* * *
Enam
Rika menghela napas lega ketika sesi seminar
itu berakhir. Ini adalah sore keduanya di Jogja. Menghadiri kopdarnas (kopi
darat nasional) rutin dua tahunan Asosiasi Pengusaha Food Truck Indonesia.
Sejak ikut aktif mengelola food truck,
Rika memang selalu meluangkan waktu untuk menghadiri kopdarnas itu,
menggantikan Kencana. Saat ini sudah ketiga kalinya. Sayangnya, Bismaka tidak
ada dalam kopdarnas kali ini. Pekerjaan di kantornya sedang tak bisa ditinggal.
Sebagai gantinya, ayahnyalah yang hadir.
Laki-laki itu saat ini duduk tepat di
belakang Rika. Tengah asyik mengobrol dengan rekan sesama dari Jakarta yang
duduk di sebelahnya, sambil bersiap-siap untuk meninggalkan ruang seminar.
Sebelum beranjak, Rika berpamitan dengan sopan kepada Pringgo.
“Om, saya duluan, ya,” senyumnya. “Selamat
menikmati Jogja.”
“Lho, kamu nanti nggak ikut lesehan?” Pringgo
mengangkat alis.
“Kalau masih sempat, nanti saya gabung. Ini
telanjur ada janji ketemuan sama saudara. Mumpung pas lagi di Jogja.”
“Oh.... Oke, deh. Sampai ketemu nanti, ya?”
Rika mengangguk. Ia kemudian melangkah cepat
meninggalkan ruang seminar. Sesekali masih sempat bertegur sapa dengan anggota
lain yang ia kenal. Ketika berbelok keluar dari ruangan, ia sempat melihat
sekilas ke arlojinya. Masih pukul lima lewat sedikit. Masih ada waktu untuk
menyegarkan diri.
* * *
Senja sudah gelap sempurna ketika Rika turun
dari taksi daring yang membawanya dari penginapan. Seorang laki-laki berwajah teduh berusia pertengahan lima puluhan menyambut
Rika dengan hangat. Diajaknya gadis itu duduk di sebuah teras luas yang
dilengkapi dengan beberapa perangkat meja-kursi tamu.
Laki-laki itu Denta namanya. Putra bungsu
Paul, sekaligus abang sepupu almarhum ayah Rika. Seseorang yang seharusnya menjadi salah
satu ahli waris perusahaan yang kini dimiliki dan harus dijalankan oleh Kencana bersama Rika. Sayangnya,
Tuhan memintanya untuk menjalani garis kehidupan lain, menjadi seorang pastor, sehingga
hak waris pun dilepasnya dengan suka rela.
Sejenak Denta mengamati keponakannya itu. Agak
sedikit lebih kurus daripada ketika terakhir mereka bertemu sekitar dua bulan
lalu. Saat itu Denta menyempatkan diri terbang ke Jakarta untuk menengok
ayahnya.
“Kamu kurusan, Rik,” celetuknya. “Sehat?”
“Sehat, kok, Pakde,” senyum Rika. “Makan
banyak, tapi tenaga yang keluar juga banyak.”
Mereka kemudian bertukar cerita. Hanya
sebentar di teras itu sebelum Denta mengajak Rika keluar untuk makan malam. Sudah
menjelang pukul setengah tujuh ketika mereka berdua masuk ke sebuah warung
gudeg di dekat tempat tinggal Denta.
Warung itu meskipun sederhana dan terkesan
kuno, tapi cukup dipenuhi pembeli. Tempatnya tidak terlalu luas dan terlihat
sangat bersih. Di sebuah sudut, keduanya duduk berhadapan.
“Warung lama ini, ya, Pakde?” celetuk Rika
begitu mereka selesai memesan makanan dan minuman.
“Sudah dari tahun enam puluhan kalau nggak
salah.”
Mereka pun melanjutkan obrolan mereka. Hingga
pada suatu titik, Rika mencetuskan ganjalan yang selama ini disimpannya di hati.
“Seandainya perusahaan saya kembalikan ke
keluarga Pakde, bagaimana?”
Pertanyaan dengan nada halus itu membuat
Denta sempat menatap Rika lama. Gadis itu tertunduk. Merasa sudah salah bicara.
“Kenapa memangnya?” Denta balik bertanya. Sabar.
“Saya merasa nggak mampu mengelolanya.” Rika
mengangkat wajah. Mengerjapkan mata. “Seandainya saya boleh berbagi dengan Mia,
saya akan tetap bertahan. Tapi nggak boleh sama Mama. Mia nggak berhak.”
“Siapa bilang Mia nggak berhak?” Denta
mengerutkan kening. “Mia berhak. Mia, kan, putri ibumu. Sementara perusahaan
itu sekarang adalah milik keluarga kalian, karena dulu Opa Paul sudah menyerahkan
kepemilikan perusahaan kepada ibu dan almarhum ayahmu. Ibumu ada hak atas perusahaan
itu. Bisa diturunkan ke Mia.”
Rika menggeleng, mendesah, “Entah Mama
mikirnya gimana, Pakde.”
“Coba nanti aku bicara dengan ibumu.”
Ada jeda dalam pembicaraan itu ketika pesanan
mereka datang. Aroma sedap segera mengelus hidung Rika. Nasi gudeg dengan
siraman areh gurih di atasnya sudah terhidang. Dialasi daun pisang segar,
lengkap dengan sambal goreng krecek, semur telur, kerupuk udang, juga sepotong ayam
goreng dan sambal.
“Saya lebih senang menekuni bisnis food truck.” Rika meneruskan kembali
obrolan mereka. “Perkembangannya dan hasilnya sangat memuaskan. Saya bukannya
tidak berterima kasih atas perusahaan yang Opa hibahkan kepada kami. Hanya
saja, minat saya lebih ke bisnis kuliner.”
“Sudah bicara dengan ibumu?”
Rika menggeleng. “Saya nggak tahu harus mulai
dari mana. Sejak awal saya sudah diplot untuk menggantikan Mama memimpin
perusahaan dan bisnis kuliner sekaligus. Itu...,” Rika menghela napas panjang, “...
membuat saya terbeban.”
“Walaupun sebetulnya kamu mampu,” senyum
Denta, sedikit menyela.
Rika tercenung sejenak.
“Mungkin benar saya mampu,” gumamnya
kemudian. “Tapi kalau hati saya tidak bisa memantapkan diri di sana, saya
khawatir pada akhirnya akan berpengaruh buruk terhadap kinerja saya. Padahal
ada ratusan orang yang hidupnya tergantung dari perusahaan itu.”
Hening sejenak.
“Kalau begitu, bicaralah dulu dengan ibumu,”
ujar Denta. “Yang jelas, perusahaan itu sudah jadi milik kalian, dengan hak Mia
ada di dalamnya. Atau bisa juga kamu ajak Mia bicara dulu soal ini. Kalau
memang dia ada minat masuk ke perusahaan, kan, lebih mudah untuk meyakinkan
ibumu.”
Sekali lagi Rika tercenung. Teringat Mia.
Adiknya itu memang belum kelihatan betul arahnya nanti akan ke mana. Tapi cita-cita
yang suatu ketika pernah diungkapkannya dengan nada canda cukup mengandung
pesan tertentu, ‘jadi bos sekaligus perempuan karier seperti Mama dan Kakak’.
“Baik, Pakde. Sebelum bicara dengan Mama,
saya akan coba bicara dulu dengan Mia,” cetus Rika. “Kalau Mia berminat tapi
Mama tetap bersikukuh menjegal Mia, saya minta tolong Pakde untuk bicara dengan
Mama. Bagaimana?”
“Begitu juga bagus,” senyum Denta. “Jadi
sementara ini clear, ya? Terus,
bagaimana dengan kehidupanmu sendiri?”
Pada detik itu, tiba-tiba saja pikiran Rika
jatuh pada sosok seorang Bismaka.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan
modifikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar