Rabu, 10 Juli 2013

[Cerbung] Candlelight Dinner #10





Sepuluh


Episode sebelumnya : Candlelight Dinner #9

* * *

TRIFENA


Tempat paling nyaman untuk melamun adalah teras belakang. Ditemani gemercik suara hujan dan semilir angin yang sesekali menerpa sungguh menerbangkanku pada sejuta kenangan. Tentang Ayah, tentang Bunda, tentang aku.

Rumah ini adalah sepenuhnya tentang Ayah dan aku. Dulu aku hanya berada di rumah ini kalau Ayah sedang tidak terbang. Kenangan manis, karena seutuhnya aku menikmati guyuran kasih sayang dari Ayah. Kenangan pahit, karena hanya ada aku berdua dengan Ayah, tanpa Bunda.

Pada akhirnya memang rumah yang hangat ini jadi milikku. Tapi setelah Ayah tak kembali lagi ke dalamnya. Hanya menyisakan kenangan yang aku ingin mengusungnya seumur hidup.

“Mbak...”

Aku menoleh. Mbok Suni berdiri di ambang pintu belakang dengan sebuah bungkusan di tangannya.

“Dari Mas Adrian, Mbak, martabak manis.”

“Oh... Ada Adrian?” aku menurunkan kaki dari sofa.

Mbok Suni menggeleng. “Mas Adrian cuma titip ini. Sudah pergi.”

“Oh... Ya sudah, Mbok ambil juga.”

“Simbok taruh piring dulu ya, Mbak?”

Aku mengangguk.

Adrian...

Mendadak aku ingat percakapanku dengan Bu Winny empat jam lalu. Ketika aku sudah selesai mengajar Oryza.

“Fen, aku boleh tanya tidak?” Bu Winny menatapku dengan serius.

“Iya, Bu, silahkan,” senyumku.

“Ya... Ini pribadi sih, kamu boleh tidak menjawabnya kalau memang kamu rasa aku tidak perlu tahu.”

Aku mengangguk saja walau tak mengerti arah bicara Bu Winny.

“Mm... Fen, sebetulnya hubunganmu dengan Adrian itu bagaimana sih? Kalian berteman?”

“Oh...,” aku tertawa kecil. “Ya, kami berteman, Bu, sangat dekat.”

“Seberapa dekat?”

“Ya... Lebih dekat dari sahabat, Bu.”

“Tidak pacaran?” Bu Winny melebarkan matanya.

Aku tersenyum. “Sebenarnya ada apa, Bu?”

“Tidak ada apa-apa. Cuma tanya. Aku salah ya? Terlalu mau tahu?”

“Tidak apa-apa, Bu,” aku melebarkan senyumku.

“Kalau Pak Han?”

Pak Han? “Maksud Ibu?”

“Ya... Kamu dengan Pak Han, seberapa dekat?”

“Ya Ibu tahu sendiri Pak Han sekarang atasan saya. Tapi kalau boleh dibandingkan, saya merasa lebih dekat dengan Ibu saat saya jadi bawahan Ibu.”

“Jarang ngobrol dengan Pak Han?”

“Hanya untuk urusan pekerjaan, Bu.”

“Menurutmu, Pak Han itu bagaimana orangnya?”

Aku sungguh tak tahu kenapa pertanyaan Bu Winny jadi sedemikian melebar ke mana-mana seperti ini.

“Maaf, Bu, Ibu kan sepupu Pak Han. Jadi saya rasa Ibu jauh lebih kenal Pak Han daripada saya.”

Bu Winny menatapku dengan sorot super serius. Aku jadi tak enak hati dibuatnya. Menilai Pak Han? Aku sungguh takut aku tidak obyektif. Melibatkan perasaanku, yang sesungguhnya, yang terdalam. Mendadak aku jengah dengan tatapan Bu Winny.

“Fen, waktu tiga tahun sudah lebih dari cukup buat Hananto untuk tenggelam dalam kesedihannya karena suatu kehilangan. Aku tahu kamu juga pernah merasakan kehilangan yang serupa. Rasanya tentu hampir sama. Entah kenapa aku berpikir kalau kalian bisa saling membantu untuk menyembuhkan hati. Aku  tak bisa menyerahkan Han ke tangan perempuan lain selain Kinanti dan kamu. Kinanti sudah tidak ada. Tinggal kamu, Fen. Han laki-laki baik. Dia pantas mendapatkan yang terbaik.”

Dan perlu waktu seharian ini bagiku untuk mencerna dengan baik kata-kata Bu Winny. Untuk menemukan maksud di balik ucapan Bu Winny. Dia mengharapkan Pak Han bersamaku? Itu angan yang terlalu tinggi. Setidaknya buatku.

Selama ini aku hanya mengharapkan laki-laki seperti Adrian. Yang mampu menopangku di saat aku jatuh dan butuh teman. Sesederhana itu. Tidak lebih. Tentu saja bukan Pak Han orangnya walau tak kupungkiri ada juga dambaku akan sosoknya. Tapi dia tak pernah memberiku lebih bukan? Yang kuterima darinya sudah cukup bagus. Penghargaan dan penghormatan. Dari seorang atasan kepada seorang bawahan. Tidak kurang. Tidak lebih. Pas pada tempatnya.

Dan Bu Kinanti. Aku sempat mengenal sosoknya. Seorang perempuan yang cantik, enerjik, dan sangat ramah. Dia sahabat Bu Winny. Dan sebesar apa Pak Han mencintainya, aku tahu. Pak Han bukan type laki-laki yang mengumbar perasaannya pada Bu Kinanti di tempat umum. Tapi dari tatapan mata dan bahasa tubuh Pak Han bila ada Bu Kinanti, aku tahu betapa Pak Han mencintai Bu Kinanti. Tak hanya aku, semua orang juga tahu.

Semua orang juga mengerti sebesar apa kesedihan Pak Han ketika Bu Kinanti pergi. Membawa serta calon bayi mungil yang sudah begitu dinanti Pak Han, terbang ke Surga. Aku ada di sana. Di acara pemakaman itu. Melihat bagaimana Pak Han diam terpekur di depan gundukan tanah merah yang basah itu. Hanya diam. Dengan tatapan kosong. Dan setelah itu Pak Han yang memang pendiam jadi makin pendiam. Tetap sama sampai sekarang. Hingga dua tahun aku menjadi bawahannya.

Aku tak tahu seperti apa hatiku sesungguhnya. Sulit untuk memahami perasaanku sendiri. Betapa aku selalu bersemangat ketika hari Senin pagi tiba. Karena itu berarti aku bisa lagi menatap wajahnya walau hanya sekejap-sekejap. Mendengar lagi suaranya yang tenang berwibawa. Ada apa dengan diriku?

Aku tak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Mengatakannya pada Adrian? Itu sama saja dengan bunuh diri. Aku tak siap bila tiap orang dalam keluargaku tahu ada apa sesungguhnya dengan hidupku. Entah kenapa aku selalu merasa nyaman berada sendirian dalam kesunyian. Aku seperti berada di dekat Ayah bila ada dalam situasi seperti itu. Tenang, damai, aman, nyaman.

Rasa itu pula yang kudapat bila aku berada di dekat Pak Han. Jadi ada apa dengan diriku?

“Mbak...”

Aku menoleh. Mbok Suni kembali lagi. Tanpa piring berisi martabak manis dari Adrian.

“Ada tamu tuh!”

“Siapa?”

“Yang kemarin ke sini itu, Mbak. Bapak-bapak itu...”

Aku mengerutkan kening. “Bapak-bapak yang mana? Yang nagih uang ronda?”

“Bukan... Yang kemarin makan sama Mbak pas mati lampu itu lho, hari Kamis itu...”

Makan malam bersamaku hari Kamis saat mati lampu? Dia? Aku langsung meloncat dari dudukku. Pak Han? Dia ke sini? Hujan-hujan begini?

Sesuatu dalam dadaku langsung berdebar kencang. Tanpa bisa kukendalikan.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Candlelight Dinner #11

Lagu latar : Passera – Il Divo


Tidak ada komentar:

Posting Komentar