Senin, 08 Juli 2013

[Cerbung] Candlelight Dinner #8





Delapan


Episode sebelumnya : Candlelight Dinner #7

* * *

TRIFENA


Hm... Aku tahu Pak Han pasti akan mengamati foto-fotoku. Biarlah! Kutinggalkan dia sendirian sejenak di ruang tamu. Ketika aku masuk kedalam, meja makan sudah tertata rapi. Aku tersenyum puas.

“Gimana, Mbak?”

Aku mengacungkan jempol. Mbok Suni tersenyum senang. Tak sia-sia aku tadi sibuk mengirimkan pesan pada Mbok Suni agar secepatnya menyiapkan makan malam untuk berdua.

Setelah melepaskan sepatu dan mencuci muka, aku kembali ke depan. Mbok Suni ternyata sudah membuatkan Pak Han teh hangat.

“Pak, makanan sudah siap. Mari...”

Pak Han mengikuti langkahku ke dalam. “Aku sudah merepotkanmu.”

“Tidak, Pak, yang repot si Mbok, bukan saya.”

Kudengar Pak Han tertawa. Oh God... Kenapa tawa itu terasa mengganggu ketenangan hatiku? Bahkan membuat jantungku berdebar kencang lagi? Kemudian kami duduk berhadapan, berseberangan.

“Hm... Kelihatannya enak semua,” celetuknya. “Si Mbok pandai masak ya?”

“Ng...,” aku ragu sejenak, tapi dia menatapku. “Sebenarnya saya yang masak, Pak. Saya masak macam-macam tiap hari Minggu. Tinggal dikemas, dimasukkan freezer. Kalau si Mbok atau saya mau makan, tinggal memanaskan saja di microwave.”

Dia masih terbengong menatapku. Membuatku jengah. Ataukah dia marah karena kuberi bukan makanan segar baru matang? Mendadak aku merasa perbuatanku mengundangnya makan malam adalah perbuatan yang sangat bodoh.

“Maaf, Pak,” sesalku. “Makanan ini pasti tidak layak untuk Bapak.”

“Tidak...,” Pak Han menggeleng cepat. “Aku hanya takjub saja kamu bisa masak seenak ini. Dan caramu praktis sekali, Fen.”

Aku menatapnya, tak percaya. Juga ketika dia mulai makan dengan lahap dan kelihatan sangat menikmati. Ini memang masakanku yang enak, atau dia benar-benar kelaparan?

“Fen, kamu tinggal dengan siapa di sini?” tanyanya tiba-tiba.

“Oh... Dengan si Mbok, Pak.”

“Orang tuamu?”

“Ada. Di Slipi. Ini rumah almarhum ayah saya.”

“Ibumu?”

“Ya, di Slipi, tinggal dengan ayah tiri saya.”

“Ayahmu pilot? Yang fotonya di depan itu?”

Aku mengangguk. “Iya, Pak.”

“Meninggalnya karena sakit?”

Aku menggeleng pelan. “Pesawatnya pecah kena badai, Pak, empat tahun lalu.”

“Oh... Maafkan aku, Fen. I’m so sorry to hear that.”

“Tidak apa-apa, Pak.”

Dan saat keheningan sekian detik menyelimuti kami, tiba-tiba seisi rumah gelap gulita. Terdengar teriakan dari arah belakang, “Dasar PLN kambiiing!! Tadi sudah mati lampu, sekarang mati lagi!!”

Aku tak sempat lagi untuk tertawa mendengar omelan Mbok Suni. Sebelum aku sempat berdiri, sebuah sinar kecil tapi terang menyala di kegelapan. Lampu LED dari ponsel Pak Han.


“Maaf, Pak, saya cari lilin dulu.”


“Bawa ini, Fen,” Pak Han menyodorkan ponselnya.

Tapi sebelum aku sempat menerimanya, Mbok Suni sudah muncul dengan sebatang lilin di tangannya. Diletakkannya lilin itu di tengah meja.

“Terima kasih, Mbok,” ucapku dan Pak Han bersamaan.

Nggiiiih...,” jawab Mbok Suni.

“Tidak punya emergency lamp ya?”celetuk Pak Han.

“Ng... Itu Pak, ada sih... Tapi minggu lalu ketendang saya. Pecah. Belum sempat beli lagi.”

“Oh...,” Pak Han melebarkan senyumnya. Tampan.

Ups!

“Mobilmu kapan beresnya, Fen?”

“Tiga-empat hari lagi, Pak.”

“Terus selama mobilmu di bengkel, kamu naik angkutan umum?”

“Tidak, Pak, saya bareng Om saya. Rumahnya persis di belakang rumah ini.”

“Oh... Tidak bareng Adrian?”

Aku menatapnya. Tersenyum. Aku tak mau menjawabnya.

“Besok saya akan datang lebih pagi, Pak,” ucapku mengalihkan pembicaraan.

“Oh ya, besok mungkin kita harus lembur lagi, Fen. Kalau aku belum datang, tolong kumpulkan semua datanya dulu, nanti kita bahas dengan Bu Winny dan Tiara.”

“Baik, Pak. Tadi flash disk Bu Winny sudah saya bawa.”

Pak Han mengagguk.

“Fen, boleh aku tanya sesuatu?”

“Silahkan, Pak.”

“Mungkin agak pribadi. Kamu berhak untuk tidak menjawabnya.”

Aku mengangguk, mengerti.

“Ibumu menikah lagi?”

Aku menghela napas. “Iya, Pak, setelah bercerai dengan Ayah. Kemudian Ayah pindah ke sini. Sebetulnya saya ingin ikut Ayah, tapi tidak boleh sama Ayah. Ayah sering pergi berhari-hari. Ayah takut saya tidak terurus.”

“Oh...”

“Terus terang saya agak limbung ketika Ayah meninggal. Tapi ada Adrian, Pak. Dia selalu menjaga saya.”

Aku tak tahu dengan jelas roman wajah Pak Han. Sebatang lilin yang menyala tak cukup terang untuk menyinari semuanya. Selanjutnya ada keheningan. Seolah-olah aku makan sendirian di meja ini dalam gelap.

Pak Han menghabiskan makanannya dalam diam. Sebenarnya aku ingin banyak bertanya. Tapi aku tak tahu harus mulai dari mana. Tampaknya Pak Han memang terlalu tinggi untuk kujangkau.

Lampu menyala tetap saat suapan terakhir masuk ke mulutku. Sejenak aku dan Pak Han bertatapan. Serasa ada sengatan aliran listrik di hatiku. Kulihat wajahnya tampak begitu letih.

Entah kenapa aku merasa bahwa itu terjadi karena aku telah menyebut-nyebut nama Adrian. Ataukah hanya aku saja yang gede rasa? Ah, biarlah! Toh Pak Han terlalu tinggi buatku.

Terlalu agung.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Candlelight Dinner #9

Lagu latar  : Having You Near Me – Air Supply


Tidak ada komentar:

Posting Komentar