Senin, 01 Juli 2013

[Cerbung] Candlelight Dinner #1





Satu


TRIFENA


Aku selalu menyukai hal ini. Makan malam di tengah sinar temaram. Hanya ditemani seberkas cahaya lilin.

Dan aku selalu melakukan hal ini. Makan malam di kafe langgananku. Tiap Jumat sore sepulang kerja. Duduk di sudut gelap yang sama. Ditemani sebatang lilin menyala redup.

Sudut itu seakan sudah jadi milikku. Entahlah. Tapi sudut itu sepertinya selalu siap untuk kutempati. Selalu kosong tiap kali aku datang.

Kali ini aku tak datang hari Jumat. Aku muncul pada hari Rabu. Hampir pukul tujuh malam. Sudut dan lilin itu seakan menantikanku. Ah, indahnya...

Pelayan tersenyum melihatku.

"Kok nggak hari Jumat, Mbak?" tanyanya ramah, sambil menyalakan lilin untukku.

"Besok pagi aku harus ke Surabaya, Mbak. Pulang Minggu. Jadi kuganti hari ini."

"Pesanannya?"

"Biasa."

Dan dia langsung mengerti.

Kuhenyakkan punggungku pada sandaran kursi. Sungguh empuk dan nyaman. Membuat rasa penatku hilang separuh.

Dan aku pun selalu melakukannya. Menatap pintu masuk. Mengharapkan keajaiban. Memimpikan dia datang dan memelukku hangat.

"Silahkan, Mbak..."

Suara halus itu menyentakkan kesadaranku. Seketika anganku pecah berhamburan. Bahkan tak sekeping pun berhasil kugenggam.

Pelayan itu menghidangkan pesananku. Selalu seporsi nasi sapo tahu. Dan segelas es teh lemon.

Dan anganku kembali kutangkap satu per satu. Ketika sesuap demi sesuap makanan masuk ke mulutku. Ketika seteguk demi seteguk minuman meluncur ke dalam tenggorokanku.

Ketika semuanya habis, ritualku pun berakhir. Aku pun beranjak. Melangkah ke kasir, kemudian pulang.

Dia tak akan pernah datang. Tak akan lagi. Aku cuma bisa meraihnya sebatas angan. Cuma angan. Tak lebih.

Airmataku sudah kering.

* * *

HANANTO


Kutunggu sejenak hingga hujan mereda. Sengaja tak kumatikan mesin mobil. Supaya pendingin kabin tetap bekerja.

Tukang parkir itu menghampiri mobilku. Dengan sebuah payung lebar berwarna pelangi terkembang di tangannya. Aku mengangkat tangan kanan. Dia mengerti, kemudian bergerak menjauh.

Tak berapa lama hujan hanya tersisa rintiknya. Aku pun mematikan pendingin, mematikan mesin mobil, lalu keluar.

Titik-titik air yang menghujaniku terasa dingin dan segar. Sesaat menerbangkan anganku tentang dia.

Ah! Nanti. Di dalam saja.

Kafe itu penuh, tapi meja di sudut itu kosong. Seperti selalu menyediakan diri untukku tiap hari Rabu sore.

Hm... Ini sudah hari Jumat. Tapi tempat itu tetap kosong. Sebuah meja kecil dengan dua kursi empuk. Dengan sebatang lilin utuh. Di bawah kelamnya sudut tanpa lampu.

Aku selalu menyukai tempat itu. Aku selalu menyukai ritualku. Melamun sambil menunggu pesananku datang.

Mengharapkan dia tiba-tiba muncul di depanku. Membisikkan kalimat cintanya yang begitu hangat.

"Selamat malam, Mas," sapa pelayan itu sambil menyalakan lilin. "Tumben datang hari Jumat?"

Aku tersenyum. "Iya, Mbak, Rabu kemarin aku meeting sampai malam."

"Pesanannya biasa?"

"Ya."

Dan begitu pelayan itu pergi, kubiarkan anganku mengembara. Meliar begitu saja.

Aku selalu mengharapkannya hadir melalui pintu masuk itu. Seperti bertahun-tahun yang lalu. Aku tahu kenyataannya dia hanya sekedar ilusiku.

Tapi aku membiarkannya menguasai angan dan perasaanku, setidaknya hingga pesananku datang. Seporsi nasi galantin, secangkir kopi, dan segelas air putih.

Dia tidak datang. Tak akan pernah datang. Kubiarkan ilusiku merayap pergi. Seiring habisnya makanan dan minumanku. Aku akan mengundangnya datang lagi minggu depan.

Lamunanku, dan seberkas cahaya lilin.

* * *

(Bersambung ke episode berikutnya : Candlelight Dinner #2

Lagu latar : Nostalgia Yanni




2 komentar: