Jumat, 20 Maret 2020

[Cerbung] Let Me Love You This Way* #4-1











* * *


Empat


Mengendalikan Han’s Food secara penuh berarti membuat Rika bisa mengambil keputusan tanpa melibatkan ibunya lagi. Ia dan Kencana jelas berbeda. Saat transisi kepemimpinan antara Kencana dan ia, Han’s Food terus berkembang. Cukup pesat sehingga Han’s Food kini jauh lebih besar saat berada di tangannya.

Terobosan baru yang dibuatnya adalah merombak manajemen. Selama ini para manajer operasional di setiap kota langsung berada di bawahnya. Kini, ia sudah memiliki beberapa manajer area yang bertugas mengkoordinir para manajer operasional. Pekerjaannya jadi jauh lebih ringan di Han’s Food. Mungkin sesekali masih perlu menemui para manajer wilayah Jateng, Jatim, Jabodetabek, dan Banten. Tapi tidak harus seperti dulu, singgah di setiap kota di mana food truck-nya berada.

Hal itu membuatnya sedikit lebih bisa menikmati hidup belakangan ini. Satu hal yang membuatnya cukup sedih. Ia harus melaluinya tanpa Andries. Hanya kurang lebih satu tahun lamanya Andries mewarnai hidupnya, tapi sudah menorehkan begitu banyak kenangan dalam hati.

Seutuhnya ia menemukan kembali sosok mendiang ayahnya dalam diri Andries. Banyak yang yang ia belum mengerti dari mendiang ayahnya, ia pahami melalui Andries. Ia memang masih terlalu muda ketika ayahnya berpulang. Tapi satu hal yang melekat dalam pikirannya. Ayahnya adalah seorang pejuang. Seperti yang sering diungkapkan Kencana padanya. Dan, Andries pun seperti itu.

Bahkan, saat leukemia itu sudah diidapnya, Andries masih aktif bekerja. Menjadi pemimpin dua sekaligus anak perusahaan baja besar milik keluarga, yang berlokasi di Cikarang dan Karawang. Aktivitasnya sedikit berkurang setelah menyerahkan jabatan itu kepada calon adik iparnya. Andries ditarik ke kantor pusat di Jakarta, memegang jabatan baru sebagai direktur keuangan. Kisah itu Rika ketahui kemudian, ketika ia sudah jadi kekasih Andries.

Saat itulah mereka bertemu. Ketika Andries menyibukkan diri dengan ikut mempersiapkan acara pernikahan adiknya. Kemudian, masih ada pertemuan-pertemuan berikutnya. Terkadang pertemuan yang sengaja mereka adakan dengan alasan membahas kontrak mereka.

Rika tidaklah terlalu naif hingga gagal menangkap lompatan-lompatan cahaya kembang api dalam mata Andries saat mereka bertemu. Sejujurnya, cahaya yang sama pun ada pula dalam matanya. Terkadang ia bisa menyembunyikannya, terkadang pula ia gagal. Tapi sepertinya Andries menahan diri. Hingga tiga bulan pertama waktu mereka seolah terbuang sia-sa.

Rika baru tahu alasannya ketika suatu saat Andries mengirimkan pesan kepadanya, bahwa Andries membatalkan pertemuan mereka. Pada saat yang sama, kesehatan Paul menurun hingga harus dirawat di rumah sakit. Rika bergantian dengan Kencana menjaga Paul selama tiga hari, sebelum putri sulung Paul yang menjadi seorang biarawati memperoleh cuti untuk mengunjungi orang tua yang sedang sakit.


“Sudah, Rika pulang saja,” ucap Stella, satu-satunya putri yang Paul miliki, menjelang sore itu. “Bude yang akan jaga Opa. Terima kasih banyak atas semuanya, ya.”

Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, Rika pun berpamitan. Sesampai di luar kamar rawat, ia mengembuskan napas lega. Menjaga Paul yang sedang sakit tak pernah dianggapnya sebagai beban. Bagaimanapun, Paul adalah salah satu orang yang berjasa sangat besar meletakkan dasar kehidupan yang kini ia lalui. Tapi dengan adanya Stella, Rika yakin Paul akan lebih cepat pulih.

Saat ia berbelok di ujung lorong untuk menuju ke lift, ia berpapasan dengan Sonia, ibu Andries. Mereka sudah pernah bertemu sebelumnya, saat Andries membawa Sonia untuk tes rasa makanan. Sejenak keduanya berhenti.

“Eh, Tante,” sapanya manis.

“Lho, Rika di sini juga?” Sonia menatapnya dengan alis diangkat tinggi-tinggi.

“Iya, baru selesai jagain Opa. Tante nengok siapa di sini?”

Sonia terdiam sejenak sebelum menjawab lirih, “Andries.”

Seketika, seolah ada yang menghantam hati Rika. Mas Andries?

“Mas Andries sakit apa, Tante?”

Dan, seluruh jiwanya seolah menguap ketika Sonia menjelaskan secara ringkas bahwa Andries sudah bertahun-tahun menjadi pejuang leukemia. Belakangan ini, karena terlalu sibuk ikut mengurus pernikahan adiknya, kondisi kesehatannya pun turun drastis, hingga harus dirumahsakitkan.

“Rika mau tengok Andries?” tawar Sonia.

Tanpa berpikir panjang. Rika pun mengangguk. Sonia membawanya berbalik arah. Ternyata, Andries dirawat tepat di sebelah kamar Paul. Sebuah kamar VVIP, sama seperti kamar rawat Paul.

Laki-laki muda itu tengah terlelap ketika Rika menjumpainya. Tanpa bisa ditahan, telaga bening mengembang di mata Rika. Setelah mengerjap beberapa kali, Rika pun menoleh ke arah Sonia.

“Tante sendirian?” bisiknya.

Sonia menggeleng. Tersenyum. “Baru saja papanya Andries pulang. Abang sama adiknya, nanti selesai urusan kerja baru ke sini. Ngomong-ngomong, Opa sakit apa?”

Sonia mengajaknya duduk di sofa.

“Sakit karena usia, Tante,” jawab Rika, masih berbisik. “Sudah ada Bude yang jagain, makanya ini tadi saya mau pulang. Sejak kapan Mas Andries dirawat?”

“Sudah tiga hari ini. Dia ada rencana ketemu Rika untuk masalah pelunasan, ya?”

“Oh, iya, Tante.” Rika mengangguk. “Harusnya kemarin, tapi sehari sebelumnya Mas Andries sudah kasih kabar, minta penundaan. Saya kira karena sibuk saja. Saya nggak tahu kalau Mas Andries sakit.”

“Sini, Rika kasih nomor rekening saja, biar langsung Tante transfer sekarang.”

“Nggak apa-apa, Tante, nanti saja. Lagian, saya nggak hafal nomornya.” Rika meringis sekilas.

Sonia tersenyum. Sedikit memudarkan resah yang tergambar nyata di wajahnya.

Mereka mengobrol dengan suara rendah selama beberapa saat. Hingga Rika merasa ada getaran berulang dari dalam tas yang ada di pangkuannya. Sejenak ia minta waktu untuk menengok ponselnya. Ternyata panggilan dari ayahnya.

“Kamu di mana?” tanya ayahnya langsung. “Papa cari kamu di taman nggak ada. Di kamar Opa juga nggak ada. Kata Bude kamu sudah pulang. Lha, tadi minta dijemput.”

Tadi sebelum meninggalkan kamar Paul, Rika memang minta dijemput ayahnya. Mobil yang tadi pagi dibawanya dari rumah dipakai ibunya untuk pulang. Kantor Owen tak jauh dari rumah sakit itu. Waktunya pun sudah mendekati usainya jam kerja. Ia sempat mengatakan akan menunggu di taman. Hanya saja, keburu bertemu dengan ibu Andries.

“Aku nengok teman di sebelah kamar Opa. Maaf, nggak sempat kasih tahu Papa tadi.”

Terdengar helaan napas lega Owen. “Di sebelah mananya kamar Opa?”

“Papa keluar, pas di sebelah kiri.”

“Ya, Papa ke situ.”

“Eh, nggak....” Tapi di seberang sana Owen sudah mengakhiri pembicaraan itu. “... usah.” Rika tetap membisikkan lanjutannya walaupun terlambat.

Sejenak kemudian ditatapnya Sonia.

“Sudah dijemput, ya?” Sonia kembali tersenyum.

Rika mengangguk. “Iya, papa saya. Kebetulan kantornya di belakang situ.”

Baru saja Rika hendak berpamitan, pintu kamar sudah diketuk dari luar. Sangat halus. Sonia pun beranjak, diikuti Rika. Wajah Owen menyembul begitu pintu dibuka Sonia.

Sejenak mereka bertukar sapa dan berkenalan, sebelum Rika benar-benar berpamitan.

“Titip salam untuk Mas Andries, ya, Tan,” ucapnya, sembari menggenggam tangan Sonia. “Saya doakan Mas Andries cepat pulih. Untuk urusan kontrak booth nggak usah dirisaukan. Waktunya masih lebih dari cukup, kok.”

Keduanya berpelukan sebelum Owen pun berpamitan. Laki-laki itu sempat melirik putrinya ketika melangkah bersisian menuju ke lift.

“Temanmu sakit apa?” tanya Owen, halus.

“Leukemia.” Lirih sekali suara Rika. Owen mendengar ada nada patah di dalamnya.”

“Oh....” Owen manggut-manggut. “Teman kuliah? Teman bisnis?”

“Dia klien, mau sewa food truck.”

Owen tak bertanya lebih lanjut. Seutuhnya ia menangkap kemurungan Rika. Sepertinya ada cerita lain. Tapi ia belum mau mendesak. Ia paham putrinya butuh ruang dan waktu.

“Tadi Mama kirim pesan sama Papa. Kita ditunggu di sektor lima.” Owen menyebutkan lokasi salah satu food truck mereka yang terdekat dengan lokasi rumah sakit. “Mama di sana sama Mia. Sekalian kita makan di sana.”

Rika hanya mengangguk, tanpa suara.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar