebuah kafe. Di mana terkadang aku menunggu sejenak kedatangannya.
Lalu dia akan datang melalui pintu masuk. Dengan langkah begitu gagah. Dengan masih mengenakan seragam pilotnya. Dengan senyum lebarnya yang menyemarakkan dunia. Duniaku, tentunya. Kemudian dia akan memelukku dengan erat. Seperti tak ingin melepaskanku.
Selamanya dia menganggapku sebagai gadis kecilnya. Aku tak pernah dewasa di matanya. Tapi aku menyukai itu. Menjadi gadis kecil Ayah adalah segalanya bagiku.
Aku sudah menyiapkan baju yang kubeli empat hari yang lalu, dari gaji pertamaku. Sehelai gaun berbunga warna biru langit. Warna kesukaan Ayah. Sebiru langit yang tiap kali dijelajahinya.
Aku juga sudah menyiapkan sesuatu buat Ayah. Dalam sebuah kado mungil yang kubungkus sendiri. Sebuah jepitan dasi. Seharga setengah gajiku.
Rasa sayangku pada Ayah mengalahkan rasa sakit hatiku ketika dia memutuskan untuk mengabulkan permintaan Bunda. Bercerai. Lima tahun yang lalu.
Dia mengatakan 'iya' dengan satu syarat. Boleh bertemu denganku kapan saja dia mau. Bunda menyetujui syarat itu.
Sungguh, aku ingin sekali tinggal bersama Ayah. Tapi Ayah menggeleng tegas.
"Tak ada yang mengurusmu, Fena. Kamu tahu Ayah bisa berhari-hari tidak pulang."
"Tapi aku bisa mengurus diriku sendiri, Ayah..."
Ayah tetap menggeleng.
Katanya, "Kalau kamu sayang Ayah, tinggalah dengan Bunda. Dia mengurusmu dengan baik. Bila ada ayah baru untukmu, Ayah mohon, hormati dia, dan tetap cintailah Ayah."
Aku tergugu. Terpaksa luluh oleh kata-katanya.
Dia mendekapku erat. Aku menangis dalam pelukannya. Dia juga mengalirkan airmata. Seketika bulir bening itu membuatku berjuang untuk menghentikan tangisku.
Dalam hati aku berjanji, aku tak akan menangis lagi. Setidaknya tak akan pernah membuat Ayah mengangis lagi.
Dan aku terpaksa menyimpan tangis itu dua bulan yang lalu. Ketika dia tidak bisa mendampingi wisudaku. Aku harus merelakan posisinya digantikan oleh Om Adyaksa. Sebuah peran yang sungguh tak sepadan.
Aku tak pernah membenci laki-laki itu. Semuanya terasa sungguh tawar dan hambar. Seperti juga perasaanku pada Bunda. Makin lama makin tak ada rasa.
Sudah cukup usiaku untuk menyadari penyelewengan Bunda dengan laki-laki itu. Ayah jarang di rumah. Dan aku anak satu-satunya.
Mungkin Bunda kesepian. Tapi apakah benar bila itu dijadikan alasan untuk berselingkuh?
Betapa aku tak bisa melupakan tatapan nelangsa Ayah. Membuat rasaku pada Bunda terkikis habis. Aku masih anaknya. Dia masih bundaku. Dan dia tak pernah lalai mengurusiku. Tapi aku tak bisa memaksa rasaku untuk kembali. Tak akan pernah bisa.
Dan di sinilah aku sekarang. Terduduk sendiri di sudut kafe. Hanya ditemani nyala sebatang lilin, seporsi nasi sapo tahu, dan segelas es teh lemon.
Semuanya adalah kesukaan Ayah. Entah kenapa aku sore ini ingin sekali menikmatinya. Sekali lagi. Hingga semuanya habis. Hingga semuanya usai. Hingga kado kecil dariku tak pernah terjamah Ayah.
Karena Ayah tak lagi akan pernah datang. Tersenyum padaku dalam seragam pilotnya. Hadir di kafe melalui pintu itu.
Ayahku sudah terbang. Tak lagi kembali utuh. Pesawat yang akan dibawanya pulang pecah dihantam badai di atas laut Jepang.
Ayahku sudah pergi. Begitu saja. Tanpa pesan. Tanpa makam.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : Candlelight Dinner #3
Lagu latar : Leaving On A Jet Plane - John Denver
Tidak ada komentar:
Posting Komentar