* * *
HANANTO
Dia menolak ajakanku untuk makan siang bersama. Ajakan pertama yang kuucapkan selama aku mengenalnya. Ajakan pertama yang belum apa-apa sudah gagal. Aku tak tahu harus kecewa atau justru lega.
Fena. Trifena. Dua tahun yang lalu dia masih jadi bawahan Winny sebelum ditransfer padaku. Ya, aku memang membutuhkan pengganti Sari, asistenku. Dan serta-merta Winny menyodorkan nama itu padaku.
“Miko sudah lama mengincarnya, Han,” ucap Winny saat itu. “Aku tak rela Fena hanya jalan di tempat di bawah Miko. Kamu tahu Miko kan? Kurasa Fena akan aman bersamamu. Miko tak akan berani menggodanya. Kita tak boleh kehilangan SDM sebagus Fena. Fena sangat bisa diandalkan. Kupikir kalian punya ritme kerja yang sama. Tak akan saling membebani.”
Aku mengangguk. Begitu saja. Winny sudah sangat mengenalku. Dia tahu betul siapa, apa, dan bagaimana yang kubutuhkan. Dan aku harus mengakui bahwa penilaian Winny betul.
Fena tak pernah salah menyelesaikan pekerjaannya. Tak pernah lewat deadline. Bahkan beberapa hari sebelum limit tiba pekerjaannya sudah selesai. Selalu begitu. Sangat profesional. Begitu profesionalnya sampai aku tak tahu siapa dia dan bagaimana kehidupan pribadinya.
Aku hanya tahu dari Winny, Fena masih single, dan foto laki-laki gagah di sudut meja kerjanya itu adalah foto ayahnya. Sudah almarhum. Kekasihnya? Aku tak pernah tahu. Mengobrol dengannya? Entahlah. Aku selalu merasa segan. Seperti ada tembok penghalang yang begitu tinggi di sekelilingnya.
Pada detik inilah aku baru menyadari, aku merasakan dua hal itu sekaligus. Bahwa aku merasa kecewa karena dia menolak ajakanku untuk makan siang bersama. Bahwa aku sekaligus lega karena sesungguhnya aku tak tahu harus mulai membicarakan apa dengannya.
“Jadi makan siangnya?” Winny menatapku.
Aku menggeleng. Mata Winny makin bulat menatapku. Membuatku jadi jengah.
“Dia sudah ada janji makan siang bersama temannya,” ucapku cepat, sebelum Winny sempat membuka mulut lagi.
Winny menatapku dengan putus asa. Aku kenal betul arti sorot mata Winny. Lalu dia menghembuskan napas keras-keras. Aku mengangkat bahu.
“Kalau begitu aku tak bisa lagi menolongmu, Han.”
Aku tertawa sumbang. “Kapan aku minta tolong padamu? Yang ada malah kamu setengah memaksaku untuk mendekati Fena, bawahanku sendiri.”
Winny mengangkat tangannya. Menyerah. “Oke! Oke! This is my fault. Forgive me, I’m so sorry.”
“Ya sudahlah, Win. Mungkin lain kali,” kulirik arlojiku, “Sudah waktunya makan siang. Ayo!”
“Mau mentraktirku makan?”
Aku tertawa. Dan demi melihat tatapan penuh harapnya, aku pun mengangguk.
Winny segera menarikku ke arah sebuah depot di gedung sebelah kantor. Aku belum pernah ke sana. Dan kulihat cukup banyak staf kami yang makan di situ. Beberapa melihat padaku dengan sorot mata heran. Tapi tidak pada Winny.
“Sesekali gaullah,” celetuk Winny dengan suara rendah. “Jangan makan di ruanganmu terus.”
Ah, seandainya Winny tahu betapa aku lebih suka menyuruh OG untuk beli makanan dan menikmatinya dalam kantorku. Sendirian. Aku selalu menikmati keheningan dan ketenangan itu. Membuatku sedikit melepaskan rasa penat pada tengah hari kerja.
Dengan mudahnya Winny mendapat tempat di sebuah sudut. “Enak?” tanyanya ketika melihatku mulai makan. Aku mengangguk.
Dari tempat dudukku aku bisa melihat siapa saja yang datang dan pergi. Juga ketika dia datang. Bersama seorang temannya. Fena. Dan Adrian. Aku tercekat menatap tawa itu. Juga binar di matanya. Tawa dan binar yang tak pernah dia perlihatkan padaku. Selama ini hanya senyumnya yang tampak. Begitu sopan. Begitu formal. Tak pernah lebih. Tak pernah kurang.
Hm... Jadi kencannya siang ini adalah Adrian. Dan aku berusaha untuk tak peduli. Juga ketika tatapan kami bertemu. Dia tampak terkejut. Tapi hanya sekejap. Kemudian dia tersenyum dan mengangguk sedikit. Yang terpaksa kubalas dengan senyuman dan anggukan pula.
“Oh... Jadi Adrian?” gumaman Winny menyadarkanku.
“Kenapa?” aku menatapnya sekilas.
“Asal bukan Miko,” senyum Winny.
“Oh...”
Sesekali aku mencuri pandang ke arah Fena dan Adrian. Dari yang cuma sedetik-sedetik itu bisa kutangkap betapa akrabnya mereka. Semua yang tak pernah Fena lakukan di kantor dilakukannya di depan Adrian. Berkata panjang lebar. Berkali-kali tersenyum. Bahkan tertawa lepas. Membuatku kembali tercekat.
Entah kenapa tawa itu membuat sesuatu dalam hatiku bergetar hebat. Sebuah rasa yang sudah lama tak menyentuhku. Sebuah rasa yang bahkan hampir kulupakan kalau pernah ada. Dan aku terhenyak ketika mengenali rasa itu. Hampir saja aku menolak kehadirannya kembali. Bagaimana mungkin?
Aku cemburu.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : Candlelight Dinner #6
Lagu latar : Is Nothing Sacred Anymore - The Ten Tenors
Tidak ada komentar:
Posting Komentar