* * *
“Nik,
aku jalan ke Cikarang dulu, ya,” pamit Rika sambil mengemasi isi tasnya.
“Oke,
Mbak. Nanti kalau laporan dari area Jateng sudah masuk, saya langsung emailkan
ke Mbak,” Nikita menanggapi.
Ia
sedang ada di kantor pusat PT. Han’s Food saat itu. Menyempatkan diri untuk
berdiskusi sejenak dengan manajer operasional Han’s Food yang bernama Nikita,
sebelum melanjutkan inspeksi ke kantor area Cikarang. Namun, sebelum ia sempat
beranjak, Titin – salah seorang staf administrasi – muncul.
“Maaf,
Bu Rika, ada tamu hendak bertemu Ibu,” ujar Titin. “Kayaknya customer.”
Sejenak
Rika mengerutkan kening. Ia menoleh ke arah Nikita.
“Ada
janji mau ketemu tamu, Nik?” tanyanya.
“Enggak,
tuh.” Nikita menggeleng.
Sekilas
Rika menyapukan tatapan ke arah jam dinding. Kunjungannya ke Cikarang antara
penting dan tidak. Tapi Nikita adalah manajer yang bisa diandalkan. Jadi, ia
memutuskan untuk menyerahkan urusan itu kepada Nikita.
“Ya,
deh, urusin aja, ya, Nik.”
“Wah,
ini saya ada janji sama calon supplier, Mbak.” Nikita menatap Rika dengan bimbang. “Sekalian mau lihat kebun
organiknya di Lembang.”
“Oh,
gitu?” Rika berpikir sejenak. Ia kemudian menatap Titin yang masih menunggu. “Ya,
deh, Tin. Suruh masuk orangnya.”
Titin
mengangguk dan beranjak. Bersamaan dengan itu, Nikita pun minta diri. Hendak
langsung meluncur ke Lembang. Rika pun menunda rencananya untuk pergi ke
Cikarang. Ia berdiri dan melangkah mendekat ketika pintu kantornya terbuka dari
luar.
“Silakan,
Pak,” ucap Titin.
Sejenak
Rika terpaku. Tentu saja ia sama sekali belum lupa sosok yang sempat beberapa
kali beradu pandang dengannya di Bistro La Lune semalam.
“Terima
kasih.” Laki-laki itu sejenak menatap Titin, kemudian mengalihkan tatapannya ke
arah Rika. Dan, ia juga sama sekali tak berusaha menyembunyikan rasa
terkejutnya melihat Rika.
“Selamat
pagi, Bapak.” Rika mengulurkan tangan. Berusaha bersikap seprofesional mungkin.
“Saya Rika, pimpinan di sini.”
Laki-laki
itu pun membalas jabat tangan Rika dengan hangat. “Selamat pagi juga, Ibu. Maaf,
saya datang tanpa membuat janji lebih dahulu.”
“Oh,
tidak apa-apa.” Rika tersenyum. “Mari, silakan duduk.”
Mereka
pun duduk berseberangan. Sama-sama di sofa tunggal, dipisahkan oleh sebuah meja
pendek.
“Ada
yang bisa saya bantu, Pak?”
“Begini,
Bu Rika, saya....”
“Maaf,”
potong Rika, masih tetap dengan senyumnya, “panggil saya Rika saja.
Kedengarannya lebih enak.”
“Oh,
oke, Mbak Rika.” Laki-laki itu tertawa kecil. “Dan, saya Andries.”
“Baik,”
angguk Rika. “Mari kita teruskan.”
“Jadi
begini.... Saya ingin menyewa food truck Mbak untuk booth makanan di pesta pernikahan, apakah bisa?”
Entah
kenapa, semangat Rika mendadak terjun ke titik nol. Pesta
pernikahan? Ihik! Tapi ia harus tetap
profesional.
“Mm....
Bisa, sih. Asal tidak terlalu mepet waktunya.”
“Oh,
masih sekitar enam bulan lagi, kok.”
“Kalau
masih enam bulan lagi, bisalah.” Rika mengangguk-angguk. ‘Butuh berapa food
truck?”
“Satu
food
truck bisa melayani berapa, ya, Mbak?”
“Bisa
sampai empat ratus porsi menu campur. Kalau butuh lebih dari itu, bisa saya
kirim dua armada. Kalau lebih-lebih sedikit, bisa satu saja. Nanti saya
cadangkan stok setengah kali lipat. Maksimal enam ratus porsi bisalah.”
“Baiklah,
Mbak. Nanti saya pastikan lagi tanggal, lokasi, dan berapa porsi tepatnya.”
“Lebih
cepat lebih baik, ya, Mas.” Rika kembali tersenyum.
“Oh,
ya, ya. Masalahnya ini adik saya mau nikahan nggak mau sewa WO. Maunya diurusi
sendiri. Jadilah saudara-saudaranya ketiban repot ikut mengurusi.” Andries
menyambungnya dengan tawa ringan.
“Oh....
Yang mau nikah adiknya? Saya kira Mas sendiri, hehehe....”
Seketika
ada pelangi terbit di hati Rika. Tapi ia tetap harus profesional.
“Baiklah,
nanti saya koordinasikan dengan manajer operasional di sini. Kalau saya sedang
tidak di sini, nanti Mas bisa berhubungan dengan dia. Namanya Nikita. Langsung
sama saya lagi juga bisa. Sebentar, saya ambilkan kartu nama dulu.”
Rika
beranjak untuk mengambil kartu namanya di kotak di atas meja kerjanya. Sekaligus
kartu nama Nikita yang stoknya juga ada di situ. Ketika ia berbalik dan kembali
ke sofa, Andries sudah siap dengan kartu nama miliknya sendiri. Tanpa banyak
kata, mereka pun bertukar kartu nama itu. Sejenak kemudian, Andries pun berpamitan.
Sepeninggal
Andries, Rika menimang kartu nama berwarna dasar putih yang ada di tangannya.
Ia agak sedikit tersentak ketika membacanya. Kartu nama itu berkop PT. Royal
Interinusa Indonesia, dengan tulisan dan logo berwarna keemasan. Nama Andries
Emerald Undap, S.T., M.M. tercetak dengan warna hitam, lengkap dengan
jabatannya sebagai direktur keuangan, alamat kantor, alamat rumah, dan nomor
kontaknya.
Rika
pun terduduk di kursinya. Lalu, seketika ia memutuskan sesuatu. Akan menangani
sendiri pekerjaan ini. Tak akan melimpahkannya kepada Nikita.
* * *
Sementara
itu, di area parkir kantor Han’s Food, Andries mengangguk ketika sopirnya
bertanya apakah mereka bisa pergi sekarang. Di dalam mobil yang meluncur dengan
kecepatan sedang itu, Andries mencermati kembali sehelai kartu nama yang tadi
disimpannya di saku kemeja.
Frederika Zirconia Maya Pramana, S.E., M.E., diejanya nama itu dalam hati. Dialihkannya
tatapan ke luar jendela mobil. Setengah menerawang ia menyesali kebodohannya
untuk tidak membahas pertemuan sekilas mereka kemarin di Bistro La Lune. Entah
apakah gadis itu ingat atau tidak. Tapi, ia jelas-jelas tak bisa menyingkirkan
wajah manis gadis itu dari pikirannya.
Rika...,
gumamnya dalam hati. Seandainya saja....
“Maaf,
Mas, kita langsung ke rumah sakit, atau mau mampir dulu ke mana?”
Suara
sang sopir membuat Andries tersentak dari lamunannya. Ia sempat terdiam
sejenak. Berusaha mengumpulkan alam nyatanya yang sempat terserak di mana-mana.
“Langsung
saja, Pak,” jawabnya kemudian.
Dihelanya
napas panjang ketika sopirnya mengambil lajur kanan sebelum perempatan beberapa
puluh meter di depan mereka.
Rumah sakit....
Rasa-rasanya,
ia sudah ingin menyerah.
* * *
Denting bel lift membuat Rika tercerabut dari
lamunannya. Hanya ada ia sendiri di dalam lift itu. Melihat pintu membuka di
depannya, kesadarannya pun pulih seratus persen. Ia sudah kembali terlempar ke
masa kini.
Dihelanya napas panjang sebelum keluar dari
lift. Beberapa sapaan segera menyambut ketika ia melangkah menuju ruang
kerjanya. Ia mengembangkan senyum. Masih terkesan setengah-setengah. Tapi ia
paham seutuhnya, bahwa hidupnya harus tetap berjalan terus.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan
modifikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar