Sabtu, 06 Juli 2013

[Cerbung] Candlelight Dinner #6





Enam




Episode sebelumnya : Candlelight Dinner #5

* * *

TRIFENA


“Nanti kujemput jam 7 ya, Fen,” Adrian membukakan pintu mobil.

“Ya,” anggukku. “Terima kasih banyak ya!”

Adrian tersenyum, kemudian berlalu dengan mobilnya. Dan sinilah aku sekarang. Di depan rumah Bu Winny. Jadwal les piano pertama Oryza. Sebelum aku sempat memencet bel, seorang laki-laki sudah membukakan pintu pagar untukku. Dia Pak Sardi, sopir Bu Winny.

“Mari masuk, Mbak Fena,” ucapnya ramah.

“Terima kasih, Pak,” anggukku, membalas senyumnya.

Oryza sudah menungguku di depan grand piano hitam di ruang tengah yang luas. Gadis kecil itu langsung tersenyum begitu melihatku datang. Dan senyumnya makin lebar ketika kulambaikan sebatang coklat kesukaannya.

“Buat Oi?”

“Yup!”

“Makacih, Tante,” ucapnya riang.

Tak perlu waktu lama untuk tahu bahwa Oryza memang berbakat dan benar-benar mau les piano. Sesi perkenalan dilaluinya tanpa banyak kesulitan. Betapa leganya ketika kulihat senyum mengembang di wajah Bu Winny.

“Bagaimana, Fen?”

“Ibu benar. Oi memang berbakat. Kalau kemampuannya sudah meningkat, saya sarankan untuk gabung saja di sekolah musik.”

“Hmm... Tapi untuk privat aku kok tetap lebih senang kamu yang pegang ya, Fen...”

“Ya... Itu terserah Ibu,” senyumku.

“Maaf Bu, Mbak Fena sudah ditunggu yang jemput di depan,” Pak Sardi muncul dari pintu samping.

“Lho! Kamu tidak bawa mobil?” Bu Winny menatapku dengan kening berkerut.

“Dari hari Sabtu mobil saya masuk bengkel, Bu. Jumat malam diserempet motor. Catnya ada yang baret, sama spion kanan patah,” jawabku.

“Kok bisa?”

“Ya bagaimana, Bu, yang bawa motor agak mabuk, habis minum-minum,” aku mengangkat bahu.

“Haduh... Ada-ada saja... Terus kamu dijemput siapa itu?”

“Adrian, Bu.”

“Oh...,” Bu Winny menatapku dengan sorot mata yang tak kumengerti.

Lima menit kemudian Adrian sudah membawaku pergi dari rumah Bu Winny. Bajunya masih sama dengan yang dipakainya ketika pulang kantor dan mengantarku tadi.

“Kamu belum pulang?”

“Belum,” Adrian menggeleng. “Aku ke supermarket tadi, belanja sedikit.”

“Oh...”

“Kamu sudah makan?”

“Belum.”

“Sama Bu Winny tidak ditawari?”

Aku tertawa. “Ditawari sih, tapi aku tolak. Kan biasanya tanggal muda begini kamu traktir aku.”

“Asem...,” Adrian terbahak. “Ya sudah, mau makan di mana? Pelangi?”

Aku mengangguk. Adrian dan aku sering berpetualang dari kafe ke kafe. Tapi selalu saja kembali dan kembali lagi ke Kafe Pelangi. Atmosfer dan makanannya memang saling mendukung. Nyaman dan enak. Karena itulah sejak dulu Ayah selalu mengajakku ke sana.

Aku selalu memilih tempat lain bila datang ke kafe ini bersama Adrian. Biarlah sudut itu hanya jadi milikku sendiri dan kenanganku pada Ayah. Dan seperti biasa, sudut itu kosong, seolah menantiku. Lilinnya utuh, seolah menungguku untuk diterangi cahaya lembutnya.

“Mau makan apa?” suara Adrian memecahkan lamunan singkatku.

“Nasi galantin saja.”

“Seperti tidak ada makanan lain,” gerutu Adrian.

Aku tertawa. “Aku suka, masalah buat lo?”

Adrian pun ikut tertawa. Dipesannya seporsi nasi galantin dan strawberry milkshake untukku, dan seporsi nasi ayam saus lemon dan teh manis hangat untuk dirinya sendiri.

“Lumpia udangnya jangan lupa,” bisikku.

“Oh iya!” Adrian kembali tertawa.

Sambil menunggu pesanan datang aku asyik mengobrol dengan Adrian. Gosipan kantor, mobilku yang sedang sial itu, berita terhangat, dan masih banyak lagi. Sesekali kami tertawa ketika menemukan humor yang lucu.

Adrian selalu membuat hidupku jadi lebih berwarna. Dia seperti cahaya lilin yang menerangi hidupku. Tak selalu ada setiap detik, tapi sinar redupnya selalu menuntunku menemukan kembali jalanku menuju kehidupan normal.

Dia yang pertama menopangku ketika aku harus mendengar bahwa Ayah dan Bunda akan bercerai. Dia yang menampung sumpah serapahku ketika tahu Bunda akan menikah dengan laki-laki selingkuhannya itu. Dia yang dengan sabar menungguiku menguras airmata ketika tahu Ayah tidak bisa menghadiri wisudaku. Dia yang pertama kupeluk ketika aku diterima berkerja di tempat yang sama dengannya. Dia juga yang pertama hadir ketika aku limbung saat Ayah tiada. Dan dia menemaniku melalui semuanya itu tanpa banyak kata dan teori. Dia hadir di saat aku membutuhkan seseorang. Dan itu berarti sangat banyak buatku.

Aku menatap Adrian. “Terima kasih untuk semuanya, Dri,” ucapku lirih, tiba-tiba.

Adrian menghentikan tawanya. Balas menatapku. Serius.

“Fen, kita sudah berulang kali membahas itu kan? Tak perlu berterima kasih padaku. Melihat kamu tersenyum dan tertawa lagi, itu sudah lebih dari cukup buatku.Tersenyumlah, Fen, maka dunia akan ikut tersenyum bersamamu. Itu kata ayahmu kan?”

Aku selalu menyukai saat Adrian mengucapkan kalimat itu. Seolah Ayah sendiri yang mengucapkannya di depanku. Tangan Adrian terulur mengelus kepalaku. Terasa hangat. Seperti elusan Ayah.

“Sudah malam, ayo kita pulang,” ucap Adrian halus.

Aku mengangguk. Adrian mengangkat tangan, meminta bill. Sambil menunggu seorang waiter datang mengantarkan bill kuedarkan pandanganku berkeliling. Hari biasa pun kafe Pelangi tetap penuh. Juga meja di sudut itu. Mejaku.

Dan aku tertegun. Sosok itu duduk sendirian di sana. Ditemani berkas cahaya lembut sebatang lilin. Temaram. Tapi aku masih bisa mengenalinya.

Pak Hananto? Di kursi empukku? Sejak kapan?

Aku mengerjap. Dan sedetik kemudian kepalanya bergerak pelan. Dia menatapku. Dalam kelam matanya. Dia sungguh menatapku.

Membuatku seketika membeku.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Candlelight Dinner #7

Lagu latar : That’s What Friends Are For – Instrumental Piano

Tidak ada komentar:

Posting Komentar