Jumat, 04 Oktober 2013

[Cermis] Gema-Gema Genta



Namaku Genta. Aku suka sekali membunyikan genta-genta kecil yang dipasang Kak Nina di balkon kamarnya. Ketika gemerincing itu terdengar membelah udara, Kak Nina selalu melongokkan kepalanya ke luar. Dan ketika ia melihatku duduk menunggunya di bawah pohon mangga, ia selalu mengembangkan senyumnya yang manis.

Kadang-kadang aku membunyikan genta-genta kecil itu saat Kak Nina tak ada di rumah. Mamanya yang akan melongokkan kepala. Tanpa melihatku, ia akan berucap lembut, “Nina sedang pergi, Genta, nanti saja kau kembali ya?” Maka aku pun menunggu kedatangan Kak Nina sambil bergulingan di bawah pohon mangga.

Aku bukan siapa-siapa Kak Nina. Hanya seorang anak tetangga. Tapi Kak Nina menyayangiku. Karena ia tak punya adik sendiri. Aku sebenarnya punya kakak. Tapi rasa sayangnya padaku kurasakan tak sebesar rasa sayang Kak Nina.

Ketika kesedihan itu menghimpitku, aku selalu lari pada Kak Nina. Lalu dia akan mendengarkan keluh-kesahku dengan sabar. Mengelus lembut kepalaku. Membisikkan kalimat-kalimat yang selalu terdengar sangat menghiburku.

Dan sekarang aku ingin menemui Kak Nina. Karena sebuah rasaku. Pada seseorang. Yang senyumnya terlihat begitu bercahaya di mataku. Aku bertemu dengannya lima hari yang lalu. Sejak itu hatiku seakan melambung setiap kali melihatnya.

Wajahnya yang bersih terlihat sangat teduh di mataku. Juga tatapan matanya. Juga senyumnya. Tapi dia hanya diam. Belum mengatakan apa-apa. Kurasa aku hanya baru bisa bermimpi. Dan mimpiku bukan puing, aku berdiri membangun mimpi di atas mimpi.

Ini yang ingin kuceritakan pada Kak Nina. Tapi mengapa hingga malam menjelang ia belum pulang juga? Iseng kubunyikan genta-genta kecil itu. Tak lama kemudian Tante Yuri, mama Kak Nina, melongokan kepala dari balik jendela ruang makan.

“Genta  sayang, Nina belum pulang. Besok saja kau kembali ya?” ucapnya, selalu lembut.

Aku terpaksa mengangguk. Langkahku terasa begitu ringan ketika meninggalkan rumah itu. Diam-diam kesedihan melingkupi hatiku.

* * *

Meskipun Kak Nina sudah melihatku, tapi kubunyikan juga genta-genta kecil itu. Kak Nina tertawa. Aku pun tersenyum.

“Iseng sekali kau ini ya...,” ucapnya.

Aku pun duduk di sebelahnya. Kak Nina menutup laptop yang ada di pangkuannya. Ia kemudian menatapku.

“Sekarang katakan ada apa, Genta,” wajahnya terlihat begitu serius. “Mama bilang kamu menungguiku hingga malam.”

“Iya,” jawabku malu-malu. “Aku ingin cerita sesuatu.”

“Oke, sekarang ceritalah,” kata Kak Nina dengan wajah ceria. “Aku sudah penasaran sejak semalam.”

“Mm...,” aku mulai kehilangan kata-kata. Aku tak tahu harus mulai dari mana. Aku juga tak berharap Kak Nina paham apa yang kurasakan.

Gemerincing genta terdengar ketika angin berhembus. Membuatku tersadar bahwa Kak Nina masih menungguku menyelesaikan kata.

“Kak, kukira aku jatuh cinta...,” aku terpaksa juga membisikkan kalimat itu.

“Oh ya?” kulihat Kak Nina menatapku dengan takjub. “Ceritakan! Ceritakan!”

Aku tersipu. Tapi Kak Nina terlihat begitu antusias. Membuatku memutuskan untuk menceritakan perasaanku.

“”Iya, Kak. Aku bertemu dengannya enam hari yang lalu. Aku sukaaa sekali melihatnya, Kak. Dia ganteng sekali!”

“Wow...,” ucap Kak Nina tanpa suara. “Apakah dia yang sedang mengintipmu di balik pohon mangga?” bisiknya kemudian.

Dan aku menoleh ke arah itu. Mendapati Andi, pemuda tempat aku mendaratkan hati, sedang menatapku dengan tatapan teduhnya. Senyumnya terkembang. Membuatku terasa makin ringan.

Kudengar Kak Nina tertawa renyah. “Sudahlah, kalian mengobrol saja. Aku harus kuliah.”

Kutatap Kak Nina. Ia mengedipkan sebelah mata padaku. Kemudian ia beranjak pergi. Aku menoleh ke arah pohon mangga. Andi masih berdiri di sana. Seketika aku tahu, ia ingin mengajakku bicara.

* * *

Entah kenapa hari ini aku sedih sekali. Andi menatapku dengan lara. Aku tak tega melihatnya. Ketika aku menengok ke arah balkon Kak Nina, ia ada di sana. Duduk diam sambil sesekali menatapku. Muram.

Akhir hari ini adalah akhir hari keempat puluh sejak hari kematianku. Hari terakhir sejak aku pertama kali bisa membunyikan genta-genta kecil di balkon kamar Kak Nina. Membuatnya menyadari kehadiranku. Juga melihat kedatanganku.

Tante Yuri tak bisa melihatku. Tapi ia selalu bisa merasakan kehadiranku. Ia juga tak merasa terganggu. Karena aku juga tak pernah ingin mengganggunya. Ia tahu aku datang hanya karena kangen pada Kak Nina. Ia membiarkanku hadir hingga jadi terbiasa.

“Apakah kita akan bertemu lagi?” tanya Andi, lirih.

“Aku tak tahu,” jawabku jujur.

“Aku akan merindukanmu,” ia tertunduk.

“Ketika aku melihatmu,” ucapku, “aku merasa seakan semua mimpiku terjawab. Apalagi ketika kau katakan kau juga menyayangiku. Bermimpilah, Andi.”

Tatapan Andi begitu meruntuhkan hatiku. Tapi aku memang harus pergi. Meninggalkan semua puing kehidupanku. Meninggalkan Kak Nina. Meninggalkan Andi. Berharap bisa bertemu Andi lagi dalam jangka waktu dua puluh hari ke depan, saat Andi mencapai waktu empat puluh hari kematiannya.

Entah kami akan bertemu lagi ataukah tidak. Aku hanya bisa bermimpi. Aku hanya berharap mimpiku menjadi nyata. Senyata kehadiran Andi pada sepenggal waktu akhir hidupku. Berharap kami bisa bergandengan tangan. Menatap angin menggoyangkan genta-genta di balkon Kak Nina. Mendengarkan gemanya yang semoga saja sampai ke atas sana.

* * * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar