Jumat, 12 Juli 2013

[Cerbung] Candlelight Dinner #12





Dua Belas


Episode sebelumnya : Candlelight Dinner #11

* * *

TRIFENA


Entah kenapa langkahku menuju ke ruang tamu jadi terasa goyah. Pak Han? Orang yang baru saja memenuhi benakku? Ada di ruang tamuku?

Oh, come on, Fen! Jangan terlalu ge-er!

Hatiku berseru-seru mengingatkan. Membuatku harus berkali-kali menarik napas panjang sebelum menemuinya. Dan dia benar-benar ada di sana. Duduk diam di ruang tamuku.

“Pak Han?” kusapa dia, pelan, ragu-ragu.

“Fen...,” dia mengangkat kepala. Menatapku dengan sorot mata yang tak pernah kulihat sebelumnya. Begitu dalam. Menghanyutkan.

Fen... Hatiku mengingatkan lagi.

“Ada masalah di kantor, Pak?” suara itu bagai tercekik di tenggorokanku. Betul-betul tak enak didengar.

Dia menggeleng. Tampak ragu-ragu.

“Fen...,” ada getar yang hebat dalam suaranya, “... aku mencintaimu...”

Sebuah kalimat yang tak kusangka akan keluar dari mulutnya. Apa katanya tadi? Aku terpana. Melebarkan mata.

Pak Han? Mencintaiku? Fen, ini cuma mimpimu!  Hatiku memperingatkan lagi. Aku menggeleng. Ya, pasti ini cuma mimpi. Mimpi kosong tanpa makna yang cuma akan menyakitkan diriku sendiri.

Suara petir di luar sana mengagetkanku. Menyadarkan aku bahwa masih ada seorang lagi bersamaku di ruang tamu ini. Seseorang yang masih menatapku. Seolah menunggu jawaban. Aku mengerjapkan mata.

“Pak,” aku hanya mampu berbisik, “silahkan duduk dulu.”

Dia menjatuhkan badannya di atas sofa. Aku pun duduk di seberangnya. Dia masih menatapku. Masih dengan sinar mata yang membuatku meleleh. Begitu lembut. Penuh harap. Dalam. Sekaligus letih.

“Pak, saya...”

Aku sungguh kehilangan semua perbendaharaan kata yang selama ini bersemayam dalam otakku. Pikiranku penuh, tapi aku tak mampu menerjemahkannya. Kalimat singkat Pak Han terlalu mengejutkanku. Dan aku hanya mampu menatapnya dengan putus asa.

“Fen, maafkan aku,” ucapnya halus, masih dengan suara yang terdengar bergetar di telingaku. “Aku tahu aku tak pantas mengucapkan itu. Karena kamu sudah tidak lagi sendirian. Tapi aku tak bisa mengingkari perasaanku sendiri. Kamu mengikat hatiku dengan cara yang tak pernah mampu kupikirkan sebelumnya. Tak ada yang kamu perbuat, Fen. Aku sendiri yang jatuh. Hatiku yang terperangkap pada segalanya tentang dirimu...”

Aku masih menatapnya. Walau wajahnya makin mengabur dalam pandanganku.

“Fen, sungguh, maafkan aku...”

Aku tersadar. Belum bisa menata kalimatku. Belum bisa menata hatiku yang seolah baru saja terlanda gempa.

Aku masih butuh waktu. Untuk mempercayai pendengaranku sendiri. Untuk mempercayai kata hatiku. Untuk memberikan jawaban terbaik. Agar tak mengecewakannya. Agar tak mengecewakan diriku sendiri.

“Pak, maafkan saya,” akhirnya aku bisa juga menyusun kata. “Saya belum siap dengan jawabannya. Saya takut menyakiti Bapak dengan sesuatu yang tak saya pikirkan dengan baik sebelumnya. Saya harap Bapak mengerti.”

Kulihat matanya mengerjap ketika menjawab sambil mengangguk, “Ya, Fen, aku mengerti.”

Suaranya terdengar lebih tenang. Justru hatiku yang bergetar hebat ketika mendengar nada sabar itu.

Dan aku masih merasa melayang-layang sampai dia pergi dari ruang tamuku. Dia mencintaiku? Benarkah? Seperti apa aku di matanya? Otakku terasa pepat. Benar-benar tak ada ruang kosong bagi rodanya untuk sedikit berputar.

Aku kembali ke teras belakang. Mencoba menenangkan hatiku dalam selimut keheningan di sana. Langit sudah gelap sempurna. Tak menyisakan setitik pun cahaya. Yang ada cuma butiran lembut air hujan yang masih juga turun.

“Fen!”

Aku terlompat kaget. Adrian berdiri di ambang pintu. Menatapku dengan senyum lebarnya. Aku mendengus sedikit. Merasa terganggu.

“Aku tadi sudah ke sini. Tapi sungkan mau masuk,” dia meringis. “Ada Pak Boss.”

“Ada apa?”

“Martabaknya keliru. Itu tadi punya Mama. Tertukar isinya.”

“Ya sudah, ambil lagi saja.”

“Biarlah. Makan saja. Eh, Fen...”

“Hm...”

“Boss ada perlu apa ke sini?”

“Oh...,” aku menatap Adrian. Menimbang apakah aku harus menceritakan padanya ataukah tidak. Tapi ekspresi wajahnya membuatku memutuskan sesuatu. “Sini, duduk!”

“Yup!” dengan sigap Adrian menjatuhkan tubuhnya di sebelahku.

“Dri, Pak Han bilang cinta ke aku,” ucapku lirih, ragu-ragu.

“Wow! Bagus!”

“Dri, aku belum jawab.”

Adrian menatapku tak percaya.

“Dri, aku belum yakin sama perasaanku...”

“Fen, dengar aku,” Adrian menggenggam kedua tanganku. “Sudah berapa kali aku bilang, buka hatimu. Cinta itu indah, Fen. Walau pernah ada kehilangan, tapi masih banyak hal manis yang bisa dikenang. Jangan pernah menolak cinta hanya karena sebuah kehilangan. Kamu pantas dapat yang terbaik, karena kamu perempuan baik. Fen, turuti kata hatimu...”

Aku menatap Adrian. Selalu gaya yang sama. Mengangkat tinggi-tinggi kedua alisnya untuk meyakinkan aku.

“Satu pesanku, jangan pernah mengkhianatinya, seperti bundamu pernah lakukan pada ayahmu. Walau bundamu adalah kakakku sendiri, aku tak pernah punya keinginan untuk membelanya. Karena itu salah, Fen, salah besar. Tapi aku yakin kamu punya darah kesetiaan dari ayahmu. Pertahankan itu. Pertahankan hatimu. Pertahankan Pak Hananto.”

Adrian melepaskan tanganku. Dia berdiri. Aku mendongak menatapnya. Tanpa bisa kutahan, aku pun memeluknya.

“Jangan pernah kecewakan hatimu sendiri,” bisik Adrian lembut.

Aku mengangguk sambil melepaskan pelukanku. Adrian mengedipkan sebelah matanya.

“Sudah, aku pulang ya?”

Aku kembali mengangguk. “Terima kasih, Om...”

Adrian terbahak.

“Adrian,” ucapnya kemudian, tegas. “Not Om.”

Aku tertawa.

Itulah Adrian. Selalu muncul pada waktu yang tepat. Seolah dia jadi malaikat yang dikirimkan padaku. Jangan kecewakan hatimu sendiri, itu katanya tadi.

Bukankah itu yang sebenarnya aku inginkan? Bersemayam di hati Pak Han? Menggapai angan yang sepertinya terlalu tinggi buatku? Lalu apa lagi yang harus kupikirkan?

Ini tentang sebuah rasa. Yang dalam. Yang membawa ketenangan. Tentang seseorang. Hananto. Yang sudah mengatakan cintanya padaku.

Lalu apa lagi yang harus kutunda?

Buru-buru kuraih ponselku.


* * *

HANANTO


“Pak,” tegur Yu Ngat, pembantuku. “Bapak belum makan dari pagi. Makan dulu ya, Pak?”

Aku menutup pintu mobil dan menekan tombol alarm. Kutoleh sekilas dia.

“Ya sudah, siapkan saja.”

Aku benar-benar lupa sedari pagi belum makan. Pantas saja peningku tidak juga pergi. Ditambah lagi aku sudah digantung Fena sedemikian rupa.

Hah! Digantung.

Kenapa tadi tidak kukejar saja supaya dia menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’ dengan tegas? Sekalian saja aku melambung atau terhempas hancur. Daripada terapung-apung tanpa arah seperti ini.

Masakan Yu Ngat jadi serasa penuh amplas di lidahku. Segalanya tak enak. Tapi harus kubiarkan masuk supaya aku tidak tumbang karena kelaparan. Benar-benar memalukan kalau sampai hal itu terjadi.

Makanan di piringku tinggal sesuap lagi ketika ponselku berbunyi. Entah siapa yang menelepon. Aku malas melihat nama pada layar ponselku. Kutekan saja ‘Yes’ tanpa semangat.

“Halo, malam...”

Hening di seberang.

“Halo, selamat malam,” ulangku.

“Selamat malam, Pak,” terdengar sahutan ragu-ragu dari seberang sana.

Suara ini... Kujauhkan ponsel dari telingaku untuk mmelihat nama yang tertera pada layar. Trifena.

Fena?

“”Halo, iya, Fen?”

“Pak, saya mengganggu?”

“Tidak, Fen,” jawabku cepat.

“Pak, saya...”


Hening agak lama. Entah kenapa debar jantungku kali ini kencang sekali. Hatiku mengatakan bahwa sekaranglah nasibku akan ditentukan. Dan Fenalah hakimnya. Mendadak aku jadi berkeringat. Dingin.


“Pak Han, saya... Pak, maafkan sikap saya tadi. Saya...”

“Ya, Fen? Bagaimana?”

“Saya... Pak, saya rasa... saya... juga mencintai... Bapak...”

Kalimat itu berjeda panjang-panjang, tapi aku bisa menangkap maksudnya. Sepenuhnya. Seutuhnya.

Dan dunia seakan berhenti berputar di sekitarku. Waktu seakan membeku. Bersama aku di dalamnya. Juga suara lembut Fena. Yang mengatakan dia juga mencintaiku.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Candlelight Dinner #13 (Tamat)

Lagu latar : When Say You Love Me – Josh Groban




Tidak ada komentar:

Posting Komentar