Jumat, 13 Maret 2020

[Cerbung] Let Me Love You This Way* #2-3











* * *


“Nik, aku jalan ke Cikarang dulu, ya,” pamit Rika sambil mengemasi isi tasnya.

“Oke, Mbak. Nanti kalau laporan dari area Jateng sudah masuk, saya langsung emailkan ke Mbak,” Nikita menanggapi.

Ia sedang ada di kantor pusat PT. Han’s Food saat itu. Menyempatkan diri untuk berdiskusi sejenak dengan manajer operasional Han’s Food yang bernama Nikita, sebelum melanjutkan inspeksi ke kantor area Cikarang. Namun, sebelum ia sempat beranjak, Titin – salah seorang staf administrasi – muncul.

“Maaf, Bu Rika, ada tamu hendak bertemu Ibu,” ujar Titin. “Kayaknya customer.”

Sejenak Rika mengerutkan kening. Ia menoleh ke arah Nikita.

“Ada janji mau ketemu tamu, Nik?” tanyanya.

“Enggak, tuh.” Nikita menggeleng.

Sekilas Rika menyapukan tatapan ke arah jam dinding. Kunjungannya ke Cikarang antara penting dan tidak. Tapi Nikita adalah manajer yang bisa diandalkan. Jadi, ia memutuskan untuk menyerahkan urusan itu kepada Nikita.

“Ya, deh, urusin aja, ya, Nik.”

“Wah, ini saya ada janji sama calon supplier, Mbak.” Nikita menatap Rika dengan bimbang. “Sekalian mau lihat kebun organiknya di Lembang.”

“Oh, gitu?” Rika berpikir sejenak. Ia kemudian menatap Titin yang masih menunggu. “Ya, deh, Tin. Suruh masuk orangnya.”

Titin mengangguk dan beranjak. Bersamaan dengan itu, Nikita pun minta diri. Hendak langsung meluncur ke Lembang. Rika pun menunda rencananya untuk pergi ke Cikarang. Ia berdiri dan melangkah mendekat ketika pintu kantornya terbuka dari luar.

“Silakan, Pak,” ucap Titin.

Sejenak Rika terpaku. Tentu saja ia sama sekali belum lupa sosok yang sempat beberapa kali beradu pandang dengannya di Bistro La Lune semalam.

“Terima kasih.” Laki-laki itu sejenak menatap Titin, kemudian mengalihkan tatapannya ke arah Rika. Dan, ia juga sama sekali tak berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya melihat Rika.

“Selamat pagi, Bapak.” Rika mengulurkan tangan. Berusaha bersikap seprofesional mungkin. “Saya Rika, pimpinan di sini.”

Laki-laki itu pun membalas jabat tangan Rika dengan hangat. “Selamat pagi juga, Ibu. Maaf, saya datang tanpa membuat janji lebih dahulu.”

“Oh, tidak apa-apa.” Rika tersenyum. “Mari, silakan duduk.”

Mereka pun duduk berseberangan. Sama-sama di sofa tunggal, dipisahkan oleh sebuah meja pendek.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

“Begini, Bu Rika, saya....”

“Maaf,” potong Rika, masih tetap dengan senyumnya, “panggil saya Rika saja. Kedengarannya lebih enak.”

“Oh, oke, Mbak Rika.” Laki-laki itu tertawa kecil. “Dan, saya Andries.”

“Baik,” angguk Rika. “Mari kita teruskan.”

“Jadi begini.... Saya ingin menyewa food truck Mbak untuk booth makanan di pesta pernikahan, apakah bisa?”

Entah kenapa, semangat Rika mendadak terjun ke titik nol. Pesta pernikahan? Ihik! Tapi ia harus tetap profesional.

“Mm.... Bisa, sih. Asal tidak terlalu mepet waktunya.”

“Oh, masih sekitar enam bulan lagi, kok.”

“Kalau masih enam bulan lagi, bisalah.” Rika mengangguk-angguk. ‘Butuh berapa food truck?”

“Satu food truck bisa melayani berapa, ya, Mbak?”

“Bisa sampai empat ratus porsi menu campur. Kalau butuh lebih dari itu, bisa saya kirim dua armada. Kalau lebih-lebih sedikit, bisa satu saja. Nanti saya cadangkan stok setengah kali lipat. Maksimal enam ratus porsi bisalah.”

“Baiklah, Mbak. Nanti saya pastikan lagi tanggal, lokasi, dan berapa porsi tepatnya.”

“Lebih cepat lebih baik, ya, Mas.” Rika kembali tersenyum.

“Oh, ya, ya. Masalahnya ini adik saya mau nikahan nggak mau sewa WO. Maunya diurusi sendiri. Jadilah saudara-saudaranya ketiban repot ikut mengurusi.” Andries menyambungnya dengan tawa ringan.

“Oh.... Yang mau nikah adiknya? Saya kira Mas sendiri, hehehe....”

Seketika ada pelangi terbit di hati Rika. Tapi ia tetap harus profesional.

“Baiklah, nanti saya koordinasikan dengan manajer operasional di sini. Kalau saya sedang tidak di sini, nanti Mas bisa berhubungan dengan dia. Namanya Nikita. Langsung sama saya lagi juga bisa. Sebentar, saya ambilkan kartu nama dulu.”

Rika beranjak untuk mengambil kartu namanya di kotak di atas meja kerjanya. Sekaligus kartu nama Nikita yang stoknya juga ada di situ. Ketika ia berbalik dan kembali ke sofa, Andries sudah siap dengan kartu nama miliknya sendiri. Tanpa banyak kata, mereka pun bertukar kartu nama itu. Sejenak kemudian, Andries pun berpamitan.

Sepeninggal Andries, Rika menimang kartu nama berwarna dasar putih yang ada di tangannya. Ia agak sedikit tersentak ketika membacanya. Kartu nama itu berkop PT. Royal Interinusa Indonesia, dengan tulisan dan logo berwarna keemasan. Nama Andries Emerald Undap, S.T., M.M. tercetak dengan warna hitam, lengkap dengan jabatannya sebagai direktur keuangan, alamat kantor, alamat rumah, dan nomor kontaknya.

Rika pun terduduk di kursinya. Lalu, seketika ia memutuskan sesuatu. Akan menangani sendiri pekerjaan ini. Tak akan melimpahkannya kepada Nikita.

* * *

Sementara itu, di area parkir kantor Han’s Food, Andries mengangguk ketika sopirnya bertanya apakah mereka bisa pergi sekarang. Di dalam mobil yang meluncur dengan kecepatan sedang itu, Andries mencermati kembali sehelai kartu nama yang tadi disimpannya di saku kemeja.

Frederika Zirconia Maya Pramana, S.E., M.E., diejanya nama itu dalam hati. Dialihkannya tatapan ke luar jendela mobil. Setengah menerawang ia menyesali kebodohannya untuk tidak membahas pertemuan sekilas mereka kemarin di Bistro La Lune. Entah apakah gadis itu ingat atau tidak. Tapi, ia jelas-jelas tak bisa menyingkirkan wajah manis gadis itu dari pikirannya.

Rika..., gumamnya dalam hati. Seandainya saja....

“Maaf, Mas, kita langsung ke rumah sakit, atau mau mampir dulu ke mana?”

Suara sang sopir membuat Andries tersentak dari lamunannya. Ia sempat terdiam sejenak. Berusaha mengumpulkan alam nyatanya yang sempat terserak di mana-mana.

“Langsung saja, Pak,” jawabnya kemudian.

Dihelanya napas panjang ketika sopirnya mengambil lajur kanan sebelum perempatan beberapa puluh meter di depan mereka.

Rumah sakit....

Rasa-rasanya, ia sudah ingin menyerah.

* * *

Denting bel lift membuat Rika tercerabut dari lamunannya. Hanya ada ia sendiri di dalam lift itu. Melihat pintu membuka di depannya, kesadarannya pun pulih seratus persen. Ia sudah kembali terlempar ke masa kini.

Dihelanya napas panjang sebelum keluar dari lift. Beberapa sapaan segera menyambut ketika ia melangkah menuju ruang kerjanya. Ia mengembangkan senyum. Masih terkesan setengah-setengah. Tapi ia paham seutuhnya, bahwa hidupnya harus tetap berjalan terus.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar