Namaku Genta. Aku suka
sekali membunyikan genta-genta kecil yang dipasang Kak Nina di balkon kamarnya.
Ketika gemerincing itu terdengar membelah udara, Kak Nina selalu melongokkan
kepalanya ke luar. Dan ketika ia melihatku duduk menunggunya di bawah pohon
mangga, ia selalu mengembangkan senyumnya yang manis.
Kadang-kadang aku
membunyikan genta-genta kecil itu saat Kak Nina tak ada di rumah. Mamanya yang
akan melongokkan kepala. Tanpa melihatku, ia akan berucap lembut, “Nina sedang
pergi, Genta, nanti saja kau kembali ya?” Maka aku pun menunggu kedatangan Kak
Nina sambil bergulingan di bawah pohon mangga.
Aku bukan siapa-siapa
Kak Nina. Hanya seorang anak tetangga. Tapi Kak Nina menyayangiku. Karena ia tak
punya adik sendiri. Aku sebenarnya punya kakak. Tapi rasa sayangnya padaku
kurasakan tak sebesar rasa sayang Kak Nina.
Ketika kesedihan itu
menghimpitku, aku selalu lari pada Kak Nina. Lalu dia akan mendengarkan
keluh-kesahku dengan sabar. Mengelus lembut kepalaku. Membisikkan
kalimat-kalimat yang selalu terdengar sangat menghiburku.
Dan sekarang aku ingin
menemui Kak Nina. Karena sebuah rasaku. Pada seseorang. Yang senyumnya terlihat
begitu bercahaya di mataku. Aku bertemu dengannya lima hari yang lalu. Sejak
itu hatiku seakan melambung setiap kali melihatnya.
Wajahnya yang bersih
terlihat sangat teduh di mataku. Juga tatapan matanya. Juga senyumnya. Tapi dia
hanya diam. Belum mengatakan apa-apa. Kurasa aku hanya baru bisa bermimpi. Dan mimpiku bukan puing, aku berdiri
membangun mimpi di atas mimpi.
Ini yang ingin
kuceritakan pada Kak Nina. Tapi mengapa hingga malam menjelang ia belum pulang
juga? Iseng kubunyikan genta-genta kecil itu. Tak lama kemudian Tante Yuri,
mama Kak Nina, melongokan kepala dari balik jendela ruang makan.
“Genta sayang, Nina belum pulang. Besok saja kau
kembali ya?” ucapnya, selalu lembut.
Aku terpaksa
mengangguk. Langkahku terasa begitu ringan ketika meninggalkan rumah itu.
Diam-diam kesedihan melingkupi hatiku.
* * *
Meskipun Kak Nina sudah
melihatku, tapi kubunyikan juga genta-genta kecil itu. Kak Nina tertawa. Aku
pun tersenyum.
“Iseng sekali kau ini
ya...,” ucapnya.
Aku pun duduk di
sebelahnya. Kak Nina menutup laptop yang ada di pangkuannya. Ia kemudian
menatapku.
“Sekarang katakan ada
apa, Genta,” wajahnya terlihat begitu serius. “Mama bilang kamu menungguiku
hingga malam.”
“Iya,” jawabku
malu-malu. “Aku ingin cerita sesuatu.”
“Oke, sekarang
ceritalah,” kata Kak Nina dengan wajah ceria. “Aku sudah penasaran sejak
semalam.”
“Mm...,” aku mulai
kehilangan kata-kata. Aku tak tahu harus mulai dari mana. Aku juga tak berharap
Kak Nina paham apa yang kurasakan.
Gemerincing genta
terdengar ketika angin berhembus. Membuatku tersadar bahwa Kak Nina masih
menungguku menyelesaikan kata.
“Kak, kukira aku jatuh
cinta...,” aku terpaksa juga membisikkan kalimat itu.
“Oh ya?” kulihat Kak
Nina menatapku dengan takjub. “Ceritakan! Ceritakan!”
Aku tersipu. Tapi Kak
Nina terlihat begitu antusias. Membuatku memutuskan untuk menceritakan
perasaanku.
“”Iya, Kak. Aku bertemu
dengannya enam hari yang lalu. Aku sukaaa sekali melihatnya, Kak. Dia ganteng
sekali!”
“Wow...,” ucap Kak Nina
tanpa suara. “Apakah dia yang sedang mengintipmu di balik pohon mangga?”
bisiknya kemudian.
Dan aku menoleh ke arah
itu. Mendapati Andi, pemuda tempat aku mendaratkan hati, sedang menatapku
dengan tatapan teduhnya. Senyumnya terkembang. Membuatku terasa makin ringan.
Kudengar Kak Nina
tertawa renyah. “Sudahlah, kalian mengobrol saja. Aku harus kuliah.”
Kutatap Kak Nina. Ia
mengedipkan sebelah mata padaku. Kemudian ia beranjak pergi. Aku menoleh ke
arah pohon mangga. Andi masih berdiri di sana. Seketika aku tahu, ia ingin
mengajakku bicara.
* * *
Entah kenapa hari ini
aku sedih sekali. Andi menatapku dengan lara. Aku tak tega melihatnya. Ketika
aku menengok ke arah balkon Kak Nina, ia ada di sana. Duduk diam sambil
sesekali menatapku. Muram.
Akhir hari ini adalah
akhir hari keempat puluh sejak hari kematianku. Hari terakhir sejak aku pertama
kali bisa membunyikan genta-genta kecil di balkon kamar Kak Nina. Membuatnya
menyadari kehadiranku. Juga melihat kedatanganku.
Tante Yuri tak bisa
melihatku. Tapi ia selalu bisa merasakan kehadiranku. Ia juga tak merasa
terganggu. Karena aku juga tak pernah ingin mengganggunya. Ia tahu aku datang
hanya karena kangen pada Kak Nina. Ia membiarkanku hadir hingga jadi terbiasa.
“Apakah kita akan
bertemu lagi?” tanya Andi, lirih.
“Aku tak tahu,” jawabku
jujur.
“Aku akan
merindukanmu,” ia tertunduk.
“Ketika aku melihatmu,”
ucapku, “aku merasa seakan semua mimpiku terjawab. Apalagi ketika kau katakan
kau juga menyayangiku. Bermimpilah, Andi.”
Tatapan Andi begitu
meruntuhkan hatiku. Tapi aku memang harus pergi. Meninggalkan semua puing
kehidupanku. Meninggalkan Kak Nina. Meninggalkan Andi. Berharap bisa bertemu
Andi lagi dalam jangka waktu dua puluh hari ke depan, saat Andi mencapai waktu
empat puluh hari kematiannya.
Entah kami akan bertemu
lagi ataukah tidak. Aku hanya bisa bermimpi. Aku hanya berharap mimpiku menjadi nyata. Senyata kehadiran Andi pada sepenggal
waktu akhir hidupku. Berharap kami bisa bergandengan tangan. Menatap angin
menggoyangkan genta-genta di balkon Kak Nina. Mendengarkan gemanya yang semoga
saja sampai ke atas sana.
* * * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar