Belaian
itu sungguh hangat dirasakan Aura. Ia pun tersenyum dalam tidurnya. Terasa
selimutnya dibenahi dengan sempurna. Setengah sadar ia berbisik lirih, “I
love you, Ma…”
Tidurnya
makin nyenyak. Hingga belaian itu tak lagi dirasakannya. Juga sebuah kecupan
sayang di keningnya. Karena alam mimpi telah begitu lekat membungai tidurnya.
Di kamar
sebelah Lilo terbangun karena sebuah sentuhan lembut di pipinya. Sambil
mengerjap-ngerjapkan mata ia melirik jam beker di atas meja belajar. Lewat
beberapa menit dari tengah malam.
Dengan
langkah agak tersaruk ia menuju ke dapur. Segelas susu hangat telah menunggunya
di atas meja. Dengan nikmat ia meneguknya.
Beberapa
saat kemudian susu itu sudah habis. Sambil meletakkan gelas di tempat cuci
piring, ia berbisik lirih, “Makasih, Ma, I love you…”
Susan
tersenyum di sudut dapur. Setelah Lilo kembali ke kamarnya, Susan pun segera
menuju kamar di ujung. Perlahan ia masuk. Haryo sudah tenggelam dalam alam
tidurnya. Susan menatapnya dengan sedih.
Betapa
waktu delapan bulan sudah begitu mengubah Haryo. Ada letih dan guratan beban
yang sarat tergambar dalam wajah Haryo. Wajah itu tetap tampan. Tapi entah
kenapa bening telah menguap dari romannya.
Susan
menggeleng pelan. Lara. Pelan ia mengulurkan tangan. Membelai lembut kening
Haryo. Laki-laki itu bergerak sedikit. Ada gumam yang lirih menggema dari
sela-sela bibirnya, “Susan…”
“Ya…?”
bisik Susan lembut.
“Aku
selalu mencintaimu…”
Ada duka
dalam suara itu. Susan termenung. Ia tahu sebesar apa cinta Haryo padanya. Juga
cinta Aura. Juga cinta Lilo. Sama besarnya dengan cintanya pada Haryo dan si
kembar Aura-Lilo.
Cinta itu
juga yang tak sanggup membuatnya setapak pun mampu meninggalkan rumah besar
yang hangat itu. Susan tergugu. Perlahan ia keluar. Ke taman belakang. Ia duduk
di atas ayunan. Pelan ia mulai mengayun. Ke depan. Ke belakang. Ke depan. Ke
belakang.
Sementara
itu, dari balik sebuah jendela di lantai dua rumah sebelah, sepasang mata
menatap ke arahnya dengan penuh horor. Pemilik mata itu melihat ayunan di
halaman belakang rumah Haryo bergerak begitu teratur. Tak satu pun dedaunan di
luar bergerak. Ayunan itu bergerak sendiri. Bukan karena angin.
Dalam
kondisi kosong.
* *
*
“Pagi,
Pa…”
“Pagi…”
Haryo
menoleh sekilas tanpa menghentikan gerak tangannya. Ia terus mengaduk nasi
goreng dalam penggorengan.
“Lilo
udah bangun?” tanya Haryo.
“Udah,
lagi mandi.”
Aura
mengambil tiga butir telur dan membuat tiga buah telur mata sapi di sebelah
Haryo. Lilo muncul tak lama kemudian. Langsung mengambil dua buah gelas dan
sebuah cangkir, lalu membuat dua gelas susu coklat dan secangkir kopi.
“Mandi,
Ra,” ucap Lilo sambil sibuk mengaduk minuman.
“Tanggung,
Lo.”
“Udah
tinggal aja, biar aku yang angkat telurnya.”
Percakapan
singkat itu membuat Haryo tercekat. Lihat anak-anak kita, Sus, batinnya, seharusnya
tak harus jadi begini. Seharusnya nasi goreng ini adalah nasi goreng terlezat
hasil masakanmu…
Semuanya
sudah berubah sejak delapan bulan yang lalu. Sejak ada sebuah kejadian yang
teramat mengerikan. Teramat menyakitkan. Tak pernah akan dapat terlupakan.
Haryo
mengangkat penggorengan. Lilo sibuk mengiris tomat dan mentimun. Setelah
selesai mandi, Aura kembali ke dapur.
“Mandi,
Pa, biar aku yang beresin.”
Haryo
mengangguk. Aura memindahkan nasi goreng dari penggorengan ke dalam sebuah
mangkok besar.
“Mama
membuatkan aku susu lagi semalam, Ra,” bisik Lilo.
“Mama
membenahi selimut dan membelaiku,” Aura juga berbisik.
Mereka
bertatapan sejenak. Saling mengirimkan gema suara hati, jangan bilang
Papa…
* *
*
Rembulan
tampak bulat penuh di kaki langit. Haryo duduk diam di teras belakang. Tak lama
kemudian Aura dan Lilo menyusul. Bertiga mereka menikmati heningnya menjelang
malam.
“Gimana,
Pa?” lirih suara Lilo.
Haryo
menghela napas panjang. “Sudah tadi, divonis hukuman mati.”
Aura
menggenggam tangan papanya. “Aku kangen Mama, Pa…”
Haryo
merengkuh Aura ke dalam pelukannya. “Biarkan Mama tenang, Nak. Kerinduan kita
akan memberatkan Mama.”
Lilo
merebahkan kepalanya di bahu kiri Haryo. “Mama akan tetap ada di dalam hatiku,
Pa, selamanya.”
Haryo
merengkuh juga Lilo ke dalam pelukannya. Selama beberapa puluh menit mereka
tenggelam dalam keheningan.
Bulan
makin tinggi. Haryo melepaskan rengkuhannya.
“Kalian
tidurlah,” ucapnya lembut.
Dan Haryo
kembali berada dalam kesendiriannya setelah Aura dan Lilo pergi ke kamar
masing-masing. Haryo menghela napas panjang. Berusaha melepaskan beban dalam
hatinya.
“Sus, aku
tahu kau masih di sini,” bisik Haryo. “Aku tahu kau masih membelaiku tiap
malam. Aku juga mendengarmu mengaduk susu di dapur untuk Lilo. Aku rasa kau
juga masih membenahi selimut Aura.”
Ada
bening yang mengalir di pipi Haryo. Hatinya berdesir ketika melihat ayunan
kosong itu bergerak perlahan. Maju. Mundur. Maju. Mundur.
“Sus,
kami baik-baik saja. Kau akan selalu ada dalam hati kami. Cintamu yang begitu
besar akan abadi tersimpan dalam hidup kami.”
Haryo
bangkit dari duduknya. Kemudian melangkah ke arah ayunan. Duduk di sana.
“Sus,”
bisiknya lagi. “Sepenuhnya aku tahu kau selalu suci menjaga hati dan tubuhmu.
Tak ada sedikit pun aku meragukanmu. Aku mencintaimu, Sus, sangat. Tapi
penuhilah takdirmu. Kelak aku akan menyusulmu, dengan segenap cintaku.”
Haryo
merasakan ada sentuhan lembut di punggungnya. Ia memejamkan mata. Ia tahu
sentuhan itu tak akan dirasakannya lagi besok.
“Pergilah,
Sus, aku mencintaimu. Selalu…”
* *
*
Susan
menatap Lilo yang menghabiskan susu. Ketika susu itu habis, Lilo tak segera
beranjak. Ia memilih untuk duduk sejenak di kursi.
“Ma,”
bisiknya. “Aku sayang Mama. Tapi aku nggak bisa menahan Mama di sini. Mama akan
selalu ada di hatiku, Ma, selamanya. Di manapun Mama berada…”
Susan
tersenyum di sudut. Lilo terlihat begitu tulus. Membuat Susan yakin remaja
putra itu akan baik-baik saja.
Di dalam
kamarnya Aura tenggelam dalam selimutnya. Ada sedikit rasa sedih. Perasaan
bahwa malam ini adalah malam terakhir ia bisa merasakan belaian tangan mamanya.
Tapi ia berusaha menguatkan hati.
Bisiknya,
“Ma, Papa dan Lilo akan menjagaku. Aku akan baik-baik saja. Bukakan pintu Surga
untuk kami, Ma. Aku sayang sama Mama, sampai kapan pun…”
Susan
menunggu hingga Aura tertidur. Dibenahinya selimut Aura. Dilihatnya wajah Aura
begitu damai.
Juga
wajah Lilo.
Juga
wajah Haryo.
Ia
kemudian keluar ke teras belakang. Diedarkannya pandangannya ke seluruh teras.
Hingga sampai ke sudut.
Masih
bisa dilihatnya bayangan tubuhnya terkapar bersimbah darah tanpa ada yang tahu.
Sudut itu rimbun dengan tanaman. Membuat pembunuh dan pemerkosa itu leluasa
menikamnya ketika ia lari menghindar. Dipertahankannya kesucian itu walau harus
ditebusnya dengan nyawa.
Tapi
Haryo tahu sebesar apa cinta itu ia pertahankan. Juga Aura. Juga Lilo.
Ada yang
terasa ringan sekarang. Ia menengok ke belakang. Ditatapnya rumah besar itu
sekali lagi. Rumah cintanya.
Susan
tersenyum.
Kemudian
menghilang.
* *
* * *
Catatan
:
Terima kasih kepada Dark Angel atas sumbangan idenya.
Terima kasih kepada Dark Angel atas sumbangan idenya.
Lagu
latar : Nocturne – Secret Garden
Tidak ada komentar:
Posting Komentar