Satu
Pelan Rika mendorong kursi roda Paul masuk ke
lobi RS Eternal Husada, dan berbelok kiri, ke arah lift. Seharusnya, ibunya
yang melakukan itu. Tapi mereka berganti tugas hari ini. Cuti panjangnya belum
habis.
“Nggak
apa-apa kamu menemani Opa kontrol ke rumah sakit?” Tadi pagi, sang ibu
menatapnya sedemikian rupa. Antara yakin sekaligus tidak..
Ia
menggeleng sambil tersenyum tipis. “Nggak apa-apa.”
Kencana,
ibunya, masih menatapnya. Lekat. Tentu saja Kencana tahu, di mana Rika berada
pada sepuluh hari terakhir sebelum Andries berpulang. Rumah Sakit Eternal
Husada. Tempat yang sama dengan ke mana Rika harus membawa opanya.
“Memangnya
acara Mama hari ini nggak bisa ditunda?” celetuk Owen, sesaat sebelum
menghabiskan kopi susunya.
Sebelum
Kencana sempat menjawab, Rika sudah menyergah. Halus. “Nggak apa-apa, Pa. Mama
harus bertemu klien penting. Seharusnya itu tugasku, tapi....”
“Apa
sebaiknya kontrol Opa ditunda jadi besok saja?” Kencana mengerutkan kening.
“Jangan!”
Rika kembali menyergah. “Sudah, nggak apa-apa. Toh, aku nggak ngapa-ngapain
juga di rumah.”
Kencana
masih mengirimkan sinyal tak yakin melalui tatapan matanya. Sekali lagi, Rika
meyakinkan ibunya. Setelah itu, barulah sang ibu menghela napas lega.
“Baiklah....”
Kencana menyerah. “Mama percaya sama kamu.”
Saat menunggu pintu lift terbuka, tanpa
sengaja tatapan Rika jatuh ke mulut lorong di sebelah kanan lift. Tanpa bisa
dicegah, ada rasa perih yang terasa menusuk hatinya. Lorong itu menuju ke ruang
ICU. Sejenak, ia seperti tersedot ke pusaran hari-hari lalunya.
“Kika...,”
bisik Andries, susah payah. “Aku pergi, ya. Sudah terlalu banyak waktu terulur.”
Ia
hanya bisa mengangguk dengan lidah kelu dan leher terasa sakit. Sekuat tenaga
ia menahan tangis. Ia tak mau Andries melihatnya menangis. Ia tak mau memberati
langkah Andries dengan air matanya.
“Terima
kasih, kamu sudah menemaniku. Menerimaku apa adanya,” bisik Andries lagi. “Memberiku
kebahagiaan setahun terakhir ini.”
Rika
menghentikan bisikan Andries dengan memberikan ciuman lembut di kening laki-laki
itu. Walaupun bibir Rika terhalang masker, Andries masih bisa merasakan kehangatannya.
Lalu.
Andries pun mengatupkan mata dengan seulas senyum membayang di bibir. Kesadaran
dan kondisi Andries yang sempat sedikit membaik sehari sebelumnya kembali
menurun. Terus menurun tajam hingga akhirnya berpulang dua hari kemudian.
Sesuatu
yang membuat dada Rika seperti terhantam. Tak ada lagi kata lain yang terucap. Tak
ada lagi yang memanggilnya ‘Kika’.
Ia tersadar ketika pintu lift bergerak
membuka. Dengan cepat ia mengerjap beberapa kali untuk mengusir telaga bening
yang sempat mengembang. Dengan hati-hati didorongnya kursi roda Paul, masuk ke
lift. Hanya ada mereka berdua dan dua orang tenaga paramedis, yang menyapa
keduanya dengan sangat ramah, di dalam lift yang naik perlahan.
Di lantai enam, pintu lift terbuka. Rika
kembali mendorong kursi roda Paul, menuju ke poli geriatri. Seorang tenaga
paramedis menyambut kehadirannya dan Paul dengan ramah. Dengan cekatan,
perempuan muda itu mulai memeriksa tensi Paul, dan menanyakan dengan sabar
tentang keluhan-keluhan Paul.
“Ibu sibuk?” tanya paramedis bernama Tina
itu. Sejenak menatap Rika sembari tersenyum. “Biasanya Ibu yang mengantar.”
“Iya, ada urusan kantor yang nggak bisa
ditinggal.” Rika membalas senyum itu.
“Biasanya Mbak Enik atau Mbak Luf ikut?” Tina
menyebut nama dua orang perawat pribadi Paul.
“Shift-nya
Mbak Luf ini tadi.” Senyum Rika melebar. “Saya suruh leha-leha sebentar di
rumah.”
Tina tertawa kecil.
“Silakan tunggu sebentar, ya, Mbak.” Tina
kembali menatap Rika setelah menyelesaikan urusannya dengan Paul. “Masih ada
pasien di dalam.”
Rika mengangguk sambil tetap tersenyum. Ia
kemudian membungkuk.
“Opa mau tetap di kursi roda, atau mau duduk
di sofa situ?” tanyanya dengan nada sabar, sambil menunjuk ke salah satu sudut.
“Di sini saja, Can,” jawab Paul.
Rika mengangguk. Tak mencoba membenarkan
kesalahan Paul menyebut namanya. Kakeknya ini memang sudah mulai pikun. Mulai
susah membedakan mana Kencana dan Rika, walaupun keduanya sama sekali tidak
mirip. Ia pun mendorong Paul ke tepi, tempat kursi tunggu terdekat berada.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan
modifikasi
Kayane kok belum pernah baca...
BalasHapusLha, mosok sih? 🤔
HapusMenjejak dl
BalasHapusWoki doki! 😁
Hapus