Selasa, 09 Juli 2013

[Cerbung] Candlelight Dinner #9





Sembilan


Episode sebelumnya : Candlelight Dinner #8

* * *

HANANTO


Akhirnya terurai juga keruwetan yang ditinggalkan Harry. Winny merebahkan punggungnya pada sandaran sofa dengan wajah lelah. Tiara dan Fena masih sibuk membereskan berkas-berkas yang agak berserakan. Wajah keduanya juga sudah kuyu. Diam-diam aku menggeliat di kursiku.

Sudah hampir pukul enam sore. Kantor sudah mulai sepi. Mendung menggantung di luar sana. Agak gelap. Dan tak lama kemudian mulai menumpahkan tangisannya.

Aku tersentak ketika ponselku berbunyi. Winny? Aku menatapnya tak mengerti. Dia mengirim SMS padaku? Aku mengerutkan kening.

‘Anak-anak ajaklah makan malam. Traktir. Kasihan sudah jungkir-balik seperti itu.’

Hm... Winny menatapku, bertanya dengan sinar matanya. Aku pun mengangguk sedikit.

“Mbak Tiara, Fena, setelah ini kita keluar makan ya?”

Tiara dan Fena menatapku, kemudian saling berpandang.

“Maaf, Pak, saya sudah terlanjur ada janji sama suami,” jawab Tiara.

Tatapanku beralih pada Fena.

“Saya juga minta maaf, Pak. Saya ada acara juga. Lagipula Adrian sudah terlanjur menunggu saya pulang.”

“Waduuuh...,” celetuk Winny. “Mau ditraktir kok menolak semua? Ya sudah, Pak Han, kita kencan berdua saja. Kencan sepupu.”

Mau tak mau aku terseret dalam tawa renyah Winny. Tapi hatiku? Entah kenapa ada rasa kecewa berat karena penolakan Fena. Katanya sudah ditunggu Adrian? Ah! Adrian lagi! Kenapa akhir-akhir ini kurasakan dia seperti duri dalam daging di antara Fena dan aku?

Huh! Entahlah!

“Kamu jadi mau traktir aku?”

Aku menoleh ke arah Winny. Sepupuku yang cantik itu tampak tersenyum menggodaku. Aku geleng kepala.

“Wah! Batal?” Winny membelalakkan matanya.

“Bukan. Berhubung cuma kita berdua, kita menengok anak-anak bengal itu sebentar, baru kita makan. OK?”

Deal!” Winny mengacungkan jempolnya.

“Maaf, Pak, Bu. Kami sudah selesai merapikan berkas. Ada lagi yang mau diselesaikan?” Tiara bergantian menatapku dan Winny.

“Sudah, Tia,” jawab Winny. “Kalian kalau mau pulang, pulang saja. Sampai ketemu Senin ya?”

Tiara dan Fena kemudian berpamitan. Aku menatap sosoknya yang menjauh. Fena.

“Lama-lama aku yang maju melamar dia untukmu.”

Terdengar gerutuan dari sebelahku. Mau tak mau aku tersenyum.

“Jangan mau kalah saing sama anak buah,” Winny kembali memanasiku. “Masak sama Adrian saja kamu sudah keok duluan? Atau kamu jaga image? Han... Han... Mau sampai kapan kamu jadi duda terus? Aku yakin Kin menangis di Surga sana lihat kamu berantakan begini.”

“Enak saja kalau ngomong!” gerutuku. “Aku baik-baik saja. Mana berantakan?”

“Tak perlu ngeles!” ucap Winny garang. “Hatimu yang berantakan, gara-gara kamu cinta seorang perempuan lagi tapi kamu jaim terus.”

Aku tak bisa membantah Winny. Dia bukan cuma setahun-dua tahun jadi sepupuku. Dia memang mengerti aku luar dalam. Sampai yang kukira bisa kusembunyikan dengan baik di sudut hatiku pun tampaknya dia mengerti.

“Majulah, Han, sebelum terlambat dan nanti kamu menyesal.”

Aku menghela napas panjang.

* * *

Yang benar-benar tak kumengerti, bagaimana mungkin aku melihatnya di sana? Duduk sendirian di kursi yang biasa kutempati? Menikmati makan malamnya di bawah pendar temaram sebatang lilin? Sejenak kupikir aku berilusi tentangnya. Tentang sosok Fena.

Tapi itu benar-benar dia! Tampak begitu asyik menyelami alamnya sendiri. Tak peduli orang yang datang dan pergi. Tenggelam dalam kesunyiannya sendiri.

Diam-diam aku seperti melihat bayangan diriku di dalamnya. Sendiri. Sunyi. Temaram. Tapi sangat menikmati nuansa gelap itu.

“Kurasa kalian menikmati hal yang sama di tempat ini,” bisik Winny.

Rupanya Winny dapat menangkap arah pandangku. Aku tetap diam. Tak terusik. Asyik menatapnya. Fena.

“Mau kupanggilkan dia biar bergabung di sini, Han?”

Aku menggeleng. “Biarlah, Win, kupikir dia sedang ingin menikmati sesuatu sendirian.”

Sekilas kulihat Winny mengedikkan bahunya.

Yang aku tak habis pikir, tadi Fena mengatakan akan pulang bersama Adrian. Tapi kenyataannya, yang kulihat, tadi ketika aku dan Winny membeli buah di supermarket, aku melihat Adrian tengah berbelanja dengan seorang gadis muda. Sepertinya seusia Fena. Dan mereka tampak begitu mesra. Dan saat ini, Fena sendirian menikmati makan malamnya di kafe ini.

Tahukah dia sepak terjang Adrian di belakang punggungnya? Aku rasa tidak. Atau entahlah! Aku tak bisa lagi berpikir. Otakku mendadak buntu.

“Coba besok aku cari tahu,” suara rendah Winny membuyarkan lamunanku.

“Maksudmu?

“Besok Oi les piano sama dia. Coba besok kutanyai.”

Aku tak tahu harus menanggapi apa. Jadi aku memilih untuk diam. Juga ketika makanan kami datang. Juga ketika dia beranjak pergi. Tanpa sedikit pun menoleh padaku.

Di luar hujan masih deras. Ingin aku mengembangkan payung untuknya. Membimbing tangannya. Membawanya pulang. Tapi dia sudah menghilang di balik pintu kafe. Tanpa aku berhasil menjangkaunya.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Candlelight Dinner #10

Lagu latar : Hidden Away – Josh Groban



Tidak ada komentar:

Posting Komentar