* * *
Bismaka sudah lupa kapan tepatnya pertama
kali bertemu dengan Rika. Mereka punya empat food truck yang ada di area yang sama, dengan tiga food truck letaknya cukup berdekatan.
Satu di Depok, satu di Cikarang, satu di Jakarta Selatan, satu lagi di Serpong.
Yang ia dengar, food truck Rika ada
pula yang ngetem di Jawa Tengah dan
Jawa Timur.
Keduanya sering berselisih tempat kunjungan.
Karenanya cukup jarang bertemu. Obrolannya yang cukup banyak dengan Rika justru
terjadi saat keduanya sama-sama mengisi booth
food truck pada pesta pernikahan Pingkan, adik Andries.
Dengan anak buah yang lebih dari cukup
cekatan melayani para tamu yang ‘jajan’ di food
truck mereka, otomatis keduanya cukup punya waktu untuk mengobrol. Dari
situ ia tahu bahwa Rika belum lama menjalin hubungan kasih dengan Andries, dan
dari situ pula Rika juga tahu bahwa ia sudah punya seorang kekasih bernama
Lusi.
Belakangan, beberapa belas minggu sebelum ia
mengetahui kabar bahwa Andries telah berpulang, ia memang hampir tak pernah
lagi bertemu dengan Rika. Hanya sempat beberapa kali bertemu dengan ibu gadis
itu. Saat mereka tanpa sengaja bertatap muka di lokasi food truck yang sama. Sekilas-sekilas, ia jadi tahu kenapa Andries
dan bagaimana kabar terkininya.
Pelan, dihelanya napas panjang. Sekilas
diliriknya jam digital di dasbor mobil. Sudah hampir pukul satu dini hari.
Dengan mulus, ia membelokkan mobilnya ke pintu gerbang khusus penghuni
apartemen. Setelah menempelkan kartu pass ke pemindai, pintu gerbang itu pun
terbukalah.
Beberapa belas detik kemudian, mobilnya sudah
terparkir rapi di slot miliknya, di basement
sebuah gedung apartemen kelas menengah berlantai delapan belas. Dengan cepat ia
melangkah ke lift.
Sekitar satu setengah tahun lalu, ketika ia
makin sibuk, ia memutuskan untuk pindah ke apartemen. ART orang tuanya memang
tak pernah keberatan membukakannya pintu gerbang rumah pukul berapa pun ia
pulang. Tapi ia tetap merasa tak enak hati.
Pada hari kerja, sering kali langsung
menengok langsung usahanya seusai jam kantor. Bisa sampai nyaris tengah malam
ia baru pulang. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia harus berangkat ngantor lagi karena tak ingin terjebak
kemacetan. Lama-lama ia capek juga. Apalagi rumah orang tuanya cukup jauh dari
kantor. Karenanya ia membulatkan tekad untuk pindah ke apartemen yang letaknya
ada di dekat kantornya.
Komplek hunian yang memiliki lima unit gedung
apartemen masing-masing bertingkat delapan belas itu terletak di lokasi yang
sangat strategis. Sebanding dengan harganya. Untung sekali apartemen itu adalah
‘jatah’ milik Ernest, karena ayahnya sendiri yang memiliki dan membangun
kompleks kelas menengah itu. Maka, ia pun bisa menebusnya dengan harga cukup
miring. Asal cukup bagi Ernest untuk membeli rumah mungil di Bogor. Itu pun
dengan menggunakan fasilitas kredit pemilikan apartemen dari sebuah bank yang
sama sekali tidak berhubungan dengan ayahnya. Dan, ia langsung merasa nyaman
untuk tinggal di sana. Tak perlu lagi merasa tak enak hati terhadap ART orang
tuanya.
Ketika menutup kembali pintu apartemennya
dari dalam, barulah diembuskannya napas lega. Akhir pekan sibuknya sudah
berakhir. Saatnya beristirahat. Tak bisa lama, karena beberapa jam lagi ia
sudah ditunggu ayahnya untuk membicarakan proyeksi bisnis mereka.
* * *
“Jadi, gimana, Bim?” tanya Pringgo, begitu
Bismaka selesai cipika-cipiki dengan
ibunya, menjelang siang itu.
Bismaka mengambil tempat di sofa seberang
ayahnya. Duduk dengan santai sambil meletakkan segelas besar es kopyor yang
dibawanya dari dapur. Segera paham arah bicara ayahnya.
“Ini Papa beneran mau resign?” Wajah Bismaka terlihat serius.
“Ya, iyalah.... Lagipula mumpung ada
kesempatan bisa join usaha sama kamu. Mana Papa, kan, masuknya di
tengah-tengah. Nggak mulai dari nol. Kurang enak apa, coba?”
Seketika Bismaka mencibir. Pringgo tergelak.
“Kalau beneran Papa gantiin Ernest, harus
kuat jungkir balik urus ini-itu. Sanggup enggak?”
“Papa belajar bener-bener, deh.” Suara
Pringgo terdengar sangat serius. “Secara umur, Papa memang jauh lebih senior
daripada kamu. Tapi secara pengalaman di usaha food truck ini, tentunya Papa kalah jauh sama kamu. Tapi jangan
khawatir, Ernest mau ngajarin Papa segala hal soal usaha kalian asal Papa cepat
ambil alih sahamnya. Jadi, nggak akan mengganggu kamu.”
