Jumat, 18 Oktober 2013

[Cermis] Belaian Di Tengah Malam





Belaian itu sungguh hangat dirasakan Aura. Ia pun tersenyum dalam tidurnya. Terasa selimutnya dibenahi dengan sempurna. Setengah sadar ia berbisik lirih, “I love you, Ma…

Tidurnya makin nyenyak. Hingga belaian itu tak lagi dirasakannya. Juga sebuah kecupan sayang di keningnya. Karena alam mimpi telah begitu lekat membungai tidurnya.

Di kamar sebelah Lilo terbangun karena sebuah sentuhan lembut di pipinya. Sambil mengerjap-ngerjapkan mata ia melirik jam beker di atas meja belajar. Lewat beberapa menit dari tengah malam.


Dengan langkah agak tersaruk ia menuju ke dapur. Segelas susu hangat telah menunggunya di atas meja. Dengan nikmat ia meneguknya.

Beberapa saat kemudian susu itu sudah habis. Sambil meletakkan gelas di tempat cuci piring, ia berbisik lirih, “Makasih, Ma, I love you…”

Susan tersenyum di sudut dapur. Setelah Lilo kembali ke kamarnya, Susan pun segera menuju kamar di ujung. Perlahan ia masuk. Haryo sudah tenggelam dalam alam tidurnya. Susan menatapnya dengan sedih.

Betapa waktu delapan bulan sudah begitu mengubah Haryo. Ada letih dan guratan beban yang sarat tergambar dalam wajah Haryo. Wajah itu tetap tampan. Tapi entah kenapa bening telah menguap dari romannya.

Susan menggeleng pelan. Lara. Pelan ia mengulurkan tangan. Membelai lembut kening Haryo. Laki-laki itu bergerak sedikit. Ada gumam yang lirih menggema dari sela-sela bibirnya, “Susan…”

“Ya…?” bisik Susan lembut.

“Aku selalu mencintaimu…”

Ada duka dalam suara itu. Susan termenung. Ia tahu sebesar apa cinta Haryo padanya. Juga cinta Aura. Juga cinta Lilo. Sama besarnya dengan cintanya pada Haryo dan si kembar Aura-Lilo.

Cinta itu juga yang tak sanggup membuatnya setapak pun mampu meninggalkan rumah besar yang hangat itu. Susan tergugu. Perlahan ia keluar. Ke taman belakang. Ia duduk di atas ayunan. Pelan ia mulai mengayun. Ke depan. Ke belakang. Ke depan. Ke belakang.

Sementara itu, dari balik sebuah jendela di lantai dua rumah sebelah, sepasang mata menatap ke arahnya dengan penuh horor. Pemilik mata itu melihat ayunan di halaman belakang rumah Haryo bergerak begitu teratur. Tak satu pun dedaunan di luar bergerak. Ayunan itu bergerak sendiri. Bukan karena angin.

Dalam kondisi kosong.

* * *

“Pagi, Pa…”

“Pagi…”

Haryo menoleh sekilas tanpa menghentikan gerak tangannya. Ia terus mengaduk nasi goreng dalam penggorengan.

“Lilo udah bangun?” tanya Haryo.

“Udah, lagi mandi.”

Aura mengambil tiga butir telur dan membuat tiga buah telur mata sapi di sebelah Haryo. Lilo muncul tak lama kemudian. Langsung mengambil dua buah gelas dan sebuah cangkir, lalu membuat dua gelas susu coklat dan secangkir kopi.

“Mandi, Ra,” ucap Lilo sambil sibuk mengaduk minuman.

“Tanggung, Lo.”

“Udah tinggal aja, biar aku yang angkat telurnya.”

Percakapan singkat itu membuat Haryo tercekat. Lihat anak-anak kita, Sus, batinnya, seharusnya tak harus jadi begini. Seharusnya nasi goreng ini adalah nasi goreng terlezat hasil masakanmu…

Semuanya sudah berubah sejak delapan bulan yang lalu. Sejak ada sebuah kejadian yang teramat mengerikan. Teramat menyakitkan. Tak pernah akan dapat terlupakan.

Haryo mengangkat penggorengan. Lilo sibuk mengiris tomat dan mentimun. Setelah selesai mandi, Aura kembali ke dapur.

“Mandi, Pa, biar aku yang beresin.”

Haryo mengangguk. Aura memindahkan nasi goreng dari penggorengan ke dalam sebuah mangkok besar.

“Mama membuatkan aku susu lagi semalam, Ra,” bisik Lilo.

“Mama membenahi selimut dan membelaiku,” Aura juga berbisik.

Mereka bertatapan sejenak. Saling mengirimkan gema suara hati, jangan bilang Papa…

* * *

Rembulan tampak bulat penuh di kaki langit. Haryo duduk diam di teras belakang. Tak lama kemudian Aura dan Lilo menyusul. Bertiga mereka menikmati heningnya menjelang malam.

“Gimana, Pa?” lirih suara Lilo.

Haryo menghela napas panjang. “Sudah tadi, divonis hukuman mati.”

Aura menggenggam tangan papanya. “Aku kangen Mama, Pa…”

Haryo merengkuh Aura ke dalam pelukannya. “Biarkan Mama tenang, Nak. Kerinduan kita akan memberatkan Mama.”

Lilo merebahkan kepalanya di bahu kiri Haryo. “Mama akan tetap ada di dalam hatiku, Pa, selamanya.”

Haryo merengkuh juga Lilo ke dalam pelukannya. Selama beberapa puluh menit mereka tenggelam dalam keheningan.

Bulan makin tinggi. Haryo melepaskan rengkuhannya.

“Kalian tidurlah,” ucapnya lembut.

Dan Haryo kembali berada dalam kesendiriannya setelah Aura dan Lilo pergi ke kamar masing-masing. Haryo menghela napas panjang. Berusaha melepaskan beban dalam hatinya.

“Sus, aku tahu kau masih di sini,” bisik Haryo. “Aku tahu kau masih membelaiku tiap malam. Aku juga mendengarmu mengaduk susu di dapur untuk Lilo. Aku rasa kau juga masih membenahi selimut Aura.”

Ada bening yang mengalir di pipi Haryo. Hatinya berdesir ketika melihat ayunan kosong itu bergerak perlahan. Maju. Mundur. Maju. Mundur.

“Sus, kami baik-baik saja. Kau akan selalu ada dalam hati kami. Cintamu yang begitu besar akan abadi tersimpan dalam hidup kami.”

Haryo bangkit dari duduknya. Kemudian melangkah ke arah ayunan. Duduk di sana.

“Sus,” bisiknya lagi. “Sepenuhnya aku tahu kau selalu suci menjaga hati dan tubuhmu. Tak ada sedikit pun aku meragukanmu. Aku mencintaimu, Sus, sangat. Tapi penuhilah takdirmu. Kelak aku akan menyusulmu, dengan segenap cintaku.”

Haryo merasakan ada sentuhan lembut di punggungnya. Ia memejamkan mata. Ia tahu sentuhan itu tak akan dirasakannya lagi besok.

“Pergilah, Sus, aku mencintaimu. Selalu…”

* * *

Susan menatap Lilo yang menghabiskan susu. Ketika susu itu habis, Lilo tak segera beranjak. Ia memilih untuk duduk sejenak di kursi.

“Ma,” bisiknya. “Aku sayang Mama. Tapi aku nggak bisa menahan Mama di sini. Mama akan selalu ada di hatiku, Ma, selamanya. Di manapun Mama berada…”

Susan tersenyum di sudut. Lilo terlihat begitu tulus. Membuat Susan yakin remaja putra itu akan baik-baik saja.

Di dalam kamarnya Aura tenggelam dalam selimutnya. Ada sedikit rasa sedih. Perasaan bahwa malam ini adalah malam terakhir ia bisa merasakan belaian tangan mamanya. Tapi ia berusaha menguatkan hati.

Bisiknya, “Ma, Papa dan Lilo akan menjagaku. Aku akan baik-baik saja. Bukakan pintu Surga untuk kami, Ma. Aku sayang sama Mama, sampai kapan pun…”

Susan menunggu hingga Aura tertidur. Dibenahinya selimut Aura. Dilihatnya wajah Aura begitu damai.

Juga wajah Lilo.

Juga wajah Haryo.

Ia kemudian keluar ke teras belakang. Diedarkannya pandangannya ke seluruh teras. Hingga sampai ke sudut.

Masih bisa dilihatnya bayangan tubuhnya terkapar bersimbah darah tanpa ada yang tahu. Sudut itu rimbun dengan tanaman. Membuat pembunuh dan pemerkosa itu leluasa menikamnya ketika ia lari menghindar. Dipertahankannya kesucian itu walau harus ditebusnya dengan nyawa.

Tapi Haryo tahu sebesar apa cinta itu ia pertahankan. Juga Aura. Juga Lilo.

Ada yang terasa ringan sekarang. Ia menengok ke belakang. Ditatapnya rumah besar itu sekali lagi. Rumah cintanya.

Susan tersenyum.

Kemudian menghilang.

* * * * *

Catatan :
Terima kasih kepada 
Dark Angel atas sumbangan idenya.



Lagu latar : Nocturne – Secret Garden



Tidak ada komentar:

Posting Komentar