Rabu, 03 Juli 2013

[Cerbung] Candlelight Dinner #3





Tiga


Episode sebelumnya : Candlelight Dinner #2

* * *

HANANTO, Tiga Tahun Yang Lalu


Ayah, nanti tunggu Ibu di kafe ya? Ayah tak usah jemput Ibu, nanti Ibu naik taksi saja. Love you, Ibu.

Senyumku mengembang setelah membaca SMS Kinanti. Ayah, Ibu. Alangkah indahnya sebutan itu mengiang di telingaku. Pada akhirnya aku akan jadi seorang ayah. Pada akhirnya Kinanti akan jadi seorang ibu.

Setelah dua tahun penantian yang terasa sangat lama, akhirnya dia akan hadir, empat bulan lagi. Entah kenapa waktu empat bulan terasa jauh lebih lama daripada waktu dua tahun yang pernah berlalu.

Aku belum tahu apakah dia akan jadi seorang perjaka kecil ataukah gadis kecil. Semuanya jadi tak penting bagiku. Tidak juga bagi Kinanti. Pendeknya, kami hanya merasa bahagia, bahagia, dan bahagia.

“Ayah ingin bayi laki-laki atau perempuan?”

Betapa aku tenggelam dalam binar mata Kinanti. Dan binar itu makin menenggelamkan aku ketika kujawab, “Laki-laki atau perempuan, dia adalah buah cinta kita, sama saja.”

“Aku cinta padamu, Ayah...”

Dan aku selalu ingin mendengarkannya membisikkan kalimat cinta itu lagi dan lagi.

Kinanti. Kehadirannya selalu membiusku dalam kedamaian yang luar biasa. Sejak pertemuan pertama di pojok kafe itu. Ketika dengan malu-malu dia menerima uluran jabat tanganku. Kemudian membisikkan namanya dengan begitu lembut, “Kinanti...”

Aku tak akan pernah melupakan betapa lebar mata indahnya terbelalak ketika Winny, sepupuku, sahabat Kinanti, dengan jahil meninggalkan kami berdua. Hanya berdua. Duduk di pojok kafe. Kemudian menikmati makan malam yang begitu indah dalam temaram sebatang cahaya lilin.

Dan aku segera menyadarinya. Aku jatuh hati padanya. Dan hidupku melambung begitu tinggi ketika dia mengiyakan lamaranku, berbulan-bulan kemudian.

Tak akan pernah kulupakan bulir bening yang menggenang di matanya ketika dia mengucapkan janji pernikahan. Juga senyum di bibirnya. Juga rona kebahagiaan di wajahnya.

Kenyataan bahwa aku jauh lebih bisa memasak daripada dia tak setitik pun mengurangi cintaku padanya. Menertawakan telur gosong yang digorengnya, atau sayur terlalu asin yang dimasaknya, atau beberapa buah bakwan yang tak keruan rasanya, adalah hiburan yang selalu kurindukan.

“Sudahlah, aku memang tidak bisa masak,” keluhnya putus asa, membuatku seketika merengkuhnya dalam pelukanku.

Dia sudah berusaha, aku tahu. Itu karena dia juga mencintaiku. Sampai akhirnya dia menyerah. Setidaknya secangkir kopi racikannya tiap pagi adalah kopi ternikmat yang selalu kusyukuri.

Aku selalu menunggu hari Rabu tiba dengan semangat yang selalu membara di hatiku. Kinanti dan aku bertemu pertama kalinya pada suatu hari Rabu. Aku melamarnya juga pada hari Rabu. Di tempat yang sama pula. Di sudut kafe itu. Dalam temaram cahaya sebatang lilin.

Selanjutnya hari Rabu adalah hari keramat. Membuat Kinanti tersenyum cerah sebelum berangkat ke kampus. Menunaikan tugasnya sebagai seorang dosen. Karena sorenya adalah waktu berdua kami di sudut kafe itu. Menikmati makan malam yang begitu menenangkan hati dalam temaram cahaya sebatang lilin. Selalu seperti itu.

Dan hari ini sungguh istimewa. Ulang tahun Kinanti. Sudah kusiapkan sebentuk cincin bermata safir biru solitaire. Terbungkus indah dalam kotak kecil tertutup pita berwarna biru, warna kesayangan Kinanti.

Sungguh, aku hampir tak bisa menahan diri untuk tidak selalu mengembangkan senyum. Membayangkan wajah Kinanti selalu membuatku jatuh cinta lagi padanya. Selalu. Tak pernah tidak.

Tapi sore itu Kinanti tak juga muncul di kafe. Padahal sudah kupesankan nasi galantin kesukaannya. Pintu kafe selalu terbuka dan tertutup. Tapi bukan dia yang melangkah masuk.

Dan selamanya Kinanti tak akan pernah datang lagi. Dan kotak mungil berisi cincin bermata safir biru itu tak akan pernah dibukanya.

Kinanti pergi begitu saja. Tanpa pesan cinta yang selalu dibisikkannya untukku. Waktu sudah membuatnya membeku. Ketika badan truk itu ambruk, memerangkapnya dalam badan taksi yang ditumpanginya. Dalam kesakitan yang tak akan pernah bisa kubayangkan selamanya. Tanpa aku pernah bisa menolongnya. Tanpa diriku pernah hadir di sana untuk mendekapnya. Melindunginya.

Kinantiku sudah pergi. Begitu saja. Dengan membawa serta calon bayi kami. Meninggalkan aku sendiri. Tanpa pernah tahu kapan bisa menemukannya lagi.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Candlelight Dinner #4

Lagu latar : Until I Find You Again – Richard Marx




Tidak ada komentar:

Posting Komentar