Bismaka meringis dalam hati. Rupanya ayahnya
benar-benar sudah merancang segala hal agar keinginannya ini bisa terlaksana. Ia
menggeleng pelan.
“Kalau sudah kayak gini, aku bisa bilang
apa?” Dikedikkannya bahu.
Pringgo tertawa. Penuh kemenangan.
Diulurkannya tangan.
“Deal?”
ujarnya.
Bismaka memiringkan sedikit kepalanya.
Menatap Pringgo. Berlagak kurang yakin. Beberapa detik kemudian, tawanya pun
lepas. Disambutnya uluran tangan sang ayah.
“Oke, deal!”
jawabnya. Mantap. Lagipula, sebetulnya ia sudah berkali-kali memikirkan hal
ini. Makin ia berpikir, makin ia merasa sayang untuk melepaskan kesempatan
bekerja sama dengan ayahnya sendiri. Makin merasa sayang pula bila ia terpaksa
harus berjoin dengan orang lain yang belum tentu cocok.
Bismaka dan Pringgo pun berjabat tangan erat.
“Selama Papa belajar dari Ernest, kamu
konsentrasi saja sama kerjaan kantormu,” ucap Pringgo. “Salah satu tujuan Papa,
kan, memang seperti itu. Agar kamu lebih konsen dengan karier kantoranmu. Agar
usaha mandirimu pun tidak terimbas pergantian pemilik saham yang mungkin kurang
sejalan denganmu nantinya.”
Bismaka mengangguk-angguk. Sedikit terharu
dengan ucapan ayahnya. Tak bisa dipungkiri bahwa ia merasa lega kini. Seolah
ada beban berat yang terangkat dari pundaknya. Sudah beberapa waktu lamanya ia
seolah menjalankan usaha itu seorang diri. Tak jadi masalah kalau ia
benar-benar hanya menjalankan usaha itu, tidak dobel dengan karier kantorannya.
Sayangnya, yang terjadi adalah sebaliknya.
“Apa pun deal
kalian, supplier utamanya tetap
Mama, kan?” Tetty muncul dengan membawa piring lebar berisi cake pisang yang
masih mengepulkan asap tipis. Aroma lezat segera menguar seantero ruang
keluarga itu.
“Pastilah, Ma.” Bismaka melanjutkan ucapannya
dengan tawa. “Bisa mati kutu kalau pasokan bahan setengah jadinya mogok.”
Mereka bertiga pun tergelak.
Selama ini, pemasok utama semua menu yang
tersedia di food truck dan warteg
Bismaka-Ernest memang Tetty-lah orangnya. Ibu Bismaka itu adalah pemilik sebuah
katering ternama. Bahan makanan yang tersedia di food truck dan warteg semuanya adalah racikan dapur Tetty.
Karenanya, rasa makanan di usaha kuliner itu memang sudah tak lagi bisa
diragukan kelezatannya.
Sejenak, Bismaka menatap ayah dan ibunya
bergantian. Betapa beruntungnya ia memiliki orang tua seperti kedua orang
tuanya ini. Tak pernah memaksanya untuk jadi ini atau itu. Membebaskannya
menentukan langkah dalam meniti masa depannya. Mendukung setiap keputusan baik
yang ia buat. Pelan diembuskannya napas lega.
“Bim, kepikiran nggak, lanjut ke S-2?”
Suara halus Tetty itu seolah menyentakkan
kesadaran Bismaka. Ditatapnya sang ibu. Segera saja ia menemukan harapan yang
begitu besar mengambang di dalamnya. Ia mengerjapkan mata.
“Kepikiran, sih...,” jawabnya kemudian.
Serius. “Kalau sudah agak longgar waktuku, aku pikir perlu juga aku nambah
ilmu.”
Tetty terlihat lega. Pun Pringgo.
“Berdoalah, semoga papamu ini nggak terlalu
bego soal usaha food truck,” ujar
Pringgo. Tersenyum simpul. “Jadi, urusannya nggak jadi lebih panjang lagi.
Supaya kamu bisa cepet punya waktu longgar.”
Bismaka tertawa ringan.
Beberapa puluh bulan lalu, setelah Bismaka
menyelesaikan jenjang sarjananya, ia berpikir bahwa belum perlu ia langsung
lanjut ke S-2. Ia lebih memilih untuk fokus mengembangkan usahanya bersama
Ernest. Tapi ia tidak ingin menutup diri terhadap kebutuhan itu. Maka, ia
berpendapat ‘suatu saat, mungkin perlu juga lanjut ke S-2’.
“Hidup
itu memang harus dinamis.” Begitu ucapan pemimpin tertinggi
perusahaan tempatnya bekerja. Bismaka masih ingat betul kalimat itu, yang
terucap hampir tiga tahun yang lalu. Saat ia masih dalam minggu-minggu awal
bulan orientasi kerja. “Karena dalam
kondisi dinamis itu kita berkreasi menciptakan mimpi. Alangkah indahnya kalau
suatu saat mimpi itu bisa terwujud secara nyata, kan?”
Pada titik memori itu, seolah ada kesadaran
lain menghantam pikiran Bismaka.
Lalu,
apa sebenarnya mimpiku?
Seketika, ia tertegun.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan
modifikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar