Sebelas
* * *
HANANTO
Siang ini aku bangun dengan kepala yang bukan main peningnya. Ya, tentu saja aku tahu penyebabnya. Semua seakan menumpuk di atas kepalaku. Terlalu letih dengan urusan kantor. Dan kurang tidur karena urusan Fena.
Fena?
Ya. Trifena.
Entah kenapa akhir-akhir ini seolah kepalaku penuh berisi tentang sosok pemilik nama itu. Aku tak ingat pernah mempersilahkannya masuk. Tapi tiba-tiba saja dia sudah memenuhi seluruh lamunan kosongku. Begitu saja. Sejak kapan? Aku sendiri tak pernah menyadarinya.
Mendung gelap dan rintik hujan di luar menambah suram hariku. Hari Sabtu. Akan dua hari tidak bertemu Fena. Seakan tak ada sedikit pun cahaya lilin di hatiku. Seperti ketika pada awal-awal aku kehilangan Kinanti. Kuhela napas panjang.
Kinanti... Ah, Kin, maukah kamu memaafkan hatiku? Begitu saja sudah terjerat pesona perempuan lain. Tanpa aku bisa mencegahnya. Aku harus bagaimana, Kin?
Kupandangi foto besar Kinanti yang masih kupertahankan terpampang pada dinding kamar. Selalu cantik. Selalu menatapku dengan binar mata yang tak pernah lekang.
Dan Fena. Seolah aku selalu melihat awan menaungi kepalanya. Begitu kelabu. Walau senyumnya terlihat begitu indah di mataku. Ada suatu bayangan biru yang seolah diusungnya. Membuatku ingin menyibak semuanya. Bersamaku.
Tak pernah bisa aku membandingkan Kin dengan Fena. Keduanya pribadi yang sungguh berbeda. Dan aku sangat menyadari itu. Aku mencintai Fena bukan karena dia mirip Kin.
Hah? Mencintai? Tanpa pernah mengungkapkannya? Bodoh? Bodoh. Itulah aku sekarang.
Sudah terlalu menyakitkan rasanya kehilangan Kin. Dan kupikir aku tak akan pernah siap harus kehilangan Fena juga. Aku sungguh tak sanggup membayangkan bila aku mengatakan aku mencintainya, sementara dia sudah punya Adrian, lalu dia menolakku, dan akan menjauh dariku.
Ditolak? Bukan hal yang terlalu memalukan sebetulnya. Jauh lebih mengerikan rasanya membayangkan Fena akan menjauh dariku. Baru memikirkan ini saja kepalaku sudah demikian berat.
Nada dering ponsel membuatku terpaksa bangun. Kuraih benda kecil itu. Gerard?
“Halo! Ya, Ger?”
“Baru bangun?” suara Gerard terdengar renyah di telingaku.
“Hm... Ada apa?”
“Aku mau mengajakmu mancing. Kamu mau?”
“Mau sih, cuma kepalaku pening banget,” jawabku jujur.
“Haduh!”
“Winny memangnya ke mana? Biasanya kompak?”
“Ada, lagi nungguin Oi les piano. Guru lesnya cantik, sabar. Ya aku sudah kenal sih, tapi tetap saja aku diusirnya jauh-jauh,” Gerard menyambung ucapannya dengan tawa meriah.
“Oh... Fena?”
“Oh iya, sekarang jadi anak buahmu ya?”
Tanpa sadar aku menjawabnya dengan anggukan kepala. Membuatku makin pening.
“Han, kamu sakit beneran ya?”
“Cuma pening. Paling dibawa tidur lagi juga baikan. Maaf ya, Ger, aku terpaksa tak ikut mancing.”
“Tidak apa-apa... Ya sudah, kamu istirahat saja, Han.”
“Oke, Ger.”
“See you, Han!”
Kuputuskan untuk kembali ke tempat tidur dan menolak brunch dari pembantuku. Kemudian memejamkan mata lagi untuk mengurangi pening di kepalaku.
* * *
“Kenapa, Han?”
“Karena aku mencintaimu, Kin...”
“Tapi aku sudah tidak nyata, Han.”
“Aku tak ingin mengkhianatimu, Kin.”
“Kamu tidak mengkhianatiku. Tak pernah. Hidupmu berjalan terus, sementara aku sudah selesai di sampingmu. Janjimu untuk selalu membahagiakanku sudah tunai. Terima kasih atas semuanya, Han. Dan sekarang adalah tentang dirimu. Sepenuhnya. Seutuhnya. Katakan padanya, Han...”
Kutatap wajah Kinanti. Ingin aku menyentuhnya. Membelainya. Merangkumnya. Tapi dia menjauh perlahan. Hanya bisa kutatap lambaian tangannya.
Dan aku terjaga.
“Katakan padanya, Han...”
Kalimat terakhir Kinanti itu menggema terus dalam kepalaku. Mendadak aku tersadar. Katakan padanya. Pada Fena. Persetan dengan semuanya! Penolakan. Adrian. Kehilangan.
Kin, terima kasih...
Setelah mandi aku pun membawa mobilku menerobos hujan yang masih merinai. Isi kepalaku hanya Fena, Fena, Fena, dan Fena. Akan kukatakan cinta padanya. Dan aku tak peduli lagi apa hasilnya.
Dan setelah aku melalui sekian ratus detik yang terasa demikian panjang di ruang tamu rumahnya, aku pun dapat menemui lagi wajahnya. Yang sudah kurindukan selama bermalam-malam walau sejak pagi hingga sore aku selalu bersamanya di kantor.
“Pak Han?”
Ucapan singkat itu terdengar begitu lembut menyapa telingaku.
“Fen...”
“Ada masalah di kantor, Pak?”
Betapa ingin aku merangkum wajah penuh tanya itu dalam pelukanku! Aku menggeleng.
“Fen...,” aku sungguh tak bisa menahan getar dalam suaraku, “... aku mencintaimu...”
Dan dia terpana. Menatapku dengan mata lebarnya.
* * *
Lagu latar : My Confession – Josh Groban
Tidak ada komentar:
Posting Komentar