* * *
TRIFENA
Mas Han hanya mengangguk menurutiku ketika kutunjuk sebuah meja di sebuah sudut Kafe Pelangi. Mejaku. Meja kenanganku bersama Ayah. Aku ingin dia mengenal kenanganku akan Ayah dan meja itu.
Mas Han...
Aku sekarang hanya boleh memanggilnya ‘Pak’ di lingkup kantor. Mulai kemarin sore, tepatnya. Di luar itu, yah... Harus kusesuaikan karena dia delapan tahun lebih tua daripada aku. ‘Mas Hananto’ tampaknya adalah pilihan kata yang tepat.
“Ah! Senang sekali melihat Mbak dan Bapak datang berdua. Biasanya sendiri-sendiri,” ucap seorang pelayan sambil menyalakan lilin untuk kami.
Aku dan Mas Han saling menatap. Sama-sama mengirimkan sinyal bertanya.
“Mau pesan apa? Atau yang biasanya?”
Aku menatap pelayan itu. Dia tersenyum penuh arti padaku. Membuatku seketika tersipu.
“Mbak, kami pesan Rainbow Cake saja dulu,” ucap Mas Han. Sedetik kemudian dia menatapku, “Atau mau cake yang lain?”
Aku menggeleng. “Itu saja.”
“Minumnya?”
“Apple juice,” jawabku.
Mas Han kembali menatap pelayan itu. “Oke, Mbak, Rainbow Cake dua, apple juice satu, ginger tea satu. Makanannya nanti saja.”
“Baik, Pak, silahkan ditunggu sebentar.”
“Terima kasih.”
Setelah pelayan itu pergi, Mas Han menatapku. Dalam.
“Aku pernah melihatmu di sini, Fen. Di meja ini. Ada yang khusus dengan tempat ini?”
“Ya,” anggukku. “Meja ini tempat biasa Ayah dan aku makan kalau kami bertemu. Terakhir aku janjian dengan Ayah untuk bertemu pada suatu hari Jumat. Aku menunggunya sampai kafe ini hampir tutup. Ayah tidak datang. Baru kemudian aku tahu aku sudah kehilangan Ayah. Begitu saja. Tanpa pesan.”
“I’m so sorry to hear that...,” Mas Han menggenggam tanganku. Terasa begitu hangat.
“Tidak apa-apa, sudah berlalu,” senyumku. “Dan aku juga pernah melihat Mas di sini ketika aku bersama Adrian. Apakah ada kenangan yang sama?”
“Hm... Adrian,” dia melepaskan tanganku. “Ada apa sebenarnya antara kamu dan Adrian?”
Dalam temaram cahaya lilin, kulihat dia menatapku dengan sorot mata berkelip... cemburu? Aha!
“Mas Han cemburu?” aku berusaha untuk serius. Membayangkan dia akan salah tingkah dan mengingkari perasaannya itu saja sudah membuatku ingin terbahak.
“Ya,” jawabnya singkat. Membuatku harus menelan tawaku yang sudah sampai di ujung lidah.
Dia mengakuinya? Begitu saja? Tanpa sedikit pun mengelak? Betul-betul jawaban singkat yang membuatku seketika mati gaya.
“Hm... Ya, Adrian,” aku menatapnya. “Jadi, Mas Han berharap apa tentang hubunganku dengan Adrian?”
“Bukan apa-apa,” jawabnya lugas.
“Seandainya ada yang istimewa di antara aku dan Adrian, apakah Mas Han bisa menerimanya?”
“Aku tidak tahu. Belum tahu,” dia menggeleng.
Aku tersenyum. Wajah Mas Han tampak begitu serius dan menunggu jawaban. Aku tak sanggup lagi menggodanya. Mengombang-ambingkan perasaannya.
“Seharusnya aku panggil Adrian ‘om’, karena dia adik bungsu Bunda,” tawaku pecah. “Tapi dia tidak mau karena dia cuma setahun lebih tua daripada aku. Jadi dari kecil aku panggil dia Adrian, tanpa embel-embel apa pun.”
Mulut Mas Han membentuk huruf O, tanpa suara.
* * *
HANANTO
Hampir saja kutepuk kepalaku keras-keras. Kenapa tak pernah terpikir olehku bahwa Fena dan Adrian bersaudara? Keponakan dan omnya? Bodohnya aku!
Tapi aku benar-benar menikmati tawa itu. Jika aku memang harus berbuat bodoh lagi untuk membuatnya selalu tertawa, aku mau melakukannya.
Cahaya lilin memantulkan pendar dalam matanya. Indah. Sangat indah. Membuatku tak ingin melewatkan setiap detik yang kumiliki untuk mengalihkan sekejap pun tatapanku dari wajahnya.
“Aku senang Mas Han mengakui bahwa Mas Han cemburu,” bibirnya menyunggingkan seulas senyum. “Aku suka Mas Han jujur.”
Getar hatiku menyeruak lagi. Entah dari mana munculnya.
“Mas belum menjawab pertanyaanku. Apakah ada kenangan yang sama?”
Pelayan yang datang membawakan pesanan kami membuatku punya cukup waktu untuk sekedar menghimpun sedikit kekuatan. Dia sudah membuka sedikit bungkusan lukanya untuk dibagikan padaku. Sekarang giliranku. Dan sisa senyumnya sudah cukup membuatku memutuskan untuk mengenyahkan sedikit demi sedikit beban yang masih menggayuti hatiku.
“Ya, Fen,” jawabku kemudian. “Aku ke sini tiap Rabu. Karena terakhir kali aku ke sini adalah hari Rabu. Saat ulang tahun Kinanti. Pada saat yang sama aku harus kehilangannya. Menyakitkan, Fen, tapi itu sebagian dari hidupku. Lama aku baru bisa memaafkan diriku sendiri. Dan kupikir hidupku harus berjalan terus. Bersamamu. Itu harapanku.”
Ada bulir bening meluncur dari sudut mata Fena. Tanganku terulur untuk menghapusnya. Dan dia memegang tanganku.
“Aku takut mengecewakanmu, Mas,” bisiknya.
Aku menggeleng. “Aku tak pernah menyamakanmu dengan Kinanti, Fen. Karena kalian orang yang berbeda. Kinanti adalah cintaku yang dulu. Saat ini dan yang akan datang, semua cintaku adalah untukmu...”
Fena menggenggam tanganku, membawanya ke pipi kirinya.
“Pada awalnya aku merasa butuh seorang ayah,” ucapnya lirih. “Karena masaku bersama Ayah tak pernah benar-benar tuntas. Tapi pada akhirnya aku sadar bahwa rasa ini lain. Cinta yang lain. Yang memang seharusnya tumbuh dan kuberikan seutuhnya pada Mas Han.”
“Kamu mau seorang ayah, kuberikan diriku padamu, Fen. Kamu mau seorang kekasih, kuberikan diriku juga. Apa pun untukmu. Semuanya dari diriku. Seutuhnya.”
Fena tertawa sambil menyusut airmatanya. “Aku senang mendengar gombalanmu, Mas.”
Aku ikut tertawa bersamanya. Biarlah dia menganggapku sedang menggombalinya. Asal dia tetap tersenyum dan tertawa.
Dalam hati aku berjanji. Tak akan pernah aku akan menyakitinya. Segores tipis pun.
“Aku memang rakus atau bagaimana ya?’ ucapnya dengan nada rendah.
“Bagaimana?” kucondongkan badanku, berusaha memahami ucapannya.
“Aku masih lapar. Rainbow cake-nya mini begini,” Fena meringis lucu.
“Oh...,” aku tertawa. “Jadi kita pesan makanan sekarang. Kamu mau makan apa, Fen?”
“Mas Han maunya apa?” dia balik bertanya.
“Hm... Favoritku nasi sapo tahu. Kamu?”
Entah kenapa dia menatapku cukup lama. Ada apakah? Kulihat dia menggeleng samar.
“Kenapa, Fen?”
“Ayah juga menyukai nasi sapo tahu.”
Kudengar ada nada yang menggantung di ujung kalimatnya. Kucoba untuk mencairkan suasana.
“Kurasa pilihanmu bukan nasi galantin,” senyumku. “Itu favorit Kinanti.”
“Itu favoritku,” bisiknya lugas.
Membuatku terpana. Membuatku jatuh dalam lilitan benang merah antara Kinanti, Fena, ayah Fena, dan aku.
Mungkin memang benar Tuhan menjatuhkan takdir atas kami untuk saling bertemu, jatuh cinta, dan mengikatkan diri. Setidaknya aku ingin mengikatkan diri padanya. Pada Trifena. Hidupku masa kini dan masa depan. Mencoba untuk meretas gunungan kehilangan di masa lalu.
Dan aku selalu melihatnya. Kerlip cinta dalam temaram cahaya lilin. Membinar dalam sebingkai wajah Trifena.
* * *
EPILOG
“Kinanti dan Damar...,” gumam Trifena.
Tak henti-hentinya dia mengagumi gambaran dalam sehelai kertas di tangannya. Hasil USG kandungan Trifena. Si kembar Kinanti dan Damar yang akan hadir dua bulan lagi.
“Semoga mereka bisa hadir tepat saat ultah pertama pernikahan kita ya, Bun,” Hananto memeluk Trifena dari belakang, berbisik lembut di telinga Trifena.
“Ayah bahagia?” Trifena menolehkan kepalanya ke kanan.
“Sangat,” jawab Hananto. “Bunda?”
“Ya, sama. Sangat.”
“Hm... Copas,” Hananto tertawa.
Trifena juga tertawa.
Ditatapnya sekali lagi lembar kertas itu. Lalu bisiknya, “Suatu ketika mereka harus tahu tentang Bunda Kinanti dan Kakek Damar.”
Hananto mempererat pelukannya. “Ya, orang-orang yang sangat kita cintai...”
* * * * *
SELESAI
Lagu latar : You Are Me , I Am You – Dave Koz
good stori dan romantis spesialis mbak Lizz
BalasHapusMakasih banyak atas kesetiaan Bapak membaca kisah ini...
HapusBaca lagi ini, kok tetap memikat,... pakai pelet..... hehehehehehehehe......... cerita yang sangat indah.
BalasHapusMakasih banyak, Mbak... :)
HapusGa bosan baca berkali kali,, , tetep mrebes mili ,cerita favorit saya ini bu lis,,
BalasHapus