Empat
Episode sebelumnya : Candlelight Dinner #3
* * *
TRIFENA
“Mbak Fen...”
Kuangkat wajahku dari layar laptop. Pak Han menatapku serius.
“Laporan pajak yang tahun ini bisa selesai minggu depan?”
“Sudah selesai kok, Pak. Bapak mau hardcopy atau softcopy?”
Dia menatapku beberapa detik sebelum menjawab, “File-nya saja tolong kirim ke emailku.”
“Baik, Pak,” aku mengangguk singkat.
Tak butuh waktu lama untuk mengirim file laporan pajak itu ke email Pak Han. Ketika kuselesaikan tugasku, baru kusadari dia masih tetap berada di tempatnya berdiri. Di depan pintu ruangannya. Menatapku.
“Ada lagi, Pak?”
Dia kelihatan sedikit tersentak. Kemudian menggeleng.
“Sudah saya kirim file-nya, Pak.”
“Oh ya, ya sudah, terima kasih.”
“Sama-sama.”
Dia berlalu, dan aku pun melanjutkan pekerjaanku yang lain.
Pak Han. Hananto. Dia atasanku. Seorang laki-laki pendiam yang tak banyak tingkah. Tak seperti boss yang lain. Pak Miko, misalnya, yang selalu genit pada tiap staf perempuan yang ditemuinya. Atau Pak Harry, yang hobi bercanda ‘menjurus’, membuatku risih.
Satu-satunya boss yang memanggil semua karyawati dengan sebutan ‘Bu’ atau ‘Mbak’ hanyalah Pak Han. Bahkan pada level office girl sekalipun. Membuatnya jadi sosok yang disegani dan dihormati dengan caranya sendiri.
“Fena, selamat siang!”
Aku mendongak mendengar suara renyah itu. Bu Winny muncul dengan wajah cerahnya. Tersenyum ramah padaku.
“Siang, Bu,” aku membalas senyumnya.
“Aku mau pinjam kamu sebentar siang ini. Kira-kira boleh tidak sama bossmu ya?”
“Memangnya ada apa, Bu?”
“Nanti saja kuceritakan di kantorku,” bisiknya. “Dia ada?”
Aku mengangguk ketika Bu Winny menunjuk pintu kantor Pak Han yang tertutup rapat. Ke sanalah Bu Winny melangkah. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Tapi kemudian Bu Winny menggamitku setelah dia keluar dari ruangan Pak Han.
“Ayo, sudah kumintakan ijin,” ucapnya.
Aku pun menuruti Bu Winny. Dulu, sebelum aku pindah jadi bawahan Pak Han, Bu Winny adalah bossku. Seorang perempuan baik hati yang bisa setegar batu karang di tengah ketiga sepupunya yang lain dalam menjalankan laju roda perusahaan ini.
“Ini urusan pribadi sebetulnya,” kata Bu Winny sambil terus melangkah. “Tapi kubilang saja pada Pak Han aku butuh tenagamu sebentar.”
Mau tak mau aku tersenyum mendengar ada nada jahil dalam suara Bu Winny. Dan aku harus sabar untuk mengetahui apa sebenarnya yang diinginkan Bu Winny, hingga sampai di kantor Bu Winny.
“Kamu punya sertifikat mengajar piano kan?” tanya Bu Winny begitu aku duduk di sofa yang ditunjuknya.
“Iya, Bu.”
“Good! Berarti kamu bisa mengajar Oryza?”
Aku bengong. Oryza? Putri Bu Winny yang baru berusia tiga tahun itu?
“Aku tahu dia berbakat, Fen. Dan dia juga sudah mengenalmu,” Bu Winny seakan bisa membaca pikiranku.
“Tapi saya sudah lama tidak mengajar, Bu.”
“Ah...” Bu Winny mengibaskan tangannya. “Aku yakin kamu bisa. Berapa?”
“Apanya, Bu?”
“Honormu, minta berapa?”
Aku tercengang. Terpaksa kutatap Bu Winny tanpa kedip.
“Cukup?” tanya Bu Winny setelah menyebutkan sebuah nominal yang menggiurkan.
“Bu, saya belum tahu saya bisa atau tidak,” kucoba tertawa untuk menutupi kegugupanku.
“Fen, aku bukannya baru mengenalmu sehari-dua hari. Aku cukup mengenalmu. Aku yakin kamu bisa. Deal?”
Pada akhirnya aku pun terpaksa mengangguk demi melihat wajah Bu Winny yang penuh harap. Aku tersenyum melihat seri di wajah Bu Winny.
“Jadi bisa hari apa, Fen?”
“Rabu sama Sabtu ya, Bu? Sabtu siang saja. Kalau Rabu pulang kerja.”
Bu Winny mengangguk penuh semangat. “Baiklah! Terima kasih ya, Fen.”
“Sama-sama, Bu.”
Aku pun segera kembali ke ruanganku.
Tapi langkahku terhenti di ambang pintu, ketika melihat Pak Han duduk di kursiku. Duduk diam. Menatap ke sudut mejaku. Bahkan seakan tak menyadari aku sudah kembali. Sungguh, aku tak tahu harus berbuat apa. Aku pun cuma bisa berdiri, menatapnya.
Dan bunyi notifikasi SMS ponselku berhasil membuat kesadaran Pak Han kembali. Dia tersentak. Seketika menyadari bahwa aku sudah kembali. Dia kelihatan kikuk. Tapi aku mencoba untuk bersikap biasa.
“Maaf, Pak, ponsel saya ganggu Bapak,” senyumku.
Dia menggeleng sambil berdiri, “Tidak apa-apa, Mbak Fena. Silahkan!”
Aku mengangguk. “Bapak butuh sesuatu?”
Dia menatapku. Tampak ragu sejenak. Tapi kemudian dia menggeleng. Dan melangkah kembali ke kantornya. Sesungguhnya aku ingin bertanya lagi. Tapi diamnya membuatku segan.
Diam itu... Aku tahu kenapa. Kepergian istrinya tiga tahun yang lalu. Beserta calon bayinya. Aku bisa memahami sebesar apa kehilangan yang dia rasakan. Karena aku juga pernah mengalaminya.
“Fen...”
Aku menoleh. Adrian berdiri di ambang pintu ruanganku. Aku menatapnya, bertanya.
“Makan siang bareng ya?”
Aku mengangguk.
“Sip!” senyum Adrian.
Dia kemudian berlalu. Tepat saat itu pintu ruangan Pak Han terbuka lagi.
“Mbak Fen, bisa makan siang sama-sama?”
Aku tertegun. Tapi tak lama. Sejenak kemudian aku tersadar.
“Ada hal penting yang mau dibicarakan, Pak?”
“Tidak sih...”
“Maaf, Pak, saya sudah terlanjur janji sama teman. Tapi kalau penting sekali bisa saya batalkan.”
“Jangan,” Pak Han menggeleng. “Kapan-kapan saja.”
“Maaf ya, Pak.”
“Tidak apa-apa, Mbak,” senyumnya.
Dan dia berlalu. Keluar, tidak kembali ke kantornya. Kecewakah dia? Entahlah. Aku tak mau berpikir apa-apa. Tepatnya, aku tak mau berharap apa-apa. Aku takut aku sendiri kecewa.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : Candlelight Dinner #5
Lagu latar : The Way Were – Instrumental Piano By Dora Sahertian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